ALIRAN PURITAN DAN MODERAT DALAM ISLAM
Ibnu Farhan
(Dosen
Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon)
____________________
Abstrak
Diawali
dengan peristiwa 11 september 2011 dan rangkaian peristiwa teror lainnya yang
melibatkan umat Islam, masyarakat barat memandang bahwa Islam adalah agama yang
menebarkan teror kepada masyarakat dunia. Tentu saja pendapat seperti ini tidak
sepenuhnya benar, karena sebagian besar masyarakat muslim justru menolak
aksi-aksi terorisme. Namun begitu, masyarakat sering kali mengabaikan fakta ini
sehingga pada akhirnya menggeneralisir bahwa Islam adalah agama terorisme. Hal
yang demikian terjadi tidak lain karena masyarakat Barat sampai saat ini banyak
yang belum bisa menarik garis pembeda bahwa dalam kenyataannya di masyarakat muslim
sendiri terdapat� aliran Islam yang
moderat dan aliran Islam yang puritan. Tulisan ini bertujuan membahas� aliran moderat dan puritan dalam Islam
meliputi pengertian, karaketiristik, persamaan dan perbedaan di antara
keduanya.
Key words:
Terorisme, Puritan, Moderat
_____________________________
A.
Pendahuluan
Apabila umat Islam ditanya mengenai ada berapa macam Islam yang ada
saat ini mungkin akan beragam jawabanya. seorang muslim mungkin menyatakan
secara apologetik bahwa Islam hanya satu dan tidak bermacam-macam. Berbeda bila
hal itu ditanyakan kepada mahasiswa yang telah mempelajari teologi Islam,
pastinya jawaban yang akan diberikan adalah bahwa Islam terdiri dari beberapa
aliran teologi, seperti Sunni dan Syi�ah misalnya. Adapun Mahasiswa yang mempelajari
hukum Islam bisa menambahkan bahwa Islam terdiri dari beberapa mazhab fiqih
seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi�i, Hambali dan Ja�fari. Jawaban-jawaban
yang berbeda ini tentu saja berdasarkan prespektif dan sejauh pengetahuan
masing-masing muslim mengenai Islam tersebut. Lalu pertanyaannya adalah untuk
masa kontemporer sekarang ini ada berapakah alirang Islam? Pertanyaan inilah
kemudian akan dijawab dengan mengkaitkan dengn beberapa peristiwa khususnya
yang terjadi belakangan ini.
Setelah peristiwa 11 september 2001 yang menggemparkan Dunia dan
ditambah beberapa aksi terorisme yang pelakunya adalah umat Islam, pandangan
masyarakat dunia khususnya masyarakat Barat sangatlah jelek terhadap agama
Islam. Media-media di Barat pada umumnya menunjukan bahwa Islam seolah-olah
agama yang keras dan anti toleran terhadap agama lain (Karen Amstrong, 2007:
16). Walaupun pandangan seperti ini lambat laun sudah mulai berubah, namun
pemberitaan seperti ini sungguh sangat mengganggu dan melukai umat Islam.
Karena bagaimanapun secara umum bisa kita lihat sekarang bahwa Islam yang
dianut oleh seperempat masyarakat dunia dan merupakan agama kedua dengan
penganut dengan lebih dari satu miliar telah menjadi way of life dan
mengajarkan kedamaian, sangat menghargai agama lain dan menghargai hak-hak
minoritas (Yusuf Qardhawi, 1994: 21).
Presepsi masyarakat Barat terhadap Islam di atas terbentuk karena
pihak Barat pada umumnya tidak menemukan bahwa ada garis demarkasi antara Islam
ektermis dan Islam moderat. Mereka secara umum mengeneralisasi Islam sebagai
terorisme dan mengabaikan fakta bahwa ada umat Islam yang sama sekali berbeda
dengan para teroris baik dalam tataran teori apalagi praktik. Untuk memperbaiki
presepsi masyarakat Barat yang buruk terhadap Islam tersebut, banyak usaha yang
telah dilakukan oleh para pemikir muslim salah satunya adalah Khaled Abou el
Fadl, yang pemikirannya akan dibahas dalam tulisan ini.
Salah satu usaha dari Khaled Abou el Fadl adalah dengan menyebutkan
bahwa ada dua aliran dalam Islam menyangkut sikap terhadap Barat dan agama di
luar Islam. Aliran tersebut adalah Islam Puritan dan Islam Moderat. Pembuatan
tipologi ini dimulai dengan mengintropeksi dan mengkritisi tradisi Islam itu
sendiri. Dengan melihat tradisi Islam itu kemudian kita dapat menemukan bagian
mana dari doktrin Islam yang kemudian mempengaruhi prilaku buruk yang ramai
dilakukan saat ini. Dengan langkah intropeksi dan kritis ini juga kita dapat
menemukan mengenai karakteristik dan logika berfikir dari masing-masing aliran
pemikiran tersebut baik yang puritan atau moderat.
