PEMIKIRAN
LUDWIG WITTGENSTEIN
DALAM
KERANGKA ANALITIKA BAHASA
FILSAFAT
BARAT ABAD KONTEMPORER
Muh.
Iffan Gufron
�(Dosen Institut Agama Islam Bunga
Bangsa Cirebon)
_____________________
Abstrak
Sebagai
salah satu tema terpenting dalam filsafat kontemporer, bahasa menjadi ranah
yang diperdebatkan oleh para filsuf kontemporer beserta aliran-aliran dan
madzhab-madzhab filasafat yang ada. Diantara aliran atau faham yang menaruh
perhatian khusus terhadap bahasa adalah filsafat analitika bahasa. Para tokohnya
berupaya mencari bahasa yang tepat dalam menyampaikan maksud-maksud filsafat.
Tiga aliran filsafat analitika bahasa, yaitu atomisme logis, Positivisme Logis
dan filsafat bahasa biasa. Atomisme logis dan positivisme logis berambisi
menggunakan bahasa logis dan standar ilmiah dalam menyampaikan maksud-maksud
filsafat. Sedangkan Filsafat bahasa biasa, cukup menggunakan bahasa biasa yang
beraneka macam untuk menjelaskan maksud-maksud filsafat. Perkembangan filsafat
analitika bahasa tak terlepas dari seorang tokoh terbesarnya yaitu Ludwig
Wittgenstein. pemikiran Wittgenstein dibagi ke dalam dua periode: pertama
periode karya Tractatus
Logico-Philosophicus (periode I) dan periode karya Philosophical Investigations (periode II). Pemikirannya pada
periode pertama berpengaruh pada perkembangan positivisme logis selain atomisme
logis tentunya yang berusaha dalam mencari bahasa ideal bagi filsafat yang
berlaku umum dan memiliki tingkat kepastian yang dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Sedang pemikirannya pada periode kedua berpengaruh sebagai
inspirasi faham filsafat bahasa biasa, yang menekankan kepada analisis
makna� dalam hubungannya dengan
penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia.��
Key word:
Analika Bahasa, atomisme logis,
positivisme logis
__________________
A.
Pendahuluan
Membicarakan suatu
pemikiran filsafat dalam suatu periode tertentu, tidak akan lepas dari
kontinuitas perkembangan pemikiran filsafat sepanjang sejarahnya. Makanya
mempelajari filsafat kontemporer harus mengetahui tentang perkembangannya di
masa-masa sebelumnya. Dengan demikian meneropong filsafat harus selalu
berdialog dengan sejarahnya, yang sekarang sudah berumur hampir 26 abad (K.
Bertens, 1983: 1). Setiap periode menampilkan ciri khas masing-masing yang
menunjukkan semangat zamannya.
Yunani kuno mempunyai ciri khas kosmosentrisme;
Zaman keemasan Yunani yang dipelopori Sokrates, Plato, dan Aristoteles
menunjukan wajah berbeda yang cenderung antroposentrisme; Abad pertengahan yang
dipengaruhi dogma-dogma agama, pemikiran filsafatnya cenderung berperan sebagai
ancilla theologia; Zaman Renaissance
memperlihatkan corak pemikiran yang mendambakan nostalgia zaman keemasan Yunani
dengan ciri khas kebebasan berfikirnya, tanpa terbelenggu dogma-dogma agama;
zaman aufklarung menggemakan spirit
untuk berani berfikir sendiri (sapere
aude); sedang pada zaman modern terjadi ledakan temuan ilmiah yang kemudian
menandai lahirnya sains yang berdiri sendiri keluar dari disiplin filsafat.
Adapun pada abad ke-20 (kontemporer), ada beberapa
ciri pemikiran filsafat yang menonjol, misalnya: logosentrisme sebagai
karakteristik pemikiran madzhab analitika bahasa, kemudian hermeneutika yang
dipelopori oleh Schleiermacher, Gadamer, Dilthey dan Ricoeur, serta tema
pluralitas yang dipopulerkan oleh para pemikir postmodernisme, seperti Lyotard,
Derrida dan Foucault. Namun ada satu tema yang paling banyak disorot dan
menguasai refleksi filosofis pada abad ke-20 yaitu pemikiran tentang bahasa.
Wittgenstein misalnya mengatakan dalam Tractatus
Logico Philosophicus bahwa setiap filsafat adalah kritik atas bahasa. Ada
beberapa aliran yang menaruh perhatian khusus akan bahasa, seperti filsafat
analitika Bahasa di Inggris, neopositivisme, fenomenologi, strukturalisme
Prancis, dan filsafat Heidegger. Akan tetapi corak pluralitas yang menjadi
salah satu ciri abad kedua Puluh mengindikasikan tidak ada konsensus diantara
aliran-aliran tersebut maupun diantara filsuf dalam satu aliran filsafat
tertentu entang hakekat dan peranan bahasa. Menariknya� semuanya bersatu dalam tema yang sama. Kalau
dalam filsafat abad ke-19 tema yang paling menyolok adalah sejarah. Dalam abad
ke-20 ini, tempat yang diduduki sejarah dalam abad sebelumnya rupanya harus
dialihkan ke bahasa (K. Bertens, 1983: 17).
Menurut David Wood, bagaimana bahasa perlahan-lahan
berkembang sebagai tema sentral filsafat Barat dapat dilihat dan ditelusuri
dengan tahap-tahap berikut, pertama, pada periode Frege, Husserl, Wittgenstein
awal, dan Carnap, bahasa dipahami secara logosentris (meminjam istilah
Derrida). Dimensi-dimensi dasar bahasa dianggap hanay tampil dalam
fungsi-fungsi logisnya, misalnya dalam bentuk penilaian, pernyataan, dan
representasi. Kedua, tercermin dalam pergeseran pemikiran Wittgenstein, dalam
kemunculan� filsafat bahasa sehari-hari
sekitar tahin 1950-an, dalam teori �speech-act�
maupun dalam teori-teori yang bersifat pragmatis (Austin, Grice, Searle),
dimana bahasa dilihat dalam konteks dan kegunaannya. Bagi, Wittgenstein tua
(periode II), bahasa hanya dapat dimengerti dalam kerangka bentuk-bentuk
kehidupan yang merupakan konteks dalam pemakaian bahasa itu. Ketiga, sebagian
terpengaruh oleh perkembangan di luar disiplin filsafat sendiri, terutama
wilayah susastera dan kritik teks umumnya, sebagian lagi merupakan perkembangan
lanjut dari dalam filsafat sendiri, bahasa akhirnya dilihat nilai intrinsiknya,
dikaji ulang hakikat dan fungsinya. Tahap ketiga ini melibatkan semiologi,
strukturalisme, hermeneutik dan post-strukturalisme.
