KONSEP IBN AL-�ARABĬ DAN RANGGAWARSITA TENTANG MANUSIA
(Sebuah
Perbandingan Antara Sufisme Dan Kebatinan)
Muhammad
Luthfi Ubaidillah
(Staf Ahli Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Kemenag RI)
_______________________
Abstrak
Hakikat manusia
menjadi suatu kajian yang selalu menarik untuk diperbincangkan di berbagai
budaya dan agama. Tulisan ini berupaya menyajikan hakikat manusia dalam
pandanga tokoh besar tasawuf yaitu Ibn al-�Arabi dan tokoh besar kesusasteraan
dan kebatinan Jawa yaitu Ranggawarsita. Dalam hal pemikiran kedua tokoh ini
menjadi ikon dalam dunia kepemikiran mereka. Ibn al-�Arab� menjadi pelopor
ajaran wujudiah dalam dunia sufisme. Sedangkan Ranggawarsita memiliki
kepemikiran yang tidak dapat dibandingkan dengan pujangga-pujangga lain dalam
dunia pemikiran pujangga Jawa.
Key words:
Hakikat manusia, sufisme, dan
kebatinan
_____________________________
A.
Pendahuluan
Dalam dunia sufisme Ibn al-Arab� adalah tokoh besar yang memiliki
pemikiran brilian. �Dia memiliki
segudang ilmu yang tidak semua orang dapat memilikinya. Seville awal ia
mendapatkan pendidikan formal. Ia mempelajari al-Qur�an dan tafsirnya, hadits,
fiqh, teologi dan filsafat skolastik Dalam sejarah pemikiran Islam ia adalah
tokoh kontroversial. Ia dikenal karena paham wahdat al-wuj�d-nya.
Banyak pihak yang menentangnya hingga ia dikafirkan. Tetapi banyak pula pihak
yang bersimpati dan menjadi pengikutnya. Mereka adalah sebagian besar kalangan
sufi, sehingga Ibn al-Arab� diberikan laq�b oleh para pengikutnya
sebagai as-Syaikh al-Akbar (Guru Yang terbesar).
Sedangkan Ranggawarsita adalah pujangga istana yang dididik dan
dibesarkan dalam lingkungan kepujanggaan dan kesusasteraan Jawa. Pada usia 12
ia bergabung pada sebuah pondok pesantren di daerah Gebang Tinatar, Tegalsari,
Ponorogo. Ia berguru pada� Kyai Kasan
Imam Besari. Setelah dirasa cukup memperoleh ilmu, ia dizinkan pulang dan
kembali menetap di rumah R.T. Sastranagara. Pada tahun 1815 M, Bagus Burham
(nama kecil Ranggawarsita) diserahkan kepada Gusti Pangeran Harya Buminata. Di
sana ia diberi pelajaran tentang ilmu jaya kawijayan, kadigdayan, dan kanuragan.
Dalam perkembangannya, Bagus Burham kemudian diserahkan untuk mengabdi pada
Sunan Pakubuwana IV oleh Gusti Pangeran Harya Bumina sebagai pujangga istana.
Ranggawarsita telah banyak menyusun dan mengembangkan kebudayan dan
kepustakaan Jawa. Dalam berbagai karyanya, ia berusaha mempertemukan tradisi
dan ilmu kejawen dengan unsur-unsur ajaran Islam. Salah satu beberapa karyanya
Wirid Hidayat Jati. Semua karya-karya yang telah dihasilkan olehnya
mendapat nilai sempurna dalam kalangan pujangga Jawa. Oleh karena itu ia
disebut sebagai pujangga penutup. Yang mengartikan sebagai kesempurnaan. Ini
disamakan seperti istilah penutup para Nabi.
Dalam hal pemikiran kedua tokoh ini menjadi ikon dalam dunia
kepemikiran mereka. Ibn al-�Arab� menjadi pelopor ajaran wujudiah dalam
dunia sufisme. Sedangkan Ranggawarsita memiliki kepemikiran yang tidak dapat
dibandingkan dengan pujangga-pujangga lain dalam dunia pemikiran pujangga Jawa.
Kedua tokoh ini telah melahirkan banyak konsep, salah satunya
tentang manusia. Ibn al-�Arab� mengakui pemikirannya dihasilkan dari pengalaman
batiniah dan pengetahuan intuitif (ma�rifat) dari Allah SWT. Pernyataan
semacam ini dapat dilihat dalam karyanya Fus�s al-Hikam.
Menurutnya Fus�s al-Hikam adalah hasil perintah
dari Nabi Muhammad saw., yang telah bertemu dengannya dan diperintahkan untuk
menyebarkan ajaran yang ada dalam kitab ini kepada umat manusia agar mereka
dapat mengambil manfaat darinya (Ibn al-�Arabi, 1980:47). Dan al-Fut�h�t
al-Makk�yah (Ketersingkapan Mekkah) adalah karya yang menurutnya hasil dari
ilham samaw� Allah kepadanya secara langsung (William C. Cittick,
2001:8).