Walaupun pembuatan tipologi ini sangat sulit dan tidak sepenuhnya
diakui oleh seluruh masyarakat muslim itu sendiri. Di samping itu hal ini juga
akan membuat keretakan dan menegaskan bahwa seoalah-olah Islam tidak sebagai
satu persaudaraan, namun hal yang demikian menjadi perlu dilakukan. Ada
beberapa alasan setidaknya untuk membuat tipologi semacam ini antara lain: pertama,
membantu memberikan pemahaman pada non muslm mengenai berbagai bentuk keyakinan
dan pendirian yang diambil oleh umat Islam. Kedua, membantu umat Islam
dalam usaha untuk mengevaluasi hubungan sesama muslim itu sendiri (Khaled
Abou el Fadl, 2006: 26).
B.
Pembahasan
1.
Pemikiran
Islam Puritan
Pernyataan yang akan dijawab pada bagian ini adalah apa yang dimaksud
dengan Islam puritan? Bagaimana pemikiran Islam Puritan dalam sejarah umat
Islam? Dan apa dampak dari pemikiran Islam puritan dalam permasalah global saat
ini?.
Walaupun Pemikiran Islam puritan pada saat ini tidak mengikuti
banyak pengikut, namun pengaruh dan perannya dalam memperburuk citra Islam
tidak bisa lagi diragukan. Memang secara umum bahwa umat Islam adalah penganut
Islam moderat, namun yang mayoritas ini ternyata disebut oleh Khaled sebagai �silent
mayority�. Karena yang mayoritas ini belum mampu menunjukan diri sebagai
identitas Islam, maka kemudian banyak orang �khususnya masyarakat Barat- hanya
terpaku pada Islam puritan saja. Disini kemudian muncul problem yang harus
segera ditemukan solusinya yaitu bagaimana kelompok yang mayoritas-diam ini
dapat berbicara lebih untuk memperbaiki�
citra Islam yang terlanjur buruk.
Islam Puritan didefiniskan oleh Abou el Fadl sebagai beikut:
Islam puritan bisa didefinisikan sebagai sekelompok orang Islam yang dalam
hal keyakinannya menganut faham abolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak
hal, orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia� bersikap tidak toleran terhadap berbagai
sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai satu
bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati (Khaled Abou el Fadl, 2006: 29).
�
Absolutisme Kelompok Islam puritan dipengaruhi oleh keyakinan mereka
dalam memandang teks-teks agama yang cenderung literalis dan sangat membatasi
akal dalam menafsirkan al Quran dan Hadits. Mereka hanya memperbolehkan
penggunaan akal pada suatu wilayah hukum yang teks tidak berbicara mengenai hal
itu. Dalam pandangan mereka, Allah swt melalui teksnya hampir secara
keseluruhan telah berbicara mengenai kehidupan manusia. Oleh karena itu akal
tidak begitu diperlukan.� Kepatuhan
terhadap makna teks ini sangat ketat bahkan apabila teks itu berakibat buruk
terhadap kehidupan sosial, teks tersebut yang tetap dikedepankan.
Tidak dipungkiri bahwa dewasa ini kelompok Islam puritan di dunia
Islam tidaklah tunggal dengan satu pemimpin dan satu metode. Namun justru
sebaliknya, kelompok Islam puritan banyak terdapat di beberapa belahan dunia
Islam dengan berbagai nama dan metode yang berbeda-beda. Namun ada satu ciri
yang kemudian bisa membedakan gerakan ini dari kelompok Islam moderat bahwa
gerakan Islam puritan selalu merasa bahwa mereka lebih baik dari pada yang
lainya. Mereka selalu membenarkan diri sendiri dan mengatakan salah pada semua
orang. Oleh karena semboyan-semboyan bid�ah dan takfir sering
kali mereka dengungkan untuk menghancurkan mental para musuhnya. Selain itu,
dalam praktinya mereka kemudian sering kali menggunakan kekuasaan dan kekerasan
untuk memaksakan pendapatnya.
Karakterisitik pemikiran di atas pada akhirnya mempengaruhi mereka
dalam menyikapi isu-isu yang berkembang saat ini seperti isu mengenai
perempuan, terorisme, jihad, hak asasi manusia dan demokrasi. Namun sebelum
masuk kepada permasalahan tersebut, kita akan melihat terlebih dahulu bagaimana
kontruksi pemikiran tersebut terbangun dengan menggunakan pendekatan sejarah
atas beberapa gerakan Islam puritan pada masa lalu.
Sejarah Islam puritan lebih tepat dimulai dari
kaum Wahhabi (Hamid Algar, 2008: 27).�
Pemikiran kaum Wahhabi secara jelas sangat mempengaruhi gerakan pruitan
di dunia Islam bahkan pengaruh ini bisa terlihat pada gerakan ektrimis seperti
al Qaeda dan Taliban. Pengaruh pemikiran kaum Wahhabi atas dua gerakan tersebut
dapat ditemukan dalam beberapa website yang ditayangkan oleh mereka yang
membunuh para sandera di Irak. Menurut Khaled ada kesamaan cara berfikir antara
Kaum Wahhabi dengan dua golongan tersebut dalam menyikapi musuh-musuhnya (Khaled Abou el Fadl, 2006: 73).