Madzhab analitika bahasa atau (dikenal juga dengan)
filsafat analitika bahasa Sebagai salah satu aliran pemikiran yang menaruh
perhatian khusus terhadap bahasa, kemunculannya di tengah kancah filsafat erat
kaitannya dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya, terutama rasionalisme,
empirisisme Inggris dan� kritisisme
Immanuel Kant (Rizal Mustansyir, 2001: 2).Salah satu tokoh analitika bahasa
adalah Ludwig Wittgenstein. ia meneruskan tradisi pemikiran Moore tentang
metode analitika bahasa yang dituangkannya dalam dua buah karya besarnya yaitu Tractatus Logico-Philosophicus dan Philosophische Untersuchungen atau Philosophical Investigations. Seluruh
filsafat menurut Wittgenstein merupakan suatu metode, yaitu critique of language. Analitika bahasa
merupakan suatu metode yang netral, tidak mengandaikan atau mendasarkan pada
suatu epistemologi, filsafat atau metafisika tertentu. Metode tersebut
diterapkan tanpa suatu prasangka dan segala hasil serta kesimpulan yang
diasarkan pada suatu formulasi logis. Aspek ini disebut Bakker sebagai aspek
positif. Aspek kedua, yaitu bahwa metode memiliki efek terapi atau penyembuhan
terhadap kekeliruan dan kekacauan logis.�
Metode ini tidak berupaya untuk mengajukan teori-teori atau membuktikan
benar-salahnya suatu wacana, melainkan memperlihatkan dan menunjukan sumber-sumber
kekacauan serta kerja bahasanya. Dengan demikian, orang akan terbuka melihat
untuk melihat hal-hal sebagaimana adanya dan memberikan suatu kejelasan
konsep-konsep filosofis yang bermakna�
atau tidak bermakna, aspek kedua inilah disebut aspek negatif (Kaelan,
2002: 1).
Dalam dua karyanya Tractatus Logico-Philosophicus dan Philosophische Untersuchungen atau Philosophical Investigations, Wittgenstein mengungkapkan hakikat
bahasa secara filosofis meliputi aspek ontologism, epistemologis, dan
aksiologis. Karya pertamanya berisi penegasan Wittgenstein secara ontologism
bahwa hakikat bahasa itu memiliki kesepadanan dengan struktur logis dunia,
sehingga bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia. Konsekuensinya
secara epistemologis, struktur logis makna bahasa harus menggambarkan� struktur logis dunia. Teorinya yang terkenal
dalam hal ini adalah teori gambar (picture
theory). Adapun karyanya yang kedua, merupakan pengembangan teorinya yang
menekankan pada aspek aksiologis bahasa, yaitu bahwa makna sebuah kata adalah
tergantung penggunaannya dalam kalimat, makna kalimat adalah tergantung
penggunaannya dalam bahasa dan makna bahasa adalah tergantung penggunaan dalam
hidup manusia sehari-sehari. Perlu diingat bahwa nilai penggunaan bahasa sangat
ditentukan oleh aturan yang ada dalam setiap aspek kehidupan manusia. Teorinya
dikenal dengan sebutan permainan bahasa (language
games) (Kaelan, 2002: 5). Dari
uraian di atas,
penulis ingin menulis tentang pemikiran Ludwig Wittgenstein dalam konteks
filsafat analitika bahasa yang berkembang di abad ke-20 dan pengaruhnya sampai
saat� ini.�
B.
Pembahasan
A.
Sejarah Filsafat Analitika Bahasa
Analitika bahasa sebenarnya bukan hal baru dalam
ranah filsafat, meski analitika bahasa baru dicanangkan sebagai metode dalam
berfilsafat oleh Wittgenstein pada abad ke-20, tetapi benih analitika bahasa
itu sendiri sesungguhnya telah ada dalam pemikiran filsuf terdahulu (Rizal
Mustansyir, 2001: 20).
Bahasa telah menjadi medium sental dalam
penggambaran dunia sejak zaman pra-sokrates. Ketika Herakleitos membahas
tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta, ia sangat berminat pada
dunia fenomenal. Baginya, di atas dunia fenomenal bukan �dunia mejadi� namun
ada dunia yang lebih tinggi, yaitu dunia idea yang kekal yang berisi �ada� yang
murni. Meskipun begitu ia tidak puas dengan hanya dengan fakta perubahan saja,
ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak
dapat ditemukan dalam dalam benda material. Petunjuk kearah tafsiran yag tepat
terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusi, dan dalam
dunia manusia itu kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam
pemikiran Herakleitos, kata (logos)
bukan semata-mata gejala antropologis, kata tidak hanya terbatas dalam lingkup
sempit dunia manusia, karena kata mengandung kebenaran universal. Bahkan
Herakleitos mengatakan �jangan dengar aku�, �dengarlah pada sang kata dan
akuilah bahwa semua benda itu satu�. Demikianlah sehingga pemikiran Yunani awal
bergeser dari filsaft alam� kepada
filsafat bahasa (Kaelan, 2002: 77).
Pada zaman Sokrates, bahasa bahkan menjadi pusat
perhatian filsafat ketika retorika menjadi medium utama dalam dialog filosofis.
Sokrates dalam berdialog ilmiah dengan kaum sofis menggunakan analitika bahasa
dan metode yang dikembangkannya dikenal dengan dengan metode �dialektis
kritis�. Objektivitas kebenaran filosofis perlu diungkapkan dalam suatu
analitika bahasa secara dialektis dan dengan didasarkan pada dasr-dasar logika
(Kaelan, 2002: 78), disinilah Aristoteles berkontribusi besar. Dalam Organon, apa yang disebut logika
tradisional itu meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan,
batasan,susunan pikir, penyimpulan langsung dan sesat pikir, semuanya merupakan
butir-butir yang pemikiran yang bertautan erat dengan bahasa. Dengan penalaran
deduktif, kita dapat memperoleh keputusan yang terjamin keabsahannya (valid). Keseluruhan maksud dalam putusan
yang diutarakan dengan kata atau rangkaian kata itu disebut kalimat. Bahasa
(kata dan kalimat) adalah merupakan alat dan pejelmaan berpikir, sebab itu
logika erat hubungannya dengan logika. Pengaruh Aristoteles sangat kental dalam
aliran atomisme dan positivisme logis, sebab dalam pemikiran mereka itu
terdapat kecenderungan yang kuat untuk menerapkan aturan pikir ke dalam bahasa
filsafat (Rizal Mustansyir, 2001: 26).
Pada abad pertengahan, kekhusukan manusia dalam
mengagungkan sang Maha Kuasa juga menggunakan ungkapan manusiawi, yaitu bahasa.
Kaum patristic dan skolastik mengemukakan pemikiran teologi mereka dengan
bahasa, seperti yang telah dilakukan oleh Thomas Aquinas dalam mengangkat
teologi ke tingkat ilmiah filosofis, sehingga mampu menjembatani antara
realitas Tuhan yang bersifat adikodrati dengan realitas makhluk yang bersifat
terbatas (Kaelan, 2002:78).
Filsafat abad modern telah memberikan dasar-dasar
yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indera,
dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia.
Maka dari itu, aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, empirisisme
yang menekankan pengalaman inderawi dalam pengenalan pengetahuan manusia serta
imaterialisme dan kritisisme Imannuel Kant sangat penting pengaruhnya terhadap
tumbuhnya filsafat analitika bahasa dalam mengungkapkan realitas segala sesuatu
melalui ungkapan bahasa. Kalau kita kaji dalam sejarah filsafat timbulnya
filsafat analitik sebagai suatu reaksi ketidakpuasan terhadap perkembangan
pemikiran filsafat modern, ketika para penganut aliran-aliran filsafat modern
bertikai memperdebatkan hakikat kebenaran segala sesuatu, para filsuf analitika
bahasa melihat bahwa problem-problem filsafta itu dapat dipecahkan, dijelaskan
dan diuraikan dengan menggunakan analisis�
ungkapan-ungkapan filsafat, atau melalui suatu analisis bahasa.
Ungkapan-ungkapan metafisis dari kaum idealisme, rasionalisme dan empirisisme
sebenarnya tidak bermakna atau tidak mengungkapkan apa-apa. Makanya para filsuf
analitika bahasa menolak dengan tegas ungkapan-ungkapan metafisis, bahkan
penganut positivisme logis ingin menghilangkan metafisika (Kaelan, 2002: 78).