Sedangkan Ranggawarsita melahirkan konsep pemikirannya berdasarkan
pola pikir ajaran leluhur, yaitu kebatinan Jawa. Salah satu diantaranya Wirid
Hidayat Jati. Menurutnya ajaran ini merupakan ajaran wali songo yang
diajarkan secara turun-temurun kepada murid-murid mereka dengan cara rahasia.
Kemudian ia berusaha mempublikasikan ajaran ini dalam karya Wirid Hidayat
Jati. Penulis menganggap hal ini merupakan legitimasi yang bersifat
subyektif. Karena bagaimanapun dalam tataran sejarah ataupun bukti lain
walisongo tidak pernah mengajarkan ajaran semacam ini.
Adapun konsep manusia pada
dasarnya merupakan inti pembicaraan mistik, baik tasawuf / sufisme maupun
kebatinan. Dalam sufisme manusia adalah tujuan utama proses tajalli Tuhan. Ia
adalah tujuan dari penciptaan-Nya. Sementara manusia dalam pandangan kebatinan
pun memiliki peranan yang tidak berbeda dengan sufisme.
Pemikiran sufisme, dalam hal ini Ibn al-�Arab� menampilkan beberapa
bagian yang menjelaskan konsep manusia. Menurutnya konsep manusia dapat
diterangkan melalui beberapa bagian, yaitu: tajalli al-Haqq,
kejadian manusia, makna sebagian tubuh�
manusia, macam manusia dan insan kamil. Sedangkan kebatinan, dalam hal
ini Ranggawarsita menjelaskan konsep manusia melalui beberapa bagian, yaitu: tajalli
Tuhan, penciptaan manusia, macam manusia, manugaling kawula gusti
danmanusia pilihan.
Kadua tokoh ini pada dasarnya memiliki perbedaan dan
kesamaan pemikiran. Ibn al-�Arab� yang lebih menonjolkan pemikirannya pada
nuansa falsafi, karena memang� memiliki
latar belakang pendidikan filsafat. Sedangkan Ranggawarsita menonjolkan ajaran
kebatinan Jawa, karena pemikirannya representasi kebatinan Jawa yang bernuansa
mitologis.
B.
Pembahasan
a) Konsep
Tajalli Tuhan
Kedua tokoh ini sama-sama membicarakan tajalli. Dalam hal
ini Ibn al-�Arab� menerangkan, bahwa insan kamil merupakan puncak proses tajalli
Tuhan. Ia adalah makhluk yang paling spesial. Dan Ranggawarsita pun menerangkan
konsep awal mula kejadian manusia melalui tajalli Tuhan, yaitu dengan tujuh
martabat.
Pada konsep tajalli Tuhan versi Ranggawarsita Tuhan bertajalli
tidak memiliki tingkatan tajalli, tetapi hanya memiliki tingkatan martabat.
Sedangkan dalam konsep tajalli Ranggawarsita, dijelaskan proses yang
mengarahkan pada penciptaan manusia dengan tujuh unsur yang terdapat di dalam
dirinya. Pada tajalli yang terakhir Tuhan memanifestasikan segenap asma dan
nama-Nya pada insan kamil, yaitu manusia yang sempurna kejadiannya dan memiliki
tujuh unsur sesuai dengan tujuh martabat pada proses tajalli Tuhan.
Berbeda dengan Ibn al-�Arab�, tajalli Tuhan yang pada akhirnya
memanifestasikan segenap sifat dan asma-Nya pada insan kamil adalah sebagai
proses tajalli yang mengantarkan dari tajalli kurang sempurna pada tajalli yang
sempurna. Manusia yang tercipta sesuai dengan kejadiannya dalam konsep Ibn
al-�Arab� tidak disebutkan memiliki tujuh unsur seperti yang disebutkan
Ranggawarsita. Tetapi pada kesempatan lain Ibn al-�Arab� mengatakan, bahwa di
dalam diri insan kamil terdapat essensi Tuhan yang tertergambar dengan, jiwanya
sebagai gambaran universal, tubuhnya mencerminkan �arsy, pengetahuannya
mencerminkan pengetahuan Tuhan, hatinya berhubungan dengan bait al-makmur,
kemampuan mental spiritualnya terkait dengan malaikat, daya ingatnya dengan
saturnus (zuhal), daya inteleknya dengan jupiter (al-musytari).
Dalam konsep tajalli Ibn al-�Arab� insan kamil diartikan sebagai
manusia sempurna yang memiliki asma�-asma� dan sifat Tuhan,
tetapi hanya bersifat potensial. Jadi tidak semua manusia dinamakan insan
kamil.
Sedangkan dalam konsep tajalli Ranggawarsita insan kamil diartikan
sebagai kejadian manusia secara sempurna yang lahir ke dunia. Jadi semua
manusia yang terlahir di dunia dinamakan insan kamil. Mereka memiliki tujuh
unsur sesuai dengan Tuhan bertajalli melalui tujuh martabat.