Wahhabi sendiri adalah merupakan satu aliran
yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab (w. 1792 M). Gagasan utama Ibn Abd
al Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang
dari ajaran yang lurus. Bahkan umat Islam pada waktu itu bisa dikatakan sebagai
bangsa Jahiliyyah (Roel Meijer, 2004: 4). Untuk memperbaiki itu Ibn Abd
al Wahhab kemudian mengajukan solusinya yaitu kembali kepada agama yang murni.
Oleh karena itu dalam praktiknya Wahhabi ini sangat membenci Tasawuf, Syi�ah
dan kaum rasionalis yang dianggap telah melakukan inovasi terhadap agama Islam.
Menurut kaum Wahhabi, tidak ada jalan untuk
kembali kepada Islam yang murni kecuali dengan mengimplementasikan perintah dan
contoh Nabi secara literal dengan secara ketat menaati praktik ritual yang
benar. Konsekuensi dari sikap ini kemudian adalah bahwa teks-teks agama seperti
Al Quran dan Sunah� dianggap sebagai
intruksi manual walaupun berakibat buruk terhadap kehidupan sosial. Mereka
menolak segala bentuk inovasi pemikiran yang dilakukan oleh para pemikir Islam
dan sering kali Ibn Abd al Wahhab mengatakan bahwa ahli-ahli hukum itu adalah
para setan atau anak buah setan (Syayathin atau a�wan al syayathin).
Pada tahapan selanjutnya, Ibn Abd al Wahhab
kemudian bergabung dengan keluarga al Sa�ud. Gabungan kedua kekuatan ini
kemudian berusaha untuk mendirikan negara Baru dengan melawan dinasti Ustsmani.
Dan pada tahun 1745 hingga 1818 berdirilah negara Arab saudi pertama sebelum
pada akhirnya kembali direbut oleh dinasti Utsmani kembali setelah
mengharncurkan ibu kota Arab Saudi, al Diri�yyah. Namun keturunan keluarga al
Sa�ud selanjutnya kemudian membangkitkan kembali semangat perangnya yang
kemudian berbuah hasil dengan berdirinya negara Arab Saudi modern pada 1932.
Dengan berdirinya negara Arab Saudi modern dan selanjutnya ditemukanya sumber
minyak yang berlimpah membuat negara tersebut sangat kaya raya yang pada
akhirnya berdampak pada penyebar luasan faham Wahhabi. Inilah titik
keberuntungan kaum Wahhabi yang membuat ajarannya menyebebar ke seluruh pelosok
dunia. Tanpa ada dukungan dana yang kuat dari negara Arab Saudi, tentu saja
faham Wahhabi hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai aliran marginal dan
beumur pendek (Hamid Algar, 2008: 29).
Gerakan kaum Wahhabi secara umum dapat dicirikan sebagai gerakan
yang mengajak umat Islam untuk kembali kepada al Quran dan Sunah dengan
pembacaan secara literalis (Roel Meijer(ed), 2004: 9). Pendekatan ini dapat
kita lihat dalam beberapa karya Ibn Abd al Wahhab yang hanya menempatkan al
Quran dan Hadits dalam tema-tema terntentu dan sedikit sekali dijelaskan
maksudnya. Beberapa sarjana seperti Hamid Algar menilai bahwa karya Ibn Abd al
Wahhab jauh bisa dikatakan sebagai karya kesarjanaan. Bahkan yang lebih buruk
lagi bahwa ada anggapan bahwa Ibn Abd al Wahhab ini memandang kegiatan tulis
menulis sebagai sebuah bid�ah (Hamid Algar, 2008: 46).
Ciri selanjutnya yang merupakan karakteristik dari gerakan ini
adalah suka membid�ahkan dan mengkafirkan golongan yang tidak sesuai dengan
keyakinanya. Ibn Ibn Abd al Wahhab juga memerintahkan kepada para pengikutnya
untuk memerangi orang-orang yang telah berbuat bid�ah dan kekafiran tersebut.
Hal ini juga yang kemudian dijadikan sebagai alasan dalam memerangi
pemerintahan Turki Utsmani yang ketika itu berkuasa (Roel Meijer(ed), 2004:
10).
Dan ciri lainya adalah bahwa mereka sangat
keras dalam berinteraksi dengan umat Islam yang tidak sefaham dengan mereka.
Ibn Ibn Abd al Wahhab menegaskan bahwa umat Islam yang melakukan perbuatan
syirik harus ditentang dan dibunuh. Ibn Ibn Abd al Wahhab juga gemar mengutip
kejadian ketika Khalifah Abu Bakar diriwayatkan telah membakar orang-orang
munafik sebagai dasar untuk menyiksa lawan-lawanya. Pemikiran-pemikiran seperti
ini kemudian sama persis diikuti dan dipakai oleh para ekstrimis seperti Bin
Laden dan Omar Abd al Rahman untuk menjustifikasi penyiksaan dan pembunuhan
terhadap orang-orang tak bersalah Khaled
Abou el Fadl, 2006: 73).