Secara umum istilah
filsafat analitika bahasa baru dikenal dan popular pada abad ke-20., namun
kalau kita sependapat bahwa pengertian filsafat analitik adalah pemecahan dan
penjelasan problem-problem serta konsep-konsep filsafat melalui analisis
bahasa, maka berdasarkan materi isi materi dan�
dan metodenya maka filsafat analitika bahasa itu telah berkembang� sejak zaman Yunani. Di samping itu, filsafat
analitika bahasa� pada abad ke-20 ini
tidak terbatas padatimbulnya aliran-aliran filsafat di Inggris, namun lebih
luas anatara lain di jerman selain mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya aliran
positivisme logis dan lingkungan Wina, juga terdapat filsuf-filsuf kontemporer
yang menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala untuk smapai pada suatu
kebenaran yang hakiki, antara lain Edmund Husserl dengan aliran
fenomenologinya, Gadamer dan Dilthey.
B.
Aliran-Aliran Dalam Filsafat Analitika Bahasa
Ada tiga aliran pokok
Filsafat analitika bahasa, yaitu:
1. Atomisme
Logis (Logical Atomism)
Atomisme� logis�
adalah suatu ajaran atau faham yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat
dipecah menjadi proposisi atomis atau proposisi-proposisi elementer, melalui
teknik analisis logis atau analisis bahasa. Setiap proposisi atomis atau
proposisi elementer itu mengacu pada atau mengungkapkan kepribadian suatu fakta
atomis, yaitu bagian terkecil dari realitas. Dengan demikian kaum atomisme
logis ingin menunjukan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa dan realitas
(Rizal Mustansyir, 2001: 44).
Sebagai aliran,
atomisme logis mulai dikenal pertama kali pada tahun 1918 melalui
tulisan-tulisan Bertrand Russell, diantaranya Logic and knowledge. Karya tersebut merupakan kumpulan artikel yang
pernah ditulis oleh Russell dalam majalah The
Monist antara tahun 1918 sampai tahun 1919. dan mencapai puncaknya dalam
pemikiran Wiittgenstein melalui karyanya Tractatus
Logico-Philosophicus.
Bertrand Russell adalah
seorang penganut empirisisme yang mengikuti jejak John Locke dan David Hume.
Nama atomisme logis sendiri, yang dipilih oleh Russell menunjukkan adanya
pengaruh Hume dalam suatu karyanya yang berjudul An Enguiry Concerning Human Understanding. Struktur pemikiran
atomisme logis dilihami oleh konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam
pengenalan manusia. Menurut Hume, semua ide yag kompleks itu terdiri atas
ide-ide yang sederhana atau ide-ide yang atomis�
yang merupaka ide yang terkecil. Hume mengusulkan hendaknya para filsuf
itu melaksanakan analisis psikologis terhadap ide. Russell menolak itu, baginya
analisis itu bukan pada aspek psikologis, namun dilakukan terhadap
proposisi-proposisi. Atas dasar itulah Russell memilih nama atomisme logis
daripada realisme (Kaelan, 2002: 87).
Untuk memahami atomisme
logis, marilah kita membicarakan pemikiran dua tokoh pentingnya yaitu Bertrand
Russell dan Wittgenstein (periode I). membandingkan keduanya otomatis
memunculkan persamaan dan perbedaan pemikiran keduanya, namun titik persamaan
diantara mereka lebih banyak.
Memahami Russell,
terlebih dahulu harus memahami tujuan filsafat menurut Russell. Ada tiga tujuan
filsafat yang ia kemukakan, pertama,�
filsafat memiliki tujuan untuk mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan
kepada bahasa yang paling padat dan sederhana. Kedua, filsafat bertujuan
menghubungkan logika dan matematika, baginya seluruh matematika dapat
dikembalikan kepada beberapa prinsip logis. Ketiga, analisis bahasa, dimana
dengan melakukan analisis dengan benar maka akan didapat pengetahuan yang benar
pula tentang realitas (Asep Ahmad, 2006: 48).
Ketiga tujuan filsafat
itu, telah mempengaruhi seluruh pemikiran kefilsafatannya dan juga merefleksi
landasan filsafatnya, yaitu bahasa logika dan corak logika, teori isomorfi
(kesepadanan), dan proposisi atomis. Bahasa logika, akan sangat membantu
aktivitas analisis bahasa. Teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa
logika akan mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan struktur
realitas. Russell ingin membangun corak filsafat yang ilmiah. Setelah bertitik
tolak dari bahasa logika, Russell menentukan apa yang disebut dengan corak
logika yang terkandung dalam suatu ungkapan atau proposisi. Penyimpangan
dalam� bahasa filsafat seperti terdapat
dalam ungkapan kaum neo-hegelianisme, lebih banyak ditimbulkan oleh
ketidakpahaman terhadap bahasa logika, sebagai bahasa ideal bagi filsafat (Asep
Ahmad, 2006: 50).
Dalam menganalisa
fakta-fakta, Russell melihat fakta-fakta harus�
melukiskan jenis-jenis fakta yang ada. Dengan fakta dimaksudkan
ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda. Fakta itu sendiri
tidak dapat bersifat benar atau salah, yang dapat bersifat benar atau salah
adalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan fakta-fakta. Proposisi-lah simbol
dan tidak merupakan sebagian dunia. Suatu proposisi terdiri dari kata-kata yang
menunjuk kepada data inderawi dan universalia, yaitu ciri-ciri atau
relasi-relasi. Sebagai contoh data inderawi dapat disebut sebagai �putih� dan
contoh universalia �berdiri di samping�. Data inderawi ditunjukkan dengan logical proper names (nama diri yang
logis), seperti misalnya �ini� dan �itu�. Proposisi dalam bentuk paling
sederhana adalah proposisi seperti �x adalah y (inilah putih) atau xRy (ini
berdiri di samping itu). Proposisi serupa itu disebut proposisi atomis, karena
sama sekali memuat unsur-unsur majemuk. Suatu proposisi atomis mengungkapkan suatu
fakta atomis. Dengan demikian Russell menyimpulkan bahwa melalui bahasa ia
menemukan fakta-fakta jenis mana yang ada, atau bahass yang mampu melukiskan
realitas,� dan bahasa disini adalah bukan
bahasa biasa melainkan bahasa sempurna yang terlepas dari kekaburan dan
kedwiartian, yaitu bahasa logis yang dirumuskan dalam Principia Mathematica (K.
Bertens, 1983: 29).
Wittgenstein sependapat
dengan Russell, bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis logis dan
disertai dengan sintesa logis. Ia menjelaskan bahwa filsafat bertujuan untuk
penjelasan logis dari pikiran. Filsafat itu sebenarnya bukan suatu kumpulan
ajaran-ajaran, melainkan suatu kegiatan atau aktivitas. Karya filsafat adalah
terdiri dari penjelasan-penjelasan dan uraian-uraian proposisi (Kaelan, 2002:
107).
Wittgenstein melihat
uraian yang dilakukan oleh filsuf terdahulu mengenai proposisi dan problem
bukannya salah, melainkan tidak dapat difahami. Makanya perlu penggunaan bahasa
yang memenuhi syarat logika. Perlu adanya tolak ukur yang jelas yang dapat
menentukan apakah suatu ungkapan filsafat bermakna atau tidak bermakna.