Adapun gagasan Ranggawarsita tentang Nur Muhammad dalam konsep tajalli
sebenarnya berasal dari Ibn al-�Arab�, karena ajaran yang menerangkan tentang
ini dalam dunia mistik Nusantara di bawa oleh para tokoh sufi, salah satunya
Nuruddin ar-Raniri (w. 1148 H/ 1735M), seorang ulama Gujarat yang lama menetap
di Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (abad ke-17). Al-Raniri
dalam kitabnya akhbaru al-�khiratf� ahw�li al-qiy�mat menyebutkan
Nur Muhammad.adalah suatu ciptaan yang diciptakan pertama kali oleh Allah
(Dhanu Priyono, 2003:113).
b)
Kejadian Manusia
Menurut Ibn al-�Arab� manusia diciptakan berdasarkan nama-nama
Tuhan, yaitu sifat-sifat jamal dan jalal-Nya, sehingga manusia
merupakan makhluk yang paling sempurna, yaitu makhluk yang dapat menyatukan
kedua kategori nama Tuhan. Sedangkan menurut Ranggawarsita, yang menjadikan
manusia sebagai makhluk yang sempurna, karena di dalam diri manusia terdapat
tujuh unsur yang berasal dari proses tajalli-Nya, yaitu hayyu (hidup), nur,
sirr (rahsa), roh (suksma), nafsu dan budi dan jasad.
Dua hal ini menunjukkan pemikian Ibn al-�Arab� mengacu pada
kualitas spiritual, bukan pada fisik atau kejadian jasamani. Sementara
pemikiran Ranggawarsita kebalikannya. Penekanan yang dimaksud sempurna lebih
bersifat pada kejadian fisik tanpa melibatkan kesempurnaan spiritual. Ibn
al-�Arab� menjelaskan, bahwa manusia memiliki dimensi lahir dan batin. Dimensi
lahir termanifestasi pada bentuk raga, sedangkan dimensi batin termanifestasi
pada makna bentuk raga seperti menurutnya, Allah menciptakan Adam as. dalam
bentuk nama Muhammad saw. oleh karenanya kepala Adam bulat seperti bulatnya
huruf mim pertama, sedangkan tangan dan lambungnya seperti huruf ha.
Perutnya seperti huruf mim kedua, dan kedua kakinya merenggang seperti
huruf dal. Adapun dimensi batinnya menunujukkan, bahwa manusia adalah makhluk
terpuji, seperti arti dari kata Muhammad, dan kata Muhammad adalah lambang dari
kesempurnaan, maka dari itu manusia diciptakan dengan nama Muhammad yang
berarti makhluk yang sempurna.
Konsep ini berbeda dengan yang diterangkan Ranggawarsita. Ia tidak
menerangkan makna dibalik bentuk raga manusia, tetapi justru menerangkan proses
masuknya tujuh unsur ke dalam raga manusia ketika dalam kandungan hingga lahir
sehingga jadilah manusia yang sempurna kejadiannya (Insan kamil). Seperti
dikatakannya, bahwa kejadian tubuh manusia tersusun atas hayyu, (atma)
yang terbentuk dengan jasad yang terdiri dari empat anasir, yakni tanah, api,
air dan angin. Setelah itu jasad dimasukkan unsur-unsur yang lima, yaitu nur,
rahsa, roh, nafsu dan budi. Semuanya dimasukkan melalui ubun-ubun, otak, mata,
telinga, hidung, mulut, dan dada yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh.
Setelah itu masuk mudah melalui tujuh tingkat yakni, ubun-ubun, otak,
mata, telinga, hidung, mulut, dan dada.
Selanjutnya dalam struktur tubuh manusia keduanya
sama-sama menerangkan� hakikat struktur
tubuh. Tetapi terdapat perbedaan dalam menerangkannya. Ibn al-�Arab�� menjelaskan, bahwa Allah menjadikan lima jari
jemari kaki sebelah kanan sebagai isyarat yang mengingatkan shalat lima waktu
yang diwajibkan kepada manusia, sehingga manusia dapat melaksanakannya dengan
berdiri di atas telapak kakinya. Sementara lima jari jemari sebelah kiri
memberi isyarat tentang kewajiban nishab zakat, yakni lima dirham. Maka
perintah shalat selalu dibarengi dengan perintah zakat, sehingga kedua telapak
kaki manusia memberi isyarat tentang shalat dan zakat. Kedua isyarat ini
realisasi dari simbol lima jari jemari kaki dengan arti, manusia harus
mengaplikasikan hablum min All�h dan hablum mi an-n�s.