Sejarah Puritan selanjutnya bisa dilihat dari sebuah kelompok Islam
yang menamkan dirinya Salafi. Istilah salafi sendiri pada
mulanya muncul dari sebuah kurun awal yang dinisbatkan kepada� masa Nabi, Sahabat, tabi�in dan tabi�it
tabi�in. Pada awalnya istilah ini merujuk pada masa bukan pada aliran atau
mazhab. Namun belakangan istilah Salafi digunakan untuk merujuk pada aliran dan
golongan (Sa�id Ramadhan, 2005: 2). Tidak jelas dikalangan peneliti mengenai siapa pendiri aliran ini.
Ada yang menyatakan bahwa gerakan ini didirikan pada abad ke 19 oleh para
reformis muslim seperti al Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad al Syawkani,
Sayid Qutb dan Jalal al Shan�ani. Sejumlah pendapat lain menisbatkan asal-usul
gerakan ini kepada tokoh yang lebih jauh lagi seperti Ibnu Taimiyah dan
muridnya Ibn Qayyim.
Secara bahasa istilah salaf berarti pendahulu. Istilah ini
sering digunakan untuk merujuk kepada periode Nabi, para Sahabat dan tabi�in.
Selain itu, istilah Salafi (seseorang yang mengikuti kaum salaf), punya makna
fleksibel dan lentur serta memiliki daya tarik natural karena melambangkan
autentisitas dan keabsahan (Andi Anderus, 2001: 10). Sebagai suatu istilah,
Salafi dimanfaatkan oleh setiap gerakan yang mengklaim sebagai gerakan yang
murni. Salah satu yang menggunakan istilah ini adalah kaum Wahhabi.
Salah satu peneliti mengenai Salafisme yaitu Roel Meijer menyatakan
bahwa kelompok Salafi mempunyai aliran dan doktrin yang sangat beragam. Namun
benar bahwa kelompok Salafi sangat terpengaruh oleh dokrtin Wahhabi seperti
doktrin kembali kepada al Quran dan Sunnah, konsep bid�ah dan takfir, dsb. Tapi
dalam giliran selanjutnya bahwa beberapa tokoh Salafi memperbaharui dan membuat
lebih radikal doktrin-doktrin Wahhabi tersebut (Roel Meijer(ed), 2004: 9).
Masih menurut Meijer, setidaknya ada empat doktrin Wahhabi yang
kemudian dikembangkan dan bahkan diradikalkan oleh beberapa tokoh Salafi saat
ini. Keempat tersebut adalah: Pertama, doktirn kembali kepada al Quran
dan Sunnah. Walaupun kaum Wahhabi menggunakan doktrin ini dan menolak taqlid,
namun dalam praktiknya mereka tetap taqlid khususnya kepada ulama mazhab
Hanbali, seperti Ibnu Taimiyah. Hal ini kemudian dikritik oleh salah seorang
tokoh Salafi yaitu Nashiruddin al Albani. Al Albani mengkritik kaum Wahhabi
sebagai penerus mazhab Hanbali dan secara khusus mengatakan bahwa Ibn Ibn Abd
al Wahhab sebagai seorang yang tidak mengetahui hadits secara baik (Roel
Meijer(ed), 2004: 9). Tidak cukup dengan mengkritik Wahhabi, Al Albani kemudian
membuat satu metode untuk kembali kepada Islam yang murni dengan menggalakan
studi mengenai Hadits sehingga hadits dapat dijadikan sumber hukum untuk
menjawab persoalan-persoalan umat Islam pada saat ini.
Metode studi hadits al Albani dimulai dengan melakukan penelitian
terhadap sanad hadits. Menurutnya hal yang paling penting dalam mengkaji hadits
adalah melalui ilmu rijal al hadits. Dengan ilmu kemudian dapat
ditentukan apakah hadits ini shahih atau tidak sahih. Ketika hadits itu sahih
maka ia bisa digunakan dan ketika tidak sahih maka hadits itu tertolak. Bagi al
Albani hadits menjadi penting untuk menentukan sesuatu yang terlewatkan oleh al
Quran. Begitu pentingnya hadits dalam pandangan al Albani sampai-sampai ia
mengucilkan penggunaan akal manusia dalam penentuan hukum (legal process)
(Roel Meijer(ed), 2004: 64). Salah satu karyanya yang sangat terkenal dan
mencirikan pendekatanya dalam kajian Islam adalah sifat salat al nabi.
Kedua,
doktrin berkenaan dengan cara berkomunikasi dengan non mulsim atau non Wahhabi.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa bagi penganut Wahhabi diperbolehkan untuk
memerangi kaum non Wahhabi. Doktrin ini kemudian berkembang bukan hanya
memerangi namun menyuruh hijrah bagi penduduk muslim yang berada di negara dengan
hukum kafir, sebagaimana dikatakan oleh Salih bin Fawzan. Menurutnya tinggal di
negara Islam berarti setia kepada hukum kafir dan itu tidak diperbolehkan.