Tolak ukur yang
ditawarkan oleh Wittgenstein adalah teori gambar, yaitu suatu pandangan yang
menganggap adanya hubugan mutlak antara bahasa dengan realitas atau fakta. Teori
ini mengingatkan pada teori isomorfi (kesepadanan) Russell. Bagi Wittgenstein,
unsur mutlak yang diperlukan untuk mendukung ungkapan yang bermakna dengan
sendirinya merupakan proposisi yang adalah suatu bentuk peristiwa atau keadaan
faktual. Suatu proposisi harus dapat menunjukkan pengertian tertentu tentang
realitas, baginya pengertian suatu proposisi terletak pada situasi yang
digambarkan atau yang dihadirkan didalamnya. Makanya proposisi berfungsi
seperti sebuah gambar karena ada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan
dunia faktual (Kaelan, 2002: 114).
Pada akhirnya bahasa
logika yang dapat mencerminkan struktur bahasa dan struktur logis adalah sarana
yang dapat mengungkap realitas. Terlihat bahwa Wittgenstein terobsesi untuk
menemukan bahas ideal bagi filsafat yang dapat berlaku umum dan memiliki
tingkat kepastian yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
2. Positivisme
Logis (Logical Positivism)
Pada tahun 1922
berkembang suatu gerakan filsafat baru yang dirintis oleh seorang ahli fisika sekaligus
filsuf bernama Moritz Schlik. Gerakan ini berpusat di Wina, Austria. Makanya
tidak heran kalau kelompok ini disebut dengan lingkaran Wina (Vienna circle). Diantara
anggota-anggotanya adalah Kurt Goedel, Hans Hahn, Karl Menger dari kalangan
ahli matematika, kemudian Philip Frank, seorang ahli fisika, Otto Neurath,
seorang sosiolog, Victor craft, seorang filsuf, Rudolf Carnap ahli matematika
dan fisika, serta beberapa mahasiswa diantaranya, Friedrich Wismann dan Herbert
Feigl (Kaelan, 2002: 121).
Sebagai perkumpulan
para ilmuwan, corak pemikiran aliran ini cenderung terhadap sesuatu yang
bersifat positif dan pasti. Aliran ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ludwig
Wittgenstein, meski pengaruhnya tidak bersifat langsung dan Wittgenstein
sendiri tidak ikut aktif dalam kelompok Wina tersebut.Hal itu terutama dalam
penolakan statemen-statemen metafisik yang bagi Wittgenstein tidak
dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan tidak dapat diverifikasi secara
empirik.Disamping itu juga terdapat pengaruh tradisi empirisisme dan
positivisme. Dalam penerapan teknik analitika bahasa, selain Wittgenstein,
terdapat pengaruh Moore dan� Russell
(Rizal Mustansyir, 2001: 78). Aliran ini kemudian dikenal sebagai positivisme
logis.
Positivisme logis
menerima pandangan-pandangan filosofis dari atomisme logis tentang logika dan
cara untuk teknik analisisnya, namun positivisme logis menolak metafisika
atomisme logis. Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam
tujuan: pertama, menghilangkan metafisika, Karen atidak menyatakan apa-apa atau
tidak bermakna. Kedua, menggunakan teknik analisis untuk penjelasan bahasa
ilmiah� dan bukan untuk menganalisis
pernyataan-pernyataan fakta ilmiah. Sebab dengan analisis filsafat kita tidak
dapat menentukan apakah sesuatu itu nyata, tetapi hanya apa artinya apabila
kita mengatakan bahwa sesuatu itu nyata. Maka, tugas filsafat menurut
positivisme logis adalah memperhatikan analisis-analisis dan penjelasan tentang
pernyataan-pernyataan dan proposisi-proposisi terutama dari ilmu pengetahuan
(Kaelan, 2002: 122). Positivisme logis yang konsep-konsep dasarnya sangat
diwarnai oleh logika, matematika, serta ilmu pengetahuan alam yang bersifat
positif dan empiris, tentunya analisis logis tentang pernyataan-pernyataan
ilmiah maupun pernyataan-pernyataan filsafatnya sangat ditentukan oleh metode
ilmu pengetahuan positif dan empiris. Dalam pengertian inilah dikembangkan
prinsip verifikasi (Kaelan, 2002: 124).
Menurut kaum
positivisme logis, suatu ungkapan atau proposisi dianggap bermakna manakala
secara prinsip dapat diverifikasi. Memverifikasi berarti menguji, membuktikan
secara empiris. Setiap ilmu pengetahuan dan filsafat memiliki suatu pernyataan
-pernyataan baikberupa aksioma, teori atau dalil. Semuanya dianggap memiliki
makna bilamana secara prinsip dapat diverifikasi. Namun verifikasi yang
dikembangkan positivisme logis adalah prinsip pernyataan-pernyataan atau
proposisi-proposisi yang memiliki kemungkinan untuk diverifikasi. Sebagai
contoh, ada pernyataan �di dalam tas terdapat uang satu juta rupiah�.
Pernyataan ini menjadi bermakna karena memiliki kemungkinan dibuktikan, meski
setelah dibuktikan hanya terdapat uang seribu rupiah. Makanya pernyataan yang
tidak memiliki kemungkinan untuk diverifikasi dianggap tidak bermakna.
Contohnya pernyataan metafisik berikut ini �realitas pada hakikatnya bersifat
absolut�, bagi positivisme logis, pernyataan ini tidak bermakna karena tidak
memungkinkan untuk diverifikasi.
Salah satu tokoh
positivisme logis yang sangat berjasa besar dalam mengmbangkan teknik analitika
bahasa adalah A.J. Ayer (Rizal Mustansyir, 2001: 79).. Ayer membagi dua bentuk
verifikasi, pertama verifikasi yang bersifat ketat (strong verifiable), yaitu sejauh kebenaran suatu pernyataan atau
proposisi itu didukung pengalaman secara meyakinkan. Kedua, verifikasi dalam
arti yang lunak, yaitu jikalau proposisi itu mengandung kemungkinan bagi
pengalaman atau merupakan pengalaman yang memungkinkan (Kaelan, 2002:
127).Verifikasi yang lunak ini membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam
bidang sejarah (masa lampau) dan prediksi ilmiah (ramalan masa depan) sebagai
pernyataan yang mengandung makna.
Di samping itu Ayer juga membagi
proposisi menjadi dua bagian, pertama proposisi yang berdasarkan data empiris
(proposisi empiris) dan kedua, proposisi matematika dan logika (proposisi
formal). Kebenaran proposisi formal tidak perlu dibuktikan secara empiris,
namun menggunakan bahasa karena kebenarannya sangat tergantung simbol yang
digunakannya, sehingga kebenarannya bersifat pasti atau tautologi (Kaelan,
2002: 139).
Keyakinan atas prinsip
verifikasi� dalam positivisme logis
memiliki konsekuensi bahwa ungkapan-ungkpan metafisis adalah tidak bermakna.
Bahkan Ayer sendiri berpandangan lebih radikal dibanding para tokoh positivisme
logis lainnya. Menurut Ayer semua ungkapan bahasa teologi, etika, estetika,
aksiologi, ontologi, filsafat manusia pada hakikatnya adalah omong kosong dan
sama sekali tidak bermakna (Kaelan, 2002: 140).
3. Filsafat
Bahasa Biasa (The Ordinary Language
Philosophy)
Setelah kurang lebih
tiga dasa warsa kaum atomisme logis dan positivisme logis menanamkan
pengaruhnya dalam sejarah perkembangan analitik, secara perlahan gaungnya mulai
mereda. Sebab para tokoh analitika bahasa yang muncul kemudian menyadari bahwa
teknik analitika� yang melulu diarahkan
pada pencarian makna bahasa (penonjolan aspek semantik semata) dapat menggiring
mereka pada pernyataan yang tidak bermakna. Filsuf analitik yang belakangan
mulai meragukan keampuhan bahasa logika dalam penentuan bermakna atau tidaknya
suatu proposisi. Mereka mulai mengalihkan perhatian pada titik tolak penggunaan
bahasa biasa, makanya faham mereka dikenal sebagai faham filsafat bahasa biasa
(Rizal Mustansyir, 2001: 96).