Sedangkan Ranggawarsita menjelaskan, bahwa hakikat struktur manusia
merupakan singgasan tempat Tuhan bertakhta, seperti salah satu penjelasannya
yang mengatakan, kepala manusia adalah singasana Baitul Makmur yang
berada di dalam kepala itu dimak, yakni otak, diantara otak manik, dalam
manik budi, dalam budi nafsu, dalam nafsu suksma, dalam suksma rahsa, dalam
rahsa adalah Tuhan. Penjelasan ini mengidikasikan pola pikir kebatinan yang
bersifat pantheisme-monisme. Manusia dianggap sebagai wadah bagi Tuhan
bersinggasana.
c)
Macam-macam Manusia
Kedua tokoh ini membagi manusia dalam dua golongan. Ibn al-�Arab�
membagi manusia dalam dua macam, insan kamil dan insan hayawan. Insan kamil
adalah manusia yang dapat mengaktualisasikan akhlak Allah sehingga
nama-nama-Nya termanifestasi padanya. Ia disebut sebagai ��rif, yaitu
orang yang dapat mengetahui esensi alam berdasarkan pengetahuan intuitif (kasyf)
atau makrifat. Ia juga disebut hamba tuan. Sedangkan insan hayawan (manusia
hewan) adalah manusia yang tidak dapat mengaktualisasikan nama-nama Tuhan dan
dia tidak bisa berakhlak dengan akhlak Tuhan. Ia juga disebut hewan yang dapat
berpikir (al-hayaw�n al-n�tiq) atau hamba nalar.
Di lain kesempatan Ibn al-�Arab� membagi manusia pula dalam tiga
bagian. Pertama manusia ��rif, yaitu manusia seperti yang telah
dijelaskan di atas. Kedua, manusia yang memiliki kategori ahli iman atau
muslim mu�min. Ketiga, manusia yang memiliki kategori pemilik pikiran.
Sedangkan Ranggawarsita membagi manusia dalam dua golongan,
yaitu� khawas dan awam.
Golongan khawas adalah orang-orang yang memiliki ilmu tinggi dan ia akan
mudah untuk menemukan dan menyatu dengan Tuhannya. Orang-orang yang termasuk
dalam golongan ini adalah orang-orang pilihan seperti Sunan Kalijaga dan para
wali lainnya. Mereka diberi kesaktian oleh Tuhan. Sedangkan yang dimaksud
dengan Mu�min awam adalah manusia biasa yang tidak memiliki cukup ilmu.
Untuk itu ia akan susah dan menghadapi banyak tantangan dan cobaan dalam
perjalanannya menuju Tuhan.
d)
Insan Kamil
Ibn al-�Arab� dan Ranggawarsita sama-sama menyebutkan
istilah insan kamil. Tetapi masing-masing tokoh berbeda dalam mengartikannya.
Ibn al-�Arab� misalnya mengatakan, bahwa insan kamil adalah manusia ��rif
sebagai pengejawantahan tajalli Tuhan secara sempurna. Ia berakhlak dengan
akhlak Allah dan ia adalah khalifah Allah di bumi, sehingga ia dapat
mengartikulasikan nama-nama, sifat dan af�al-Nya.� Sedangkan Ranggawarsita mengatakan bahwa
insan kamil adalah manusia yang sempurna kejadiannya yang terdiri dari tujuh
unsur dan empat anasir yaitu, api, air, angin, dan tanah.
Dengan demikian pemikiran Ibn al-�Arab� dan Ranggawarsita
memiliki perbedaan yang mendasar dalam mendefinisikan insan kamil. Ibn
al-�Arab� mendefinisikan insan kamil dengan orientasi pada kesempurnaan dimensi
batin manusia yang dapat mengetahui esensi kehidupan dan wujud segala sesuatu.
Sedangkan Ranggawarsita mendefinisikan insan kamil dengan orientasi pada
kesempurnaan dimensi lahir manusia yang terlahir ke dunia melalui tujuh unsur
yang masuk padanya sesuai dengan tujuh martabat tajalli Tuhan.
Namun demikian insan kamil yang didefinisikan Ibn al-�Arab�,
Ranggawarsita mengistilahkannya dengan manusia pilihan. Manusia pilihan adalah
salah satu dari dua golongan, ia adalah manusia khos (dalam bentuk
jamaknya khawas). Manusia kategori ini memiliki makna insan kamil dalam
perspektif Ibn al-�Arab� dengan arti, bahwa mereka adalah orang-orang yang
dapat menghayati kemanunggalannya dengan Tuhan dan mencapai iradat kesatuan
dengan Tuhan. Mereka menjadi saksi dan berkuasa laksana Tuhan. Seperti
kata-kata, �kang cinipta dadi, kang sinedya ana, kang kinarsan teka, saka
parmaning kang kuasa� (yang dicipta terjadi, yang diingini ada seketika,
yang dikehendaki datang, dari anugerah Tuhan).