Konsep ini sering dikatakan sebagai wala� wal bara�. Konsep wala� wal
bara�kemudian dikembangkan dan diradikalkan oleh tokoh Salafi yang
merupakan guru spritual al Zarqawi-salah satu penggagas bom bunuh diri di Iraq-
yaitu al Maqdisi. Baginya seorang muslim yang mengaku mencintai Allah swt harus
menjauhi dan melawan hukum-hukum yang berlaku yang dibuat oleh manusia. Menurut
al Maqdisi barang siapa yang mengikuti hukum-hukum yang dibuat oleh manusia hal
itu sama saja menjadikan mereka sebagai Tuhan yang baru (Roel Meijer(ed), 2004:
93). Dan demikian orang tersebut telah melakukan syirik dan dicap sebagai orang
kafir.
Ketiga, anti
syi�ah. Baik Kaum Wahhabi dan Salafi, keduanya sama-sama membenci aliran
Syi�ah. Namun kebencian Salafi melebihi pendahulunya. Salah satu tokoh Salafi
yaitu al Zarqawi yang menggunakan ini sebagai senjata ideologi untuk menghancurkan
penganut Syi�ah di Iraq.
Keempat, hisba
atau al amr bil ma�ruf wa nahy �an al munkar.� Baik kaum Wahhabi atau Salafi sama-sama
menggunakan konsep ini untuk memaksa orang lain untuk mengikuti mereka. Bahkan
pada saat ini konsep ini dilembagakan dengan dibentuknya polisi agama (mutawwa/mutawi�a),
yang bertugas untuk menyuruh dan memaksa orang-orang shalat tepat pada
waktunya.
Walaupun doktrin Wahhabi dan Salafi begitu beragam, namun pada masa
kini doktrin mereka masih tetap� dapat
dikenali karena secara konsisten dianut oleh pengikutnya. Menurut Khaled ada
dua ciri utama Puritanisme yang membedakannya dengan kaum moderat yaitu: (1)
teks-teks keagamaan selalu mereka anggap mengatur banyak aspek kehidupan. (2)
manusia dengan akalnya tidak dimungkinkan untuk mengetahui kebenaran (Khaled
Abou el Fadl, 2006: 118).
2. Pemikiran
Islam Moderat
Pada kenyataanya secara kuantitas jumlah kaum puritan tidak
sebanding dengan kaum moderat dalam Islam. Terlihat ketika muncul aksi
terorisme dan bom-bom bunuh diri yang mengatasnamakan Islam yang dilakukan oleh
para ektrimis tersebut, protes besar-besaran terjadi hampir di seluruh negeri
yang mayoritas berpenduduk muslim. Namun sulit dipungkiri bahwa kaum puritan
cukup mempunyai pengaruh dan pendukung yang militan untuk menggerakan aksi-aksi
tersebut sehingga kenyataanya sampai sekarang hal in masih terus terjadi. Kaum
moderat justru sebaliknya, banyak tapi diam dan tidak cukup baik dikelola dalam
bentuk organisasi.
Bagi Khaled, pada saat ini di dunia Islam sedang terjadi apa yang ia
sebut sebagai konforntasi dan transformatif. Konfrontasi ini terjadi antara dua
kubu yaitu puritan di satu sisi dan moderat di sisi lainya. Kedua kelompok ini
sedang berlomba untuk merepresentasikan Islam yang benar dan asli. Dan pada
akhirnya, masa depan Islam ditentukan oleh mereka yang akan menguasai pandangan
mayoritas muslim.
����������� Islam moderat tentu saja tidak sama
dengan Islam Puritan. Dalam hal ini Khaled Abou el Fadl melukiskan Islam
moderat sebagai berikut:
Kaum moderat yang saya kupas dalam buku ini adalah mereka yang
menyakini Islam, menghormati kewajiban-kewajiban kepada Tuhan dan menyakini
bahwa Islam sangat pas untuk setiap zaman. Mereka tidak melakukan agama laksana
monumen yang beku tetapi memperlakukanya dalam kerangka iman yang dinamis dan
aktif. Mereka menghargai capaian-capaian umat Islam di masa silam, namun mereka
juga melakukan perubahan untuk memahami kehendak Tuhan lebih utuh. Mereka
merespon secara serius al Quran dan Sunnah Nabi yang menerangkan bahwa
keseimbangan dan moderasi adalah inti dari semua kebaikan dan kebajikan (Khaled
Abou el Fadl, 2006: 134).
Secara umum kaum moderat adalah mayoritas umat Islam di dunia.
mereka adalah umat Islam yang mewarisi tradisi Islam. Sementara kaum puritan
melarang musiK dan perempuan untuk beraktifitas di luar rumah, namun yang
terjadi justru sebaliknya pada kaum moderat. Di negara-negara berpenduduk
muslim moderat, musik sangatlah hidup dan begitu juga perempuan yang
mendominasi dalam sektor ekonomi.