Bagi penganut faham
filsafat bahasa biasa, permasalaham terpenting adalah penggunaan suatu istilah
yang mengandung arti demikian. Makanya yang perlu diselidiki dan diteliti
terlebih dahulu adalah aspek pragmatisnya dibanding aspek semantiknya.
Penyelidikan aspek pragmatis bahasa sendiri tidak akan menyentuh isi permaslahan,
kalau diletakkkan dalam kerangkaa bahasa logika yang mengandaikan suatu
uniformitas bahasa. Padahal dalam kenyataan sehari-hari terdapat banyak arus
lalu lintas bahasa yang masing-masing mempunyai makna dan peranan masing-masing
menurut penggunaannya dan terkadang tidak mengandung sifat logis sama sekali.
Namun mereka memiliki pengertian dan pemahaman yang cukup jelas tentang arti
istilah atau ungkapan yang mereka pergunakan. Makanya tidak perlu susah-susah
mencari tolak ukur dalam menentukan masalah arti bahasa, kalau setiap orang
sudah memiliki pengertian tentang itu meski tidak seragam (Rizal Mustansyir,
2001: 98).
Tokoh yang dianggap
perintis faham filsafat bahasa biasa adalah Wittgenstein. meski ia sebelumnya
juga menjadi penganut faham atomisme logis dan berpengaruh terhadap faham
positivisme logis. Di samping itu muncul kemudian beberapa filsuf dari Oxford
seperti, Gilbert Ryle, John Langshaw Austin, dan Peter Strawson.
Kecenderungan
Wittgenstein dalam faham filsafat bahasa biasa adalah dilandasi oleh pengakuan
ia atas kelemahan bahasa logika yang tidak mampu menyentuh seluruh relitas yang
tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ia mengalihkan
perhatian pada keanekaragaman bahasa biasa dan cara penggunaannya. Perubahan
pemikiran Wittgenstein ini dikenal sebagai periode kedua Wittgenstein. hal ini
dilandasi dengan lahirnya karya atau Philosophical
Investigations., yang diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1953 dua tahun
setelah kematiannnya dalam teks bahasa I di smaping teks bahasa aslinya Jerman,
Philosophische Untersuchungen(Rizal
Mustansyir, 2001: 99).
Karya Wittgenstein pada
peride II ini, lebih menekankan pada aspek pragmatis bahasa atau lebih
meletakkan bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi dalam hidup manusia.
Bahasa tidak lagi hanay memiliki satu struktur logis saja (logika formal dan
matematika), melainkan segi penggunaannya dalam kehidupan manusia yang bersifat
kompleks. Yang meliputi berbagai bidang kehidupan (Kaelan, 2002: 145).
Wittgenstein
memperkenalkan istilah permainan bahasa (language
games) dalam arti bahwa menurut kenyataan penggunaannya, bahasa merupakan
sebagian dari suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan.
Keanekaragaman dalam hidup manusia memerlukan bahasa yang digunakan dalam
konteks-konteks tertentu. Oleh karena itu, setiap konteks kehidupan manusia
menggunakan bahasa tertentu yang memiliki aturan -aturan main tertentu.
Layaknya berbagai macam permainan terdapat aturan-aturan main tersendiri yang
harus diataati dan menjadi pedoman dalam tata permainan.
Dengan demikian
Wittgenstein dan filsuf-filsuf bahasa biasa berpendapat bahwa bahasa biasa atau
bahasa sehari-hari sudah cukup memadai untuk menyampaikan maksud-maksud
filsafati sejauh diberikan penjelasan terhadap penyimpangan yang terjadi.
Pandangan mereka bercorak pluralistik, karena mereka bertitik tolak dari
kenyataan sehari hari (Koento Wibisono: 4).
C.
Pemikiran Filsafat Analitika Bahasa Ludwig
Wittgenstein
1.
Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode Pertama
Dalam pendahuluan buku Tractatus Logico-Philosophicus,
Wittgenstein meyingkatkan usahanya dengan berkata: �Maksud buku ini dapat
disingkatkan dengan kata-kata berikut ini: apa yang memang dikatakan, dapat
dikatakan secara jelas. Dan tentang apa yang tidak dapat dikatakan, orang harus
berdiam diri�. Buku ini berbicara tentang bahasa, tepatnya logika bahasa salah
satu unsur yang penting dalam uraiannya adalah apa yang disebut teori gambar (picture theory), yang dianggap sebagai
teori tentang makna (K. Bertens, 1983: 43).Selanjutnya akan penulis uraikan
teori gambar yang menjadi komponen terpenting dalam pemikiran Wittgenstein
periode pertama ini.
Buku Tractatus prinsipnya membahas tentang
hakikat bahasa yang menggambarkan hakikat bahasa yang mengambarkan hakikat
realitas dunia fakta. Melalui teori tersebut, Wittgenstein berpendapat bahwa
hakikat makna bahasa merupakan suatu penggambaran realitas dunia fakta yang
diletakkan dalam struktur logika. Suatu ungkapan bahasa yang berupa kalimat
dalam kehidupan manusia sehari-hari jikalau dikembalikan kepada strukturnya,
maka akan kita jumpai sejumlah proposisi-proposisi yang menggambarkan suatu
realitas dunia fakta. Gambaran ini bukan merupakan suatu kata kiasan melainkan
merupakan suatu gambaran logis (Kaelan, 2003: 77).
Bagi Wittgenstein,
untuk mengatasi suatu kebingungan bahasa dalam penggunaan� logika bahasa dalam menjelaskan konsep-konsep
filsafat yang menimbulkan kekaburan makna, dimana sebenarnya banyak ungkapan
yang tidak bermakna apa-apa, diperlukan struktur logika bahasa dalam mengungkapkan
realitas melalui proposisi yang merupakan suatu gambar dan perwakilan dari
suatu realitas fakta. Seseorang dapat mengetahui situasi yang diwakili oleh
proposisi tersebut, tanpa harus dijelaskan padanya. Sebuah gambar hanya
memiliki ciri sebagaimana dimiliki oleh proposisi. Ia mewakili beberapa situasi
yang dilukiskan melebihi dirinya sendiri dan tidak seorangpun perlu menjelaskan
tentang apa yang digambarkan (Kaelan, 2003: 79).
Menurut Wittgenstein,
sebuah proposisi harus dapat menunjukkan pengertian tertentu tentang realitas,
sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi seperti itu hanya perlu
mengatakan �ya atau �tidak� untuk menyetujui realitas yang dikandungnya. Selama
ini pemakaian proposisi telah disalahgunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang
tak terkatakan, sehingga kita tidak bisa mengatakan �ya� atau �tidak� terhadap
kemungkinan realitas yang dikandungnya. Dengan demikian ungkapan dalam filsafat
terdahulu itu tidak dapat dikategorikan sebagai suatu proposisi, karena tidak
mencerminkan realitas apapun. Baginya, pegertian sebuah proposisi terletak pada
situasi yang digambarkan atau dihadirkan di dalamnya (Rizal Mustansyir, 2001:
65).