Selanjutnya insan kamil dalam perspektif Ibn al-�Arab� hanya dapat
dicapai� seseorang melalui penjalanan
syari�at secara kaffah.Ia harus menjalankan semua perintah berupa
kewajiban sebagai aplikasi dari ketundukannya. Ia pun harus meninggalkan semua
larangan Tuhan sebagai aplikasi dari ketakutannya. Dan ia harus melaksanakan
semua amalan sunah secara intensif dan konsekuen sebagai aplikasi dari
kecintaannya. Karena menurut Ibn al-�Arab� syari�at adalah timbangan dan
pemimpin. Dengan demikian seseorang yang ingin mencapai derajat insan kamil
harus melaksanakan pendekatan diri kepada Tuhan secara intensif dengan
melaksanakan ritual-ritual yang dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan, seperti
riyadhah. Ia akan mengalami berbagai anugerah �psikisberupa ahwal yang sebelumnya
melewati beberapa stasion-stasion psikologis (maqamat).
Sedangkan bagi seseorang yang ingin mencapai derajat manusia
pilihan (versi Ranggawarsita) ia harus memiliki ilmu makrifat atau ilmu
kasunyatan dan ilmu kasampurnan. Dengan memenuhi beberapa syarat,
diantaranya menghindari pebuatan hina (nistha papa), menghindari
perbuatan dusta (dhora sangsara), menghindari perbuatan jahat (dhusta
lara) dan menghindari perbuatan aniaya (nihayah pati).
Selain itu ia pun harus melakukan ritual-ritual khusus berupa
tuntunan budi luhur dan manekung yang gunanya untuk menghayati
kemanunggalan dengan Tuhan hingga mencapai penghayatan kemanunggalannya. Dengan
ritual ini ia akan ditampakkan oleh Tuhan berupa alam ruhiah, alam sirriyah,
alam nuriyah, alam uluhiah, dan manunggal dengan cahaya Dzat yang
bersifat kuasa. Hal ini dalam konsep Ibn al-�Arab� sama dengan proses
pendapatan maqamat dan akhwal.
Ranggawarsita mendapat pendidikan agama dan mental kerohanian di
pesantren Tegalsari. Pesantren ini dipimpin Kiai Kasan Besari, seorang guru
agama dan kebatinan kenamaan pada masa itu. Walaupun Ranggawarsita kurang tekun
dalam mempelajari agama Islam, namun lingkungan kehidupan tasawuf dalam
pesantren kelihatan cukup membekas dalam jiwa dan kepribadian sang pujangga.
Pengaruh ajaran dan kehidupan tasawuf tercermin dalam sikap hidup dan karya-karya
Ranggawarsita. Dalam Wirid Hidayat Jati pokok-pokok ajaran tasawuf
dipadukan dengan berbagai ajaran kejawen. Oleh sebab itu ajaran semacam ini
disebut mistik Islam kejawen (Simuh, 1988:373).
Sedangkan Ibn al-�Arab� adalah seorang sufi dengan background pendidikan
nyaris komplit dan sempurna. Dalam masa pendidikannya ia mempelajari hampir
semua disiplin keilmuan, mulai dari al-Qur�an dan tafsirnya, hadits, sampai
filsafat skolastik. Kehidupan sufinya sudah terpolakan sejak kecil yang dimulai
dari lingkungan keluarganya. Karena bapak dan pamannya adalah sufi. Pada umur
15 tahun Ibn al-�Arab� sudah bergabung dalam lingkungan tarekat. Pemikiran yang
telah dihasilkannya menghasilkan perpaduan mistik cinta ilahi dengan kosmologi
yang berbau filsafat skolastik. Konsepnya tentang manusia memiliki nuansa
mistis falsafi yang selanjutnya dikembangkan oleh para pendukungnya,
diantaranya al-Jili (1365-6 M.) dan al-Burhanpuri yang pada perkembangannya
ajaran ini banyak dipelajari para ulama sufi di Nusantara. Di Nusantara ajaran
ini melebar hingga ke pulau Jawa yang pada perkembangan selanjutnya ajaran
manusia al-Burhanpuri (1620 M) dimasuki unsur-unsur kejawen sebagaimana
dikatakan Yunasril Ali dalam penelitiannya (Yunasril Ali, 1997:208).
Sedangkan menurut penelitian Mark R. Woodward, ajaran-ajaran Ibn
al-�Arab� telah dikenal di Jawa sejak setidaknya pada abad ke-16 (Mark
Woodward, 2004:113). Rupanya masuknya ajaran wujudiyah Ibn al-�Arab�
yang bertemu dengan ajaran kejawen telah menghasilkan pemikiran Ranggawarsita
mengenai manusia yang tertuang dalam Wirid Hidayat Jati.
Adapun jaran martabat tujuh sebagai pengembangan ajaran Ibn
al-�Arab� pada abad tujuh belas disebarluaskan oleh empat orang tokoh pemikir
sufi di Aceh. Mereka adalah, Abdul Rauf Singkel (1617-1690), Syamsuddin Pasai
(w. 1630), Nuruddin al-Raniri (w.1658) dan Hamzah Fansuri (tahun wafatnya tidak
diketahui secara jelas). Selanjutnya ajaran yang mereka bawa berkembang dan
kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam kejawen. Pengaruh
Abdul-Rauf berkembang melalui tarekat Syatariah yang menyebar ke Cirebon dan
Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan Sekar
Macapat, yang ditulis sekitar tahun 1680. Dari gubahan Serat Tuhfah dan
Sekar Macapat ini ajaran martabat tujuh ditulis kembali dalam sebuah
karya bernama Serat Centhini dan Wirid Hidayat Jati (Simuh,
1988:308).