Walaupun dalam skala kuantitas kaum moderat adalah mayoritas, namun
kebanyakan dari mereka adalah mayoritas diam. Hal ini kemudian dimanfaatkan
oleh kaum puritan untuk mengambil otoritas atas mereka. Kaum puritan di banyak
negara berusaha mengalihkan arus utama moderat menuju puritan. Menurut Khaled
seharusnya disini seharusnya kaum moderat sadar akan bahaya kaum puritan dan
segera bangkit untuk menyuarakan alternatif tandingan bagi ancaman kaum
puritan. Kaum moderat harus berusaha untuk memurnikan ajaran Islam sebelum
ditelikung dan diubah oleh orang-orang puritan dan dipaksa melayani egoisme dan
oportunisme tujuan-tujuan mereka. Dan yang terpenting kaum moderat harus
percaya bahwa jalan moderat adalah jantung dan jiwa Islam itu sendiri.
3. Memetakan Kaum Puritan dan Moderat: Melihat
Persamaan dan Perbedaan antara Puritan dan Moderat.
Untuk memperjelas dan mempertajam perbedaan antara kaum puritan dan
moderat, penulis akan menjelaskanya secara ringkas dengan mengambil beberapa
tema yang disikapi secara berbeda oleh kaum puritan dan moderat. Penulis juga
mencantumkan persamaan antara kaum puritan dan moderat yang mana hal ini
penting bahwa sejauh manapun perbedaan itu, baik kaum puritan dan kaum moderat
masih mempunyai suatu konsensus mengenai ajaran Islam. Hal ini setidaknya bisa
dijadikan bahan awal untuk saling berkomunikasi dan membangun hubungan yang
baik di antara keduanya. Ada beberapa tema yang disajikan dan sepenuhnya
diambil dari pemikiran Khaled Abou el Fadl.
Pertama akan dibahas mengenai apa yang menjadi kesepakatan antaran
kaum puritan dan moderat. Sebagaimana ada dalam tiap agama di dunia, terdapat
beberapa doktrin yang mencirikan agama tersebut dan membedakanya dari agama
lainya. Walaupun dari tiap agama terdapat beberapa aliran dan sakte namun ciri
agama tersebut tetap tidak bisa dipungkiri karena ciri ini kemudian dianut dan
dijalankan oleh komunitas penganut agama tersebut. Hal ini juga terjadi dalam
kasus agama Islam. Baik kaum puritan maupun moderat, keduanya sama-sama
mengakui dan menjalani lima pilar agama Islam atau rukun Islam. Kelima rukun
tersebut adalah:
1.
Syahadat
2.
Shalat
3.
Puasa
4.
Zakat
5.
Haji
Kelima rukun di atas tentunya bukan satu-satunya perkara yang
disepakati oleh kaum puritan dan moderat. Masih banyak hal lagi yang menjadi
kesepakatan secara bersama-sama. Namun kelima rukun di atas setidaknya
merupakan hal yang mendasar dan paling bisa dikenali dalam kehidupan
sehari-hari. Agak aneh memang bahwa pada kenyataanya hal yang disepakati ini
tidak bisa menjadi semacam tali perekat di antara keduanya. Karena dalam
praktiknya praktek mengkafirkan dan membid�ahkan masih berlaku sesama muslim
sekalipun mereka sama-sama menjalankan kelima rukun di atas. Terhadap hal ini
kadang penulis menduga bahwa jangan-jangan antar umat Islam pada dasarnya tidak
mempunyai kesamaan sama sekali dalam berbagai hal.
�Kemudian selanjutnya kita
menginjak kepada bahasan mengenai beberapa pandangan baik dari kaum puritan
atau kaum moderat mengenai satu aspek yang sama namun mendapat tanggapan yang
berbeda. Aspek-aspek tersebut antara lain:
1.
Sifat Dasar Hukum dan Moralitas
Khaled Abou el Fadl menyatakan bahwa tidak ada isu yang paling
membedakan antara kaum puritan dan moderat melebihi mengenai pembahasan topik
ini. Hal ini karena hukum memainkan peran sentral di dalam Islam, sampai-sampai
banyak muslim yakin bahwa tanpa hukum, agama Islam tidak akan ada. Baik kaum
puritan atau kaum moderat sama-sama percaya bahwa al Quran dan Sunah merupakan
sumber hukum Islam. Kedua kelompok tersebut juga sama-sama membedakan antara
hukum Tuhan abadi dan hukum yang diupayakan manusia. Namun keduanya berbeda
ketika membicarakan mengenai seberapa besar manusia bisa mengupayakan hukum
Islam. Bagi kaum puritan Tuhan melalui wahyu telah mengatur 90 persen dari
seluruh total hukum yang berkaitan dengan manusia. Sedangkan selebihnya yaitu
10 persen diserahkan kepada manusia untuk ijtihad. Kaum puritan secara
serampangan menggunakan hadits dan melupakan hadits lainya. Bagi mereka hadits
adalah senjata ampuh untuk mengatasi segala macam persoalan. Kaum puritan
cenderung melupakan kritik hadits atau kajian terhadap� kajian asbab al wurud. Mereka sering
kali menggunakan hadits secara literal dan akibatnya adalah apabila terjadi
ketimpangan antara teks dan realitas maka mereka secara cepat mengatakan bahwa
realitaslah yang salah dan seharusnya patuh kepada teks.