G. H. Von Wright, salah
seorang sahabat Wittgenstein, memberiakn penjlasan tentang fungsi teori gambar
sebagai terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam
realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga kita
dapat saja membalik arti kiasannya (analogi) dengan mengatakan bahwa proposisi
itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara
unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan dengan
menggabungkan bagian-bagian proposisi-struktur proposisi menggambarkan
kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas, yaitu suatu kemungkinan
mengenai keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa.
Unsur-unsur gambar
merupakan alat-alat dalam bahasa, sebagaimana unsur-unsur bahasa seperti kata,
frase, klausa maupun� kalimat, sedangkan
unsur realitas adalah suatu keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan
dalam bahasa. Dengan demikian ada dua faktor utamayang mendukung teori gambar,
yaitu proposisi yang merupakan alat dalam bahasa filsafat dan fakta yang ada
dalam realitas. Jenis proposisi yang paling sederhana disebut proposisi elementer
yang merupakan penjelasan keberadaan suatu bentuk peristiwa. keseluruhan
proposisi elementer itu merupakan bayangan seperangkat benda atau hubungan
antar-benda di dunia, dan bayangan-bayangan itu kemudian menggiring benda atau
hubungan antar benda itu menjadi suatu gambar timbul (Rizal Mustansyir, 2001:
66).
Proposisi elementer
tidak dapat diungkapkan meskipun secara ontologis ada. Contoh, seseorang
meyakini adanya listrik, tapi tidak bisa menunjukkan apa yang disebut listrik
tersebut. Tidaklah tepat apabila kita menunjuk lampu pijar, kabel dan komponen
lainnya sebagai apa yang disebut listrik. Namun kita meyakini tanpa listrik
tidak mungkin misalnya lampu pijar menyala. Begitulah Wittgenstein meyakini
keberadaan proposisi elementer, sebab tanpa adanya proposisi elementer, tidak
mungkin realitas diungkapkan ke dalam bahasa.
Bentuk peristiwa
merupakan suatu gabungan objek (sesuatu yang konkrit) dan mrupakan bagian
terkecil (elementer) atau atomik yang sesuai dengan proposisi elementer. Bentuk
peristiwa tidak mengandung benar atau salah. Namun, proposisi elementer sebagai
alat bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa itu kepada kita dapat diperiksa
benar atau salahnya. Setiap proposisi memiliki pada hakikatnya bersifat benar
atau salah. Benar jika sesuai dengan suatu peristiwa dan salah jika tidak
sesuai dengan peristiwa (Rizal Mustansyir, 2001: 68).
Selain proposisi yang
menggambarkan keberadaan peristiwa, terdapat pula proposisi-proposisi logika,
yaitu kebenaran-kebenaran yang berdasarkan pada prinsip-prinsip logis. Hal itu
termasuk tautologi-tautologi atau kontradiksi-kontradiksi. Misalnya: proposisi
�Amin berada di rumah atau di luar rumah� yang merupakan kebenaran tautologies,
dan �Amin berada di rumah atau tidak berada di rumah� yang merupakan suatu kontradiksi.
Bagi Wittgenstein, proposisi logika bukanlah proposisi sejati, sebab tidak
menggambarkan sesuatu, tidak mengungkapkan suatu pikiran, juga tidak
menggambarkan suatu bentuk peristiwa atau tidak merupakan suatu gambar dari
sesuatu. Namun, proposisi logika ini tetap�
bermakna meski kebenarnya bersifat tautologis (Kaelan, 2002: 116).
Berdasarkan teori
gambar, proposisi yang merupakan suatu gambaran realitas, harus memenuhi
prinsip-prinsip sebagai berikut (Kaelan, 2002: 81):
a.
Bagian yang
terdapat dalam suatu proposisi, harus ada secara tepat sebanyak bagian yang ada
pada realitas yang diwakilinya.
b.
Suatu
proposisi merupakan model dari kenyataan sebagaimana digambarkan manusia.
c.
Suatu nama
mewakili satu objek, dan objek yang berupa benda-benda itu digabung satu dan
lainnya. Dengan cara ini keseluruhan kelompok menyajikan suatu keadaan
peristiwa tertentu.
d.
Proposisi
adalah suatu gambar perwakilan pasti dan mencakup suatu hubungan pictorial.
2.
Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode Kedua
Konsep pemikiran filsafat
Wettgenstein periode kedua tertuang dalam karyanya berjudul Philosophical Investigations. Karya ini
memiliki corak yang berbeda bahkan bertolak belakang dengan Tractatus yang mendasarkan pada semantic
dan memiliki formulasi logika. Dalam karya ini juga, Wittgenstein menyadari
bahwa bahasa yag diformulasikan melalui logika sebenarnya sangat tidak mungkin
untuk dikembangkan dalam filsafat, bahkan dalam berbagai kehidupan manusia yang
memiliki beragam konteks, sangat tidak mungkin hanya diungkapkan melalui
formulasi logika bahasa (Kaelan, 2002: 143).
Wittgenstein menyadari
pentingnya segi pragmatis bahasa dalam kehidupan sehari-hari dan terdapat
sejumlah bahasa yang digunakan dalam berbagai macam konteks kehidupan. Dalam
pengantar Philosophical Investigations dijelaskan
bahwa empat tahun yang lalu, ia berkesempatan membaca kembali karyanya yang
pertama (Tractatus) dan dijelaskannya
bahwa ide yang terkandung di dalamnya ingin ditampilkan sekaligus dengan
pemikirannya yang baru dan dengan cara yang lebih jelas sebagai lawan dari
pemikirannya yang pertama.
Dalam Philosophical Investigations,
Wittgenstein mengkritik pendapatnya yang pertama berkaitan dengan struktur
hakikat bahasa. Dalam Tractatus, ia
menganggap bahwa bahasa adalah suatu kumpulan besar yang tak terbatas dari
proposisi-proposisi yang sederhana atau yang atomis. Proposisi atomis pada
hakikatnya menggambarkan realitas fakta atomis yaitu keberadaan suatu peristiwa
yang paling sederhana yang memiliki satu saja analisis yang lengkap. Dengan
demikian, sebuah proposisi itu adalah sebuah fungsi kebenaran dari proposisi
elementer dan maknanya adalah kenyataannya yang sesuai dengan fakta atau
keberadaan suatu peristiwa.
Pada periode kedua
melalui karyanya, ia menolak bahasa yang hanya mengungkap proposisi-proposisi
logis, tetapi bahasa juga digunakan dalam banyak cara yang berbeda untuk
mengungkapkan pembenaran, pertanyaan-pertanyaan, perintah, pngumuman dan banyak
lagi gejala-gejala yang dapat diungkapkan dengan kata-kata. Ada banyak
jenis-jenis yang berbeda dalam penggunaan bahasa. Ia sadar bahwa dalam
kenyataannya bahasa sehari-hari pada hakikatnya telah cukup dalam upaya
mengungkapkan pemikiran-pemikiran filosofis (Kaelan, 2002: 144).
Mengenai teori gambar
yang diuraikan dalam Tractatus, dapat
dianggap sebagai suatu usaha untuk menentukan hakikat bahasa. Apa yang
diterangkan dalam teori ini nampaknya tidak terlalu jelas dalam bahasa
sehari-hari, tetapi kebenarannya harus diakui jika kita menggali di bawah
permukaan sampai pada dasar bahasa. Supaya makna bahasa dapat dimengerti, kita
harus menerima adanya proposisi-proposisi elementer yang menunjuk kepada state of affairs dalam realitas. Di
kemudian hari Wittgenstein menyadari bahwa dengan teori gambar itu sebetulnya
tidak memperlihatkan struktur tersembunyi dari segala macam bahasa, melainkan
hanya melukiskan jenis bahasa yang tertentu. Dalam Philosophical Investigations, ia menolak tiga hal yang dulu
diandalkan dalam teori pertama, yaitu (K. Bertens, 1983: 47):
1.
Bahwa bahasa
dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan states of affairs (keadaan-keadaan faktual).
2.
Bahwa
kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan
suatu keadaan faktual.�
3.
Bahwa setiap
jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, meski pada
pandangan pertama sukar untuk dilihat.
����������� Menurut Wittgenstein, kita telah terkurung dalam suatu
gambaran. Gambaran disini dapat dimengerti sebagai model. Ia mengandaikan bahwa
bahasa pada umumnya dapat dipahami dengan mempelajari model itu. Sedang yang
menjadi bahasa model adalah bahasa deskriptif, yang melukiskan suatu keadaan
faktual. Makanya untuk menjelaskan bahwa bahasa itu dipakai dengan rupa-rupa
cara, dalam Philosophical Investigations,
Wittgenstein mengintodusir istilah Language
Games (permainan bahasa). Suatu permainan dapat dilukiskan sebagai
aktivitas yang dilakukan menurut aturan (K. Bertens, 1983: 49).�
Permainan bahasa
merupakan suatu konsep yang fundamental dalam Philosophical Investigations, seperti halnya teori gambar pada Tractatus.. untuk menghindari
kesalahpahaman bahasa dalam filsafat, Wittgenstein berkeyakinan bahwa dalam
suatu upaya mencoba menentukan pengertian dari suatu kalimat dalam filsafat,
manusia harus membawa penggunaan kalimat tersebut dalam hubungannya dengan
kegiatan bahasa tertentu. Gal ini diyakini karena pada suatu kalimat yang sama,
dapat memiliki kemungkinan penggunaan yang sangat berbeda tergantung pada apa
yang sedang dikerjakan dan dalam konteks apa kalimat itu dipergunakan (Kaelan,
2002: 183).
Dalam memahami konsep
permainan bahasa lebih lanjut, harus dimengerti terlebih dulu hakikat
pengertian bahasa dalam penggunaan pada konteks permainan tersebut. Bahasa
disini, bukan mengacu pada bahasa yang dipergunakan oleh berbagai bangsa dan
suku bangsa seperti, bahasa Inggris, Jerman, Perancis dan bahasa lainnya yang
dianggap sebagai suatu sistem tanda dan aturan yang berubah-ubah secara
gramatikal. Bahasa dalam pengertian ini adalah bahasa universal, yang digunakan
oleh umat manusia dalam berbagai konteks kehidupan, antara lain bahasa ilmu,
bahasa etika, bahasa puisi, dan bentuk bahasa lainnya. Sebagai contoh misalnya
ketika kita membicarakan bahasa ilmu, maka kita mengartikan cara yang berkaitan
dengan istilah yang dipakai dalam konteks tujuan ilmiah, misalnya menguji
hipotesis, melakukan eksperimen, menjabarkan atau memprediksi dan kegiata
ilmiah lainnya. sedang dalam bahasa etika, maka bahasa serta istilah yang
digunakan dalam hubungannya dengan tujuan etika anatara lain menghargai,
memberi nasihat, menyalahkan dan konteks etika lainnya.
Mengenai deskripsi
permainan bahasa, Wittgenstein mengawalinya dengan menyatakan bahwa permainan
bahasa berkaiatan dengan bahasa sehari-hari yang bersifat sederhana. Permainan
bahasa juga berkaitan dengan proses alamiah penggunaan bahasa sejak masa� kanak-kanak, sehingga� perkembangan dalam mempelajari bahasa
anak-anak merupakan suatu fenomena empiris dalam memahami permainan bahasa.
Terlebih proses dari penamaan benda-benda, serta pengulangan kata-kata sangat
menentukan dalam permainan bahasa. Secara lebih luas keseluruhan tindakan
penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia senantiasa terjalin dalam suatu
hubungan tata permainan bahasa. Makanya�
pengertian permainan bahasa merupakan satu jenis tindakan manusia dalam
menggunakan kata-kata, kalimat serta bahasa dalam berbagai kehidupan(Kaelan,
2002: 184).Wittgenstein pada akhirnya sampai pada kesimpulan tentang penggunaan
bahasa sebagaimana diutarakan dalam Philosophical
Investigations berikut ini (Kaelan, 2002: 149): �makna sebuah kata adalah
tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, adapun makna kalimat adalah
tergantung penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa adalah tergantung
penggunaannya dalam hidup�.
Permainan bahasa yang
banyak jumlahnya, sehingga memiliki sifat yang sangat beragam dan kompleks
berakibat pada terjadinya proses inovatif dalam penggunaan bahasa yang sifatnya
tidak dapat diprediksi dan spontan. Ia menegaskan bahwa sesuatu yang baru,
spontan dan khusus senantiasa muncul sebagai suatu permainan bahasa. Proses
inovatif dalam permainan bahasa merupakan suatu fenomena yang dinamis dan
bersifat unik. Sebagai suatu contoh permainan bahasa dengan data indera dalam
filsafat dari cara melihat dan berbicara diistilahkan sebagai suatu gerakan
gramatikal. Wittgenstein menegaskan bahwa apa yang telah ditemukan terutama
suatu cara baru dalam melihat hal-hal atau benda-benda, dianalogikan sebagai
seorang senima menemukan suatu cara baru dalam melukis atau nada dalam lagu
baru. Perubahan tersebut dapat terjadi pada permainan bahasa pertama kali.
Menurut Wittgenstein ketika permainan bahsa berubah, maka akan terjadi
perubahan dalam konsep, sehingga dengan demikian akan berakibat pada perubahan
arti dan kata-katanya (Kaelan, 2002: 191).
Dalam kehidupan
sehari-hari, seringkali kita menjumpai kata atau ungkapan bahasa yang sama
namun dipergunakan dalam berbagai bentuk kehidupan dan berbagai bentuk
permainan bahasa. Menurut Wittgenstein hal itu dapat saja terjadi yaitu bahasa
yang menghasilkan hal yang bersifat umum. Namun fenomena konteks kehidupan yang
dilukiskan melalui bahasa tersebut bukanlah suatu pengertian yang bersifat
umum. Itu disebabkan kata atau ungkapan tersebut dihubungkan dalam banyak cara
yang berbeda. Wittgenstein menganalogkan hal tersebut dengan aneka kemiripan
diantara anggota keluarga. Dengan demikian penggunaan kata atau kalimat yang
sama dalam berbagai cara yang berbeda bukanlah berarti memiliki makna yang
sama. Meskipun secara struktur ungkapan kalimat atau kata memiliki kemiripan
namun dalam penerapan dan penggunaan yang berbeda maka akan memiliki
konsekuensi makna yang berbeda dan sangat tergantung pada aturan main dalam
konteks penggunaannya.
Wittgenstein menyatakan
bahwa terdapat berbagai macam permainan bahasa yang layak untuk
diperbandingkan, terutama dalam cara penggunaannya. Berikut ini beberapa contoh
penggunaan kata-kata, kalimat-kalimat dalam beberapa permainan bahasa (Kaelan,
2002: 197):
1.
Memberikan
perintah dan mematuhinya.
2.
Menjabarkan penampakan suatu objek atau
memberikan pengukurannya.
3.
Membangun suatu objek dari suatu
deskripsi.
4.
Melaporkan suatu kejadian.
5.
Berspekulasi mengenai suatu peristiwa.
6.
Membentuk da menguji suatu hipotesis.
7.
Menyajikan hasil percobaan dalam table
dan diagram.
8.
Menyusun cerita dan membacanya.
9.
Bermain akting
10. Menyanyikan
rangkaian
11. Menebak
teka-teki.
12. Membuat
lelucon, menceritakannya.
13. Memecahkan
masalah dalam aritmatika praktis.
14. Menerjemahkan
dari satu bahasa ke bahasa lain.
15. Bertanya,
berterima kasih, memaki, menyambut, dan berdoa.�
C.
Penutup
Pada abad ke-20 terdapat satu tema yang paling
banyak disorot dan menguasai refleksi filosofis kontemporer, yaitu pemikiran
tentang bahasa. Beberapa aliran menaruh perhatian khusus akan bahasa seperti
filsafat analitik (terutama di Inggris), fenomenologi, strukturalisme Perancis
serta hermeneutika. Namun semua aliran atau madzhab itu tidak memperlihatkan
suatu konsensus tentang hakikat dan peranan bahasa, masing-masing memiliki
metode dan teknik sendiri-sendiri dalam mengangkat tema bahasa filsafat.
Diantara faham yang konsern terhadap bahasa adalah
filsafat analitika bahasa. Faham yang dimotori�
oleh George Edward Moore, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein ini
muncul sebagai reaksi terhadap neo hegelianisme di Inggris. Meskipun Secara
umum istilah filsafat analitika bahasa baru dikenal dan popular pada abad
ke-20., namun kalau kita sependapat bahwa pengertian filsafat analitik adalah
pemecahan dan penjelasan problem-problem serta konsep-konsep filsafat melalui
analisis bahasa, maka berdasarkan materi isi materi dan� dan metodenya maka filsafat analitika bahasa
itu telah berkembang� sejak zaman Yunani.
Dalam perkembangannya terdapat tiga aliran pokok
dalam filasafat analitika bahasa yaitu, atomisme logis dengan tokohnya Russell
dan Wittgenstein periode pertama, kemudian positivisme logis yang dimotori
Schlick dan dikembangkan oleh A.J. Ayer. Terakhir adalah filsafat bahasa biasa
dengan tokohnya Wittgenstein periode kedua, Ryle, Austin, dan. Strawson.
Atomisme logis dan Positivisme logis berpendirian bahwa untuk menjelaskan
maksud-maksud filsafta� diperlukan bahasa
yang logis dan standar ilmiah. Sedangkan foilsafat bahasa biasa memandang
bahasa sehari-hari sudah sangat memadai untuk menjelaskan maksud-maksud
filsafat.
Filsafat analitika bahasa dengan tiga alirannya
sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh yang bernama Ludwig Wittgenstein.
pemikirannya dibedakan atas dua periode, pertama, periode karya Tractatus Logico-Philosophicus dan
kedua, periode karya Philosophical
Investigations. Pemikiran tokoh ini pada periode pertama� yang termasuk dalam faham atomisme logis,
memiliki pengaruh yang kuat terhadap positivisme logis. pemikirannya yang
menolak metafisika diikuti positivisme logis yang memang menekankan pada ilmu
pengetahuan empiris dan formal (logika dan matematika) sehingga tidak ada tempat
bagi metafisika yang mereka anggap tidak bermakna. Sedangkan pada periode
kedua, pemikiran Wittgenstein menjadi sumber inspirasi bagi filsafat bahasa
biasa, yang menekankan analisis makna dalam hubugannya dengan penggunaan bahasa
sehari-hari.
pada abad ke-20 terdapat satu tema yang paling
banyak disorot dan menguasai refleksi filosofis kontemporer, yaitu pemikiran
tentang bahasa. Beberapa aliran menaruh perhatian khusus akan bahasa seperti
filsafat analitik (terutama di Inggris), fenomenologi, strukturalisme Perancis
serta hermeneutika. Namun semua aliran atau madzhab itu tidak memperlihatkan
suatu konsensus tentang hakikat dan peranan bahasa, masing-masing memiliki
metode dan teknik sendiri-sendiri dalam mengangkat tema bahasa filsafat.
Diantara faham yang konsern terhadap bahasa adalah
filsafat analitika bahasa. Faham yang dimotori�
oleh George Edward Moore, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein ini
muncul sebagai reaksi terhadap neo hegelianisme di Inggris. Meskipun Secara
umum istilah filsafat analitika bahasa baru dikenal dan popular pada abad
ke-20., namun kalau kita sependapat bahwa pengertian filsafat analitik adalah
pemecahan dan penjelasan problem-problem serta konsep-konsep filsafat melalui
analisis bahasa, maka berdasarkan materi isi materi dan� dan metodenya maka filsafat analitika bahasa
itu telah berkembang� sejak zaman Yunani.
Dalam perkembangannya terdapat tiga aliran pokok
dalam filasafat analitika bahasa yaitu, atomisme logis dengan tokohnya Russell
dan Wittgenstein periode pertama, kemudian positivisme logis yang dimotori
Schlick dan dikembangkan oleh A.J. Ayer. Terakhir adalah filsafat bahasa biasa
dengan tokohnya Wittgenstein periode kedua, Ryle, Austin, dan. Strawson.
Atomisme logis dan Positivisme logis berpendirian bahwa untuk menjelaskan
maksud-maksud filsafta� diperlukan bahasa
yang logis dan standar ilmiah. Sedangkan foilsafat bahasa biasa memandang
bahasa sehari-hari sudah sangat memadai untuk menjelaskan maksud-maksud
filsafat.
Filsafat analitika bahasa dengan tiga alirannya sangat
dipengaruhi oleh seorang tokoh yang bernama Ludwig Wittgenstein. pemikirannya
dibedakan atas dua periode, pertama, periode karya Tractatus Logico-Philosophicus dan kedua, periode karya Philosophical Investigations. Pemikiran
tokoh ini pada periode pertama� yang
termasuk dalam faham atomisme logis, memiliki pengaruh yang kuat terhadap
positivisme logis. pemikirannya yang menolak metafisika diikuti positivisme
logis yang memang menekankan pada ilmu pengetahuan empiris dan formal (logika
dan matematika) sehingga tidak ada tempat bagi metafisika yang mereka anggap
tidak bermakna. Sedangkan pada periode kedua, pemikiran Wittgenstein menjadi
sumber inspirasi bagi filsafat bahasa biasa, yang menekankan analisis makna
dalam hubugannya dengan penggunaan bahasa sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Bernadien,
Win Ushuluddin. Ludwig Wittgensrein:
Pemikiran Ketuhanan & Implikasinya terhadap Kehidupan Keagamaan di Era
Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Bertens,
K.. Filsafat Barat Abad XX:
Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1983.
Hidayat,
Asep Ahmad. Filsafat Bahasa: Mengungkap
Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Kaelan.
Filsafat Analitis Menurut Ludwig
Wittgenstein: Relevansinya bagi Pengembangan Filsafat Bahasa. Disertasi S3
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2003.
--------.
Filsafat Bahasa: Masalah dan
Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma, 2002.
Mustansyir,
Rizal. Filsafat Analitik: Sejarah,
Perkembangan, dan Peranan paraTokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Sugiharto,
I. Bambang. Postmodernisme Tantangan bagi
Filsafat. Yogyakarta: Kanisisus, 1996.
Sumarsono.
Buku Ajar Filsafat Bahasa. Jakarta:
Grasindo, 2004.
Wibisono,
Siswomiharjo, Koento. �Filsafat Kontemporer: Pluralitas sebagai Ciri Filsafat
Barat Abad Keduapuluh�. Hand Out Mata
Kuliah Filsafat Kontemporer, Pascasarjana S2 Ilmu Filsafat Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.