Dengan demikian ajaran manusia yang terdapat di Jawa, khususnya
konsep yang dilahirkan Ranggawarsita merupakan pengaruh ajaran martabat tujuh yang
dicetuskan oleh al-Burhanpuri, sebagai pengembangan teori tajalli al-Jilli dan
Ibn al-�Arab�. Masuknya unsur tasawuf� ke
dalam ajaran kejawen menurut Yunasril Ali wajar, karena ajaran tersebut, pada
sisi tertentu, memiliki kesamaan visi. Ini terlihat, antara lain, adanya
wangsit dalam kebatinan Jawa, yang dalam ajaran tasawuf disamakan dengan ilham
atau kasyf �(Yunasril Ali,
1988:208).
Selanjutnya mengamati konsep kesatuan hamba dan Tuhan, konsep ini
merupakan konsep sentral dalam pemikiran keagamaan di Jawa. Ia juga sekaligus
metafora paling umum untuk kesatuan mistik dan model hubungan sosial hierarkis
dalam negara tradisional. Seperti banyak aspek filsafat Jawa lainnya, ia sangat
berkaitan erat dengan tradisi tekstual dan filsafat Islam (Mark Woodward,
2004:113). Hal ini sama juga dengan filsafat Islam yang menerangkan penciptaan
alam manusia melalui tajalli Tuhan sebanyak tujuh martabat. Sebenarnya tidaklah
bersumber dari al-Qur�an. Karena al-Qur�an sepanjang pemahaman kaum Sunni hanya
mengetengahkan ajaran creatio ex-nihilo atau dalam ungkapan teologi
Islam disebut al-ijad min al-�adam. Artinya Allah menciptakan alam
semesta, termasuk manusia berasal dari tidak ada menjadi ada, bukan dari
tajalli Dzat Tuhan. Sedangkan ajaran yang dijelaskan Ibn al-�Arab� dan
Ranggawarsita, alam dan manusia berasal dari tajalli dzat Tuhan.
Pemikiran Ibn al-�Arab� seperti ini menurut pengakuannya berasal
dari ilham Allah SWT., melalui Jibril dan tuntunan langsung Nabi Muhammad saw.
yang keduanya disampaikan melalui penyingkapan intuitif atau pengalaman batin
yang tidak dapat dialami oleh sembarang orang (ma�rifat).
Sedangkan ajaran Wirid Hidayat Jati yang juga menerangkan tajalli
Tuhan sampai menjadi alam dan manusia, menurut Simuh disusun dari berbagai
sumber. Istilah-istilah ataupun ajaran yang terkandung di dalamnya telah ada
dalam serat centhini. Kerangka pikiran tentang penciptaan manusia
beserta alam semesta ini pun bersumber dari ajaran martabat tujuh, yaitu dari
kitab Tuhfah karya Muhammad Ibn Fadhlillah al-Burhanpuri (1620).
Sedangkan penghayatan gaib sampai penghayatan manunggaling kawula gusti
bersumber dari ajaran SeratDewaruci (Simuh, 1988:375-376). Dengan
demikian pembahasan dan pemikiran Ranggawarsita terpusat untuk merumuskan
kembali pokok-pokok pemikiran yang terdapat dalam perbendaharaan kepustakaan
Jawa dan Islam kejawen. Sehingga karya-karya Ranggawarsita pada umumnya
mencerminkan perpaduan antara alam pikiran Jawa dengan ajaran agama Islam.
Hadirnya pengaruh Islam sebagai ciri karakteristik karya Ranggawarsita tidak
terlepas dari pengalaman hidup sang pujangga, baik pada masa mudanya-sewaktu
belajar ilmu agama Islam pada kiai Imam Besari di Jawa Timur, maupun pada masa
mudanya yang mengabdi pada pemerintahan kasunan Surakarta yang secara implisit
memproklamasikan sistem pemerintahannya sebagai negara Islam di Jawa.(Dhanu
Priyo Prabowo, 2003:89-90)
Di sisi lain Ibn al-�Arab� telah memberikan pengaruh ajarannya
terhadap paham mistik kebatinan Jawa. Ia telah memberi bahasa doktrinal yang
terkaya selama berabad-abad dengan menguraikan misteri gnosis dan menjelaskan
visi tentang kebenaran yang diperoleh melalui kasyf. Selain itu dalam
merumuskan ajaran-ajarannya, Ibn al-�Arab� menggunakan seluruh sumber yang ada,
mulai dari al-Qur�an dan al-hadits hingga seluruh disiplin ilmu. Ia merupakan
figur yang supra jenius di bidang atsar dan sunah, dan tidak alergi
berinteraksi dengan berbagai disiplin keilmuan.�
Untuk itulah ia telah mencapai tingkat kesempurnaan batas ijtihad dalam
menggali, beristimbat, merumuskan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syari�at.