Sikap seperti ini sering kali menjadikan hukum Islam kaku, bahkan
pada tahapan selanjutnya justru membahayakan. Salah satu yang bisa
menggambarkan hal ini adalah peristiwa kebakaran yang terjadi pada
pertengahan Maret 2002 di kota Makkah. Kebakaran itu terjadi di sebuah sekolah
yang di dalamnya terdapat para perempuan sedang belajar. Ketika kebakaran
terjadi jelas saja para siswi perempuan tersebut keluar untuk menyelamatkan
diri tanpa memperdulikan auratnya. Namun anehnya bahwa dalam kejadian itu
polisi agama Arab Saudi justru memerintahkan kepada para siswi perempuan
tersebut kembali ke dalam untuk mengambil penutup auratnya. Bahkan menurut
saksi mata para polisi agama ini memaksa dan memukul para siswi tersebut agar
masuk ke dalam ruang yang terbakar tersebut. Akibatnya dari ulah polisi agama
ini, para siswi yang� masuk tersebut
beberapa ditemukan meninggal (Khaled Abou el Fadl, 2006: 301).
Berbeda dengan kaum puritan, kaum moderat agak berhati-hati
menyikapi al Quran dan hadits. Kaum moderat menyakini bahwa al Quran dan Hadits
memutuskan perkara-perkara yang spesifik. Namun, bagi kaum moderat,
tujuan-tujuan moral dan etis al Quran dan Hadits memainkan peran penting dalam
analisa hukum. Inti analisis terhadap al Quran dan Hadits bukan berarti
mengimplementasikanya secara sembrono dan membabi buta sebagai satu kumpulan
teknis, melainkan mencari tujuan utama dari al Quran dan Hadits tersebut. Bagi
kaum moderat penggunaan akal sangat penting dalam hal ini untuk mengetahui apa
tujuan sebenarnya dari syari�at Islam. Bagi kaum moderat syari�at bertujuan
untuk melayani kepentingan manusia dalam menegakkan nilai-nilai kebertuhanan di
muka bumi.
2.
Pendekatan atas Sejarah dan Modernitas
Bagi kaum puritan, premis fundamental yang selalu mereka pegang
adalah bahwa Islam telah mencapai aktualisasi potensi penuhnya pada satu
periode sejarah dalam masa lalu yang mereka sebut dengan zaman keemasan Islam.
Zaman ini dimulai ketika Nabi menerima wahyu sampai menjadi pemimpin Madinah.
Kemudian diikuti oleh empat khalifah (Khulafa al Rasyidin) atau selama
empat puluh tahun pertama Islam. Bagi kaum puritan periode ini adalah periode
ideal dengan tegaknya keadilan dan kejujuran secara sempurna. Kaum puritan juga
menyakini bahwa mustahil setelah zaman itu umat Islam akan mengalami kemajuan.
Justru bagi mereka adalah sebaliknya, umat Islam semakin jauh dari masa itu
akan semakin terpuruk. Atas premis ini, solusi yang ditawarkan oleh kaum
puritan adalah bahwa umat Islam harus kembali ke zaman keemasan itu dengan cara
sepenuhnya meniru dan mereplikasi institusi-institusi dan kode prilaku yang
mereka yakini ada pada saat itu. Sikap demikian juga berimbas ketika mereka
menghadapi isu-isu modern seperti hak asasi manusia, hak asasi perempuan dan
demokrasi. Isu-isu modern tersebut bukan saja ditolak mentah-mentah namun juga
haram untuk mempelajarinya.
Pandangan kaum moderat berbeda sama sekali dengan kaum puritan. Kaum
moderat tidak percaya bahwa Islam mencapai keemasan pada masa lalu sekalipun
itu zaman Nabi. Bagi kaum moderat potensi Islam adalah abadi sehingga masa
depan bisa jadi Islam lebih bisa memberikan potensi lebih besar dalam
perjalanan sejarah manusia. Kaum moderat percaya bahwa setiap babak sejarah
mempunyai tantangan-tangan tersendiri yang unik dan harus dihadapi dengan cara
mengkajinya dan memberikan perhatian penuh terhadap kebutuhan-kebutuhan masa
kini. Dalam proses ini masa lalu merupakan warisan yang berharga untuk
menghadapi masa kini dan masa depan. Kaum moderat juga percaya bahwa Islam
merupakan kekuatan progresif yang menawarkan kesempatan tiada akhir untuk
meraih pencapaian moral dan etis yang lebih besar di setiap era baru. Sikap
seperti ini kemudian sangat membantu kaum moderat dalam mendialogkan Islam
dengan isu-isu kontemporer seperti hak asasi manusia, hak perempuan dan
demokrasi.
3.
Interaksi dengan Non Muslim
Bagi kaum puritan, premis yang selalu mereka pegunakan berkenaan
dengan hubungan dengan non muslim adalah bahwa umat Islam harus menguasai dan
mendominasi. Dari premis ini kemudian membuat langgeng praktik pemisahan non
muslim dengan istilah dzimmah. Melalui status ini, non muslim harus
membayar pajak sebagai jaminan keselamatan dan perlindungan di wilayah umat
Islam. Namun efek negatif dari status ini bahwa mereka kemudian tidak
diperkenankan untuk menduduki jabatan yang strategis.
Dan satu lagi yang sering kita lihat saat ini yaitu upaya jihad
terhadap non muslim. Sampai saat ini tak ada di dalam Islam yang begitu
mendapat sorotan masyarakat dunia kecuali isu jihad dan terorisme. Tak
disangsikan lagi bahwa jihad adalah salah satu prinsip utama dalam Islam. Al
Quran menggunakan istilah jihad untuk merujuk pada tindak kerja keras untuk
mewujudkan tujuan Tuhan di muka bumi. Kerja keras ini dapat dilakukan dengan
harta, jiwa, tenaga dan sebagainya. Namun ditangan kaum puritan ini jihad
kemudian diperlihatkan hanya dengan satu sisi yaitu terorisme. Premis yang
menjadi pegangan mereka adalah bahwa non muslim khususnya Barat sampai saat ini
masih menjajah wilayah Islam walaupun dengan cara yang lebih halus.
C.
Penutup
Dari penjelasan yang telah disampaikan di atas dapat ditarik
beberapa kesimpulan: pertama, Dewasa ini pemikiran Islam setidaknya
dapat dikategorikan menjadi dua aliran pemikiran: Islam Puritan dan Islam
Moderat. Pembagian ini didasarkan pada sikap mereka dalam� menafsirkan Islam pada era kontemporer. Kedua,
Islam puritan adalah mereka yang dalam hal keyakinanya menganut faham
abolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak hal, orientasi kelompok ini
cenderung menjadi puris, dalam arti ia�
bersikap tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi
dan memandang realitas pluralis sebagai satu bentuk kontaminasi atas kebenaran
sejati. Sedangkan Islam moderat adalah mereka yang menyakini Islam, menghormati
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan dan menyakini bahwa Islam sangat pas untuk
setiap zaman. Mereka tidak melakukan agama laksana monumen yang beku tetapi
memperlakukanya dalam kerangka iman yang dinamis dan aktif. Mereka menghargai
capaian-capaian umat Islam di masa silam, namun mereka juga melakukan perubahan
untuk memahami kehendak Tuhan lebih utuh. Mereka merespon secara serius al
Quran dan Sunnah Nabi yang menerangkan bahwa keseimbangan dan moderasi adalah
inti dari semua kebaikan dan kebajikan. Ketiga, Setidaknya ada dua ciri
yang membedakan Islam puritan dari Islam moderat: (1) teks-teks keagamaan
selalu mereka anggap mengatur banyak aspek kehidupan. (2) manusia dengan
akalnya tidak dimungkinkan untuk mengetahui kebenaran. Keempat, Masa
depan Islam tergantung pada kedua aliran ini. Siapa yang dapat menarik simpati
mayoritas untuk bergabung dalam aliran mereka, maka mereka tersebut yang akan
menjadi model Islam di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Aderus, Andi. 2001. Karakteristik
Pemikiran Salafi.Jakarta: Kementrian Agama RI.
Algar, Hamid. 2008. Wahhabism: A Critical Essay,
terj. Rudy Harisyah. Jakarta: Paramadina.
Amstrong, Karen. 2007. Seruan Azan dari Puing WTC,.
Bandung: Mizan
A. Sirry, Mun�im. 2005. Islam Negara dan
Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta:
Paramadina.
Al Buthi, Sa�id Ramadhan. 2005. Salafi: Sebuah
Fase Sejarah Bukan Mazhab. Jakarta Gema Insani
El Fadl, Khaled Abou. 2006, The Great Theft:
Wrestling Islam from Extremists, terj. Helmi Mustafa. Jakarta: Serambi
Meijer, Roel (ed). 2009. Global Salafism: Islam
New Religious Movement. London: Hurst Company.
Munawar, Budhy. 2005. Islam Negara dan
Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta:
Paramadina
Na�im, Abdullah Ahmad. 2011. Dekontruksi
Syari�ah. Yogyakarta: LkiS.
Nasr,
Seyyed Hossein. 2003. The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk
Kemanusiaan. Bandung: Mizan.
.Qardhawi, Yusuf. 1994. Minoritas Non
Muslim di dalam Masyarakat Islam. Bandung: Karisma.