Pemikirannya hanya dapat dimengerti oleh orang yang mengkaji
pemikiran-pemikirannya secara intensif. Tidak mengherankan apabila dalam
sebagian tulisan-tulisan Ibn al-�Arab� sering ditemukan term-term yang sulit dipahami
secara eksoteris (lahiriah).
Adapun ajaran yang berkaitan dengan mistik Ibn al-�Arab� sebagai
upaya manusia untuk dekat atau bahkan menghayati penyatuan dengan Tuhan
sangatlah menonjol dan menunjukkan, bahwa ajaran yang berkaitan dengan itu pada
pemikiran kebatinan Jawa, khususnya konsep manusia Ranggawarsita tidak dapat
dipisah-lepaskan dari ajaran Ibn al-�Arab�. Karena ajaran ini memiliki
persamaan persepsi, yaitu jalan untuk menghayati penyatuan dengan Tuhan. Dengan
demikian ajaran Ibn al-�Arab� sangat penting dalam dunia pemikiran kebatinan
Jawa, khususnya pandangan Ranggawarsita yang dapat dilihat dari beberapa
istilah yang menunjukkan penghargaan terhadap mistik Islam, seperti ilmu
ma�rifat atau ilmu kasampurnan (Dhanu Priyo Prabowo, 2003:109). Berdasarkan
hubungan yang sangat dekat antara nilai-nilai Islam dan kebatinan kejawen yang
disajikan Ranggawarsita dapat dikatakan, bahwa hasil karya Ranggawarsita
merupakan sastra Jawa yang terpengaruh Islam.
Dengan dikemukakannya dua konsep manusia ini penulis mengharap agar
para pencari kebenaran menyadari, bahwa manusia adalah ciptaan utama yang
dirinya dibebani suatu tugas untuk menjadi khalifah Tuhan. Sebagai
makhluk Tuhan pula manusia merupakan makhluk yang paling banyak mendapat
perhatian-Nya. Ia diciptakan untuk mengemban amanat dari-Nya. Apa yang telah di
dibebankan kepadanya adalah kewajiban yang efeknya merupakan suatu kebahagiaan
hakiki. Kebahagiaan berupa kedekatan kepada-Nya dan manunggal dengan-Nya. Untuk
itu rugilah bagi manusia yang tidak dapat mencapai kebahagiaan hakiki. Mereka
yang tidak bisa menjalankan amanat Tuhan berupa kewajiban syar�iyyah
tentunya akan mendapatkan imbalan kesengsaraan abadi di hari pembalasan. Maka
manusia harus senantiasa mengingat dari mana ia berasal dan akan kemana ia
berasal (sangkan paraning dumadi). Jika ia selalu mengingat prinsip di
atas tentunya ia akan selalu melaksanakan kewajiban taklifsyar�i. Taklif
berupa kebaikan dalam hubungan dengan Tuhan dan kebaikan dalam hubungan dengan
sesama manusia dan alam. Dan inilah yang menjadikan manusia sebagai khalifah
di muka bumi.***
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, H. Zainal Arifin. 1966. Ilmu Tasawuf. Medan: Fa. Madju.
Aceh, Abu Bakar. 1994. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadan
Afifi, A.E. 1995. Filsafat Mistis Ibn �Arabi. alih bahasa. Sjahrir Mawi dan Nandi Mawan. Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina.
al-Kalabadzi, Ab� Bakar Muhammad. 1980. �at-Ta�aruf li Mazhab Ahl al- Tasawuf. Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah.
al-Qusyairi, Ab� al-Q�sim, al-Ris�lah al-Qusyairiyah, tahqiq
Abd al-Hal�m Mahmud dan Muhammad al-Sy�rif, Kairo: Dar el-Kutub al-Had�tsah ,
tt., juz 2
Badawi, Abd. Al-Rahm�n al-, T�rikh al-Tasawuf
al-Isl�m� Min al-Bid�yat Hatt� Nih�yat al-S�ni, Kuwait: Wakalah
al-Mathbu�ah, 1975
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta:
Putaka Pelajar, 2004
Bayrakli, Bayraktar, Eksistensi Manusia,terj,
Suharsono, Jakarta: Perenial Press, 2000
Bukhari, Muhammad Ibn Ismail al-, Shahih al-Bukhari,t.kt.:
Dar al-Mathabi� al-Sya�bi, t.th.
Chittick, William C. 1994. �Imaginal Worlds Ibn �Arabi and The Problem of Religious
Diversity t, tk: University of New
York Press.
-------, William C. 2001. Islam Intelektual, terj tim perenial,
Jakarta: Perenial Press.
-------,William C. 2001. The Sufi Path Of Knowledge
Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu, terj, Achmad Nidjam dkk, Yogyakarta: Qalam.
-------, William C. 1989. The Sufi Path of
Knowledge, New York: StateUniversity of New York Press.
Corbin, Henry. 1997. �Alone With The Alone,
Creative Imagination in the Sufism of Ibn �Arabi, New Jersey: Mythos.
-------, Henry. 2002. �Imajinasi Kreatif Sufisme
Ibn �Arabi, terj� Moh Khozin
dan Suhadi, Yogyakarta: LKIS.
Ghaz�l�, Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-. 1316 H. �Al-Munqidz min al-Dal�l, Kairo: tp.,
-------, Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-. 1334 H. �Ihy� �Ulum al-D�n, pendahuluan, Kairo: Mustafa al-Halab�,
, vol. 3.
Hadijaja, Tarjan. 1952. �Kepustakaan JawaJakarta: Jambatan.
Hadiwijono, Harun, Konsepsi Tentang Manusia Dalam
Kebatinan Jawa, t,kt: Sinar Harapan, t,th
Hadiwijono, Harun, Konsepsi Tentang Manusia Dalam
Kebatinan Jawa, t,kt.: Sinar Harapan, t,tt.
Hamidulllah, Moh. 1970. �Introduction to Islam, USA, Indian,
HAMKA. 1971. �Perkembangan Kebatinan di
Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.
Ibn al-�Arabi. 1980. al-Futuh�t al-Makkiyyah, 4 vol Beirut: D�r al-Kitab
al-�Arab�.
------- 1980. Fusus al-Hikam, ed. oleh Ab� al-�Al�
Af�f�, Beirut: Dar al-Kitab al-�Arabi.
-------, 2001. Misteri Kun �Syajaratul
Kaun� ,Surabaya: Risalah Gusti
Ibn Isma�il, Abi Abdillah Muhammad, Matan Shahih
Bukhari, juz 4 Tuhan, tk, D�r al-N�l, Tuhan, th
Izutsu, Toshihiko. 2003. �Relasi Tuhan dan Manusia, Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Jauzi, Ibnu al-, Talb�s Ibl�s,� Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Kalabaz�, Muhammad Ibn Ibrahim al-. 1978. The doctrin
of the Sufi, Terjemahan oleh A.J. Arbery dari al-Ta�aruf Li Mazhab Ahl
al-Tasawuf, London: Cambriddge University Press.
M.M. Mujieeb, The Indian Muslim, dalam �Sufis
and Sufism�, London: George Allen & Unwien Ltd., tt. Chapter VI-XIV
Massignon, Luis. 1961. Tasawuf dalam Shorter Encyklopedia of Islam,Leiden: e.j. Brill.
Nasr, Seyyed Hossein. 1966. �Ideals and Realities of Islam, London: George Allen &
Unwind Ltd.
Nasution, Harun. 1999. Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Noer, Kautsar Azhari. 1995. Wadat al-Wujud dalam
Perdebatan, Jakarta: Paramadina.
Prabowo, Dhanu Priyo. 2003. Pengaruh Islam Dalam
Karya-Karya R.Ng. Ranggawarsita,Yogyakarta: Narasi.
Praja, Kamil Karta. 1981. Aliran Kepercayaan/
Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Ridha Tarigan.
Purwadi. 2003. Tasawuf Jawa Yogyakarta: Narasi.
Rasjidi, H.M. 1967. Islam dan Kebatinan Jakarta:
Bulan Bintang.
Raziq, Abdul, Ma�Al-�Arabi al-Ghazal� f� Munqizh min
al-Dal�l, Kairo: Dar el-Kaumiyyah, tt.
Romdon. 1996. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Simuh. 1987. dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah
Atas Karya-karya Klasik, penyunting, Ahmad Rifai Hasan, Bandung: Mizan
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta UI-Press.
Soesilo. 2000. Sekilas Tentang Ajaran Kejawen sebagai pedoman Hidup,Surabaya: Medayu Agung.
Suhraward�, Abu Hafs �Umar al-. 1939. �Awarif al-Ma��rif, dalam al-Ghazali, Ihy� �Ul�m al-D�n, Kairo:
Mutsafa al-Babi al-Halabi.
Syihab, Alwi. 2002. Islam Sufistik, Bandung: Mizan.
Taftazan�, Abu al-Wafa al-Ghanimi al. 1985. Sufi dari Zaman ke
Zaman. Bandung: Penerbit Pustaka
-------, Abu al-wafa al-Ghanimi at-. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi� Utsmani,
Bandung: Pustaka.
Trimingham, J.S. 1971. The Sufi Orders in Islam, London: OxfordUniversity
Press.
T�s�, Ab� Nasr, al-Sarraj al-. 1960. al-Luma�,
disunting oleh Abdul Hal�m Mahmud dan Th�ha Sur�r, Kairo: tp.
Zahri, Mustafa. 1984. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu.