NABI PEREMPUAN:

Karakteristiknya Dalam Alquran Dan Kontroversi Pendapat Seputar Nabi Perempuan Di Kalangan Ulama

 

Eni Zulaiha, M.Ag.

(Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan pada Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir fakultas Ushuludin. Sedang menyelesaiakan program doktor di prodi Filsafat Agama pada universitas yang sama )

 

 


Abstrak

Bahasan kenabian dalam Islam adalah jantung bagi pemahaman ajaran agama Islam lainnya. Wacana tentang kenabian perempuan bukanlah sesuatu yang dipaksakan oleh tuntutan kontemporer atau paksaan pemikiran Barat yang cenderung dianggap liberal. Wacana kenabian perempuan dalam Islam itu ada dalam kajian ayat ayat Alquran dan hadis. Mereka yang menolak adanya nabi perempuan biasanya terjebak pada pemahaman lafadz Rijalan pada salah satu ayat Alquran tentang nabi dan rasul,dan mengesampingkan informasi hadis �hadis tentang kenabian perempuan. Bagi para pendukung ada nabi perempuan, memiliki dasar pijakan dari tanda- tanda kenabian, yang mempersyaratkan memperoleh wahyu. Alquran dan hadis menyebut beberapa perempuan yang diberi wahyu dan disapa allah dalam Alquran dengan frase siddiqah seperti sapaan pada nabi laki- laki.

Key Word:

Wahyu, ilham, Nabi, Siddiqoh, Rasul, Prophet, Prophethess dan wali

 

 

 



A.    Pendahuluan

Isu kenabian adalah topik yang sudah dibahas oleh para filosof muslim terdahulu hingga abad moderen. Ada atau tidaknya kenabian perempuan juga masih menyisakan persoalan yang belum selesai. Dikalangan ulama muslim mereka bearadu argumentasi seputar ada atau tidak adanya nabi perempuan dalam pemikiran Islam.

Menurut penulis, pembahasan tentang nabi perempuan bermuara pada dua tema mendasar, pertama, pada masalah prinsipal apakah perempuan dapat digolongkan pada kelompok para nabi atau tidak, kedua, DapatkahMaryam dan perempuan lainnya yang disebut dalam Alquran telah menerima wahyu itu tergolong nabiyyah.

Tulisan ini akan membahas pengertian nabi dan karakteristiknya dalam Alquran, Misi kenabian dan Ayat-ayat Alquran tentang Nabi, dan kontroversi pendapat seputar nabi perempuan di kalangan ulama

 

 

 

 

 

 

B.     Pembahasan

a)      Pengertian Nabi dan Karakteristiknya Dalam Alquran

Secara etimologis, kata nabi berasal dari bahasa Arab, naba�, berarti warta (al-khabar, news), berita (tidings), informasi (information), laporan (report)[1]. Dalam bentuk transitif (anba' 'an) ia berarti memberi informasi (to inform), meramal (to pre�dict), to foretell (menceritakan masa depan), dan istanba'a (meminta untuk diceritakan).[2]Kata nabi ini bentuk jamaknya nabiyyun dan anbiya'.Sedangkan nubuwwah adalah bentuk masdar (kata benda, noun) dari naba� yang berarti kenabian (prophecy, ramalan atau prophethood, kenabian), sifat (hal) nabi; yang berkenaan dengan nabi.[3]

Dalam bahasa Inggris, nabi biasa disebut dengan prophet berarti seseorang yang mengajarkan agama, dan mengklaim, mendapat inspirasi dari Tuhan dan prophetess sebutan untuk nabi perempuan;[4] dan dalam bahasa Yunani prophetes yang berarti orang yang berbicara atas nama orang lain. Dalam hal ini, ia berarti "orang yang mengkomunikasikan wahyu Tuhan." Kata prophetes diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew menjadi kata 'nabi'. Secara etimologis, kata ini berarti "memanggil", "berbicara keras". Ada juga yang secara langsung mengartikan sebagai "orang yang dipanggil Tuhan untuk berbicara atas nama-Nya".[5]

Menurut Mawlana Muhammad 'Ali, kata nabi berasal dari kata naba�a (jamaknya anbiya') yang artinya adalah "pemberitahuan yang besar faedahnya," yang menyebabkan orang mengetahui sesuatu. Imam al-Raghib al-Asfahany dalam kitabnya al-Mufradat fi GharibAlquran menambahkan bahwa berita itu bukanlah sembarang berita, tetapi berita yang tidak mungkin salah.[6]

Tentang istilah nabi ini, Gibb dan Kramers memberikan keterangan lain.[7]Mereka mengatakan bahwa istilah ini merupakan pinjaman dari kata Ibrani, nabi dan Aram n-b-a. Istilah ini baru muncul pada ayat-ayat dalam periode Makkah kedua. Tetapi keduanya tidak menjelaskan apa arti kata itu. Memang, Alquran sering meminjam istilah-istilah non-Arab, seperti bahasa Ibrani. Tetapi setelah ditampilkan dalam Alquran, istilah-istilah itu selalu mengandung muatan makna baru yang berbeda dari arti lamanya.

Secara istilah, kata nabi memiliki banyak definisi. Nabi ada�lah seseorang yang menerima wahyu dari Allah SWT melalui perantaraan malaikat atau ilham maupun mimpi yang benar. Mereka juga adalah mubasysyir (pembawa berita baik, yaitu tentang ridha Allah dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang mengikutinya) dan munzir (pemberi peringatan, yaitu balasan mereka dan kesengsaraan bagi mereka yang ingkar) (QS. al-Baqarah [2]: 213).[8]

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللهُ يَهْدِي مَنْ يَشَآءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

 

"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendaknya.dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendakinya kepada jalan yang lurus."

Kata nabi disebut sebanyak 75 kali dalam 20 surat, sedangkan kata naba� sendiri disebut sebanyak 29 kali dalam 21 surat. Salah satu ayat yang menyebut kata nabi adalah terdapat dalam surat Maryam [19]: 30-31,

قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آَتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا (30) وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا (31)

"Berkata 'Isa: "Sesungguhnya, aku adalah hamba Allah. Dia memberikan sebuah Kitab dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup;

 

Dalam ayat ini 'Isa menjelaskan dirinya sendiri sebagai seorang hamba Allah biasa, maksudnya bukan putra Allah, dia telah pula diberi Kitab, yakni Injil dan ditetapkan sebagai seorang nabi. Dengan begitu, 'Isa adalah orang yang diberkati Allah dan ia merasakan berkat itu. Tetapi ia mendapat misi ke�nabian, yang tujuannya adalah untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian tentang istilah nabi, berkaitan dengan kata naba� yang maknanya berita, kabar, warta atau cerita. Makna sesungguh�nya dari kata naba� ini perlu dilihat dalam konteks ayat-ayat Alquran sendiri,[9] seperti misalnya dalam surat Ali Imran [3]: 43,

يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ

"Inilah sebagian berita (naba�,) yang Kami wahyukan kepadamu. Dan engkau tidak berada di antara mereka tatkala mereka melemparkan pena mereka (untuk menentukan) siapa diantara mereka yang akan memelihara Maryam, dan engkau tidak berada di antara mereka tatkala mereka bertengkar satu sama lain." (Ali Imran [3]: 43).

 

Pembicaraan tentang terma nabi (an-nabiy, prophet) dan kenabian (an-nubuwwah, prophecy/prophethood) tidak terlepas dari term rasul (ar-rasul, apostol) dan kerasulan (ar-risalah, apostolos). Banyak yang menyamakan antara keduanya dan dengan demikian dapat dipakai secara bergantian, namun tidak sedikit pula yang melakukan pembedaan.Namun secara umum, nabi dan rasul adalah manusia yang dipilih Allah SWT untuk menerima dan menyampaikan wahyu Allah.[10]

Secara tradisional, penulis-penulis Muslim mengenai Alquran membuat sebuah perbedaan antara nabi dan rasul.Nabi adalah utusan Allah yang tidak membawa hukum (syari'at) dan mungkin pula kitab Allah kepada manusia; sedang rasul yang bentuk jamaknya rasul, dalam pengertian bahasa berarti utusan, dan menurut istilah adalah utusan Allah yang membawakan hukum dan kitab Allah. Atau menurut pendapat yang masyhur, nabi adalah orang yang menerima wahyu dari Allah SWT tanpa kewajiban menyampaikannya kepada orang lain, sedang rasul adalah orang yang menerima wahyu dari Allah dengan kewajiban menyampaikannya kepada manusia.[11]Batasan ini menunjukkan bahwa nabi menyampaikan wahyu Allah kepada kaumnya melalui keteladanan pribadi yang terbentuk atas bimbingan wahyu, sedang rasul, disamping keteladanan, mereka dituntut pula menyampaikan wahyu yang diterimanya secara aktif.

Dalam penjelasan ensiklopedia karya Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, makna nabi adalah seorang yang menjalankan tugas kenabiannya dalam kerangka wahyu yang telah ada, berlawanan dengan rasul, yang membawa wahyu baru.[12]Rasul, secara harfiah berarti pesuruh atau diutus. Kata jamaknya adalah rusul. Alquran sering pula menyebut para rasul itu dengan istilah al-mursalin, yaitu "mereka yang diutus". Se�orang rasul, menurut Glasse mengemban misi membawa religi baru atau wahyu baru dalam konteks masyarakatnya. Mereka itu disebut juga ulual-'azm (QS. Al-Ahqaf [46]: 35). Menurut al-Tabary, disebut ulual-'azm karena mereka mempunyai kesabaran dan keuletan dalam menghadapi berbagai cobaan ketika menyampaikan amr al-ma'ruf nahy an al-munkar.[13]

Selanjutnya, di antara orang yang membedakan dua terma tersebut adalah Muhammad 'Ali ash-Shabuniy. Menurutnya, nabi adalah seseorang yang mendapat wahyu dari Allah berupa hukum syari'at, tetapi tidak dibebani untuk menyampaikannya, sedang rasul adalah seseorang yang mendapat wahyu dari Allah berupa hukum syari'at tetapi diperintahkan untuk menyampai�kannya.[14]Lain lagi definisi yang diberikan oleh al-Bazdawiy yang menyatakan bahwa rasul adalah seseorang yang didatangi oleh Jibril untuk menjadikannya sebagai rasul bagi suatu kaum dan supaya mengajak kaum tersebut kepada Islam dan mengajarkan kepada mereka hukum syari'at. Sedang nabi adalah sese�orang yang mendapat ilham dari Allah (tanpa perantara Jibril) atau melalui mimpi, atau berdasarkan khabar dari rasul bahwa ia seorang nabi yang mempunyai tugas untuk mengajak umatnya kepada Islam.[15]Sedangkan menurut Ibn Tahir at-Tamimiy al-Bagdadiy, nabi adalah orang yang mendapat wahyu dari Allah melalui malaikat dan rasul adalah orang yang diberi syari'at untuk memulai atau menghapus sebagian syariat sebelumnya.[16]

Untuk menguatkan pendapatnya, mereka mengajukan argumen di antaranya hadis Nabi Saw.yang menyebutkan jumlah nabi itu 124.000 sedangkan jumlah rasul ada 315.[17]Argumen lain adalah QS. Al-Hajj [22]: 52 yang menyebutkan nabi dan rasul secara terpisah,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آَيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

 

Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau seorang rasulpun dan tidak pula seorang nabi kecuali apabila dia menginginkan (membaca), maka syetan mengganggu keinginannya..."

dan QS. Maryam [19]: 51.

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَى إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا

"Dan ingatlah (berita) Musa dalam Kitab; sesungguhnya dia adalah seorang yang terpilih dan dia adalah seorang rasul dan nabi."

Bagi mereka, jika sebagian nabi disifati sebagai nabi sekaligus rasul, maka itu menunjukkan bahwa rasul itu lebih dari�pada sekedar nabi, yakni risalah mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada kenabian.Setiap rasul adalah nabi namun tidak setiap nabi adalah rasul.Dengan demikian tentunya jumlah rasul tentu lebih sedikit daripada nabi.[18]

Yang menjadi alasan kelompok yang membedakan antara nabi dan rasul bagi pendapatnya bahwa baik nabi maupun rasul keduanya dituntut untuk menyampaikan (tabligh). 2) Mengabaikan tugas penyampaian berarti menyembunyikan (kitman) wahyu Allah. Padahal Allah menurunkan wahyu untuk disebarluaskan, bukan untuk disimpan dalam diri sendiri. 3) Sabda Nabi SAW:

"Telah diperlihatkan kepadaku umat-umat di mana kulihat seorang nabi yang disertai banyak pengikut, nabi yang diikuti oleh satu dua orang serta nabi yang tidak ada pengikutnya."

Hadis di atas juga menunjukkan bahwa para nabi itu diperintahkan untuk menyampaikan wahyu-nya.Selanjutnya dia mengemukakan definisi yang cukup bagus bahwa rasul adalah orang yang mendapat wahyu dari Allah berupa syari'at yang baru; sedangkan nabi adalah seorang yang diutus untuk meneguhkan dan melanjutkan syari'at sebelumnya.

Adapun mereka yang menyamakan dua term tersebut berargumen pada: pertama, QS. Al-Muddassir [74]:12.

وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا

"Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan!"

Ayat tersebut secara jelas memerintahkan nabi untuk berdakwah dan memberi peringatan.Kata Nabi yang merupakan derivasi dari kata naba', yang berarti bahwa Allah memberikan kabar kepadanya melalui wahyu kepada siapa saja yang dikehendaki (QS. At-Taubah [9]: 94),

يَعْتَذِرُونَ إِلَيْكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ قُلْ لَا تَعْتَذِرُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكُمْ قَدْ نَبَّأَنَا اللَّهُ مِنْ أَخْبَارِكُمْ وَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

 

"Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan 'uzurnya kepadamu, apabila kamu Telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: "Janganlah kamu mengemukakan 'uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) Sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami beritamu yang sebenarnya. dan Allah serta rasulnya akan melihat pekerjaanmu, Kemudian kamu dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan."

 

Berdasarkan ayat di atas, maka nabi mempunyai tugas menyampaikan apa saja yang diwahyukan kepadanya. Oleh karena itu, setiap nabi wajib menyampaikan apa yang di�wahyukan kepadanya berupa syari'at. Jika tabligh (penyampaian) merupakan buah dari kenabian, maka tidak ada dalam hukum Allah orang yang diberi wahyu tapi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya.[19]

Hal ini diperkuat oleh pendapat 'Umar Sulaiman al-Asyqar, walaupun dia juga membedakan terma nabi dan rasul, namun pembedaan ini bukan terletak pada adanya tuntutan menyampaikan wahyu atau tidak, sebagaimana definisi yang umum, tapi lebih pada isi wahyu atau syariat yang dibawa. Dia berargumen di antaranya: 1) QS. Al-Hajj [22]: 52: sebagaimana disebut di atas.

Demikian juga dalam QS. Al-Baqarah [2]: 285.

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

 

Dalam ayat 285 disebut dengan istilah rusul dan ayat 283 dengan istilah nabi, namun hakikatnya adalah sama (an-Nabiyyun sama dengan al-Mursaliin). Maksud ayat ini adalah larangan membeda-bedakan di antara para nabi atau rasul.Menyebut sebagian mereka yang mendapat wahyu dari Allah sebagai nabi, karena tidak diperintahkan untuk menyampaikannya; sedang sebagian lainnya adalah nabi sekaligus rasul karena mendapat perintah menyampaikan, dalam hal ini adalah dianggap sebagai pembedaan.[20]

Menurut Murtadha Mutahhari, seorang nabi adalah seorang manusia yang bertindak sebagai penerima dan kemudian menyampaikan pesan-pesan Tuhan (baca: wahyu) kepada umat manusia. Nabi adalah manusia pilihan yang memenuhi prasyarat untuk menerima pesan-pesan tersebut dari alam gaib.[21]Pengiriman para nabi atau rasul oleh Tuhan merupakan perwujudan adanya garis perbedaan Tuhan dan makhluk. Dalam hal ini, Hammudah Abdalati menyatakan bahwa tujuan kenabian adalah menunjukkan apa yang harus atau yang dapat diketahui manusia dan mengajar apa yang tidak atau belum diketahui dan dimengerti.[22]

Dalam Alquran, kata nabi dan rasul memang dipergunakan secara bergantian.Untuk membedakan artinya, ulama melihat pada arti katanya. Dari asal katanya, istilah nabi menekankan segi kesanggupannya menerima berita Ilahi (wahyu), sedangkan kata rasul menekankan pada misinya untuk menyampaikan risalah atau nubuwah pada manusia, walaupun rasul, atau utusan, adakalanya bukan manusia, melainkan juga malaikat (QS. Al-Fathir [35]: 1)

الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

 

"Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaannya apa yang dikehendakinya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

 

Dengan demikian seorang nabi menerima wahyu hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan seorang rasul menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Salah satu keterangan tentang terma nabi dan rasul dalam Alquran diberikan oleh Alquran surat al-An'am [6]: 89,

أُولَئِكَ الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ

 

"Mereka adalah orang-orang yang telah Kami beri kitab, hukum dan ramalan (nubuwah).Karena itu jika mereka menolak hal (tiga kriteria) itu, niscaya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak mengingkarinya."

 

Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa nabi itu mempu�nyai tiga kriteria.Pertama, menerima wahyu yang kemudian terhimpun dalam suatu kitab.Kedua, membawa hukum atau syari'at sebagai pedoman cara hidup, karena itu teladan nabi dan rasul itu merupakan sumber hukum. Dan ketiga, berkemampuan memprediksi berbagai hal di masa yang akan datang, sebagaimana terlihat pada Nabi Nuh, Ibrahim atau Luth yang telah memperingatkan umatnya, sekalipun telah didustakan. Nabi Muhammad sendiri, berdasarkan wahyu Ilahi pernah meramalkan dengan tepat kekalahan Persi dalam berperang melawan Roma. Karena itu maka ayat selanjutnya mengatakan: "mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka." QS. Ar-Rum [30]: 2.

Di dalam Alquran Nabi yang "menyampaikan khabar" tidak berarti "yang menerangkan keadaan di masa mendatang", tetapi "yang menyampaikan khabar dari Allah".Nabi diutus Allah untuk mencegah kejahatan dan menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang saleh. Itulah sebabnya mengapa istilah-istilah "yang menyampaikan kabar gembira" dan "yang menyampaikan peringatan" sering dinyatakan Alquran, terutama sekali di masa-masa awal kenabian Muhammad.[23]

Rasul berarti "utusan", yang diutus oleh Allah kepada umat manusia walaupun di dalam Alquran perkataan rasul kadang-kadang dikenakan juga kepada malaikat yang menyampaikan wahyu dari Allah kepada Nabi; di dalam pengertian yang terakhir ini istilah sufara' (plural dari safir yang berarti "duta") hanya dipergunakan sekali saja, yaitu di dalam surat 'Abasa (80): 15.

Sementara bisa disimpulkan bahwa, sebutan rasul menunjukkan peranan yang lebih penting daripada seorang nabi.Seorang nabi dapat berperan sekedar sebagai pembantu rasul, misalnya Harun yang berperan sebagai pembantu Musa (QS. Maryam [19]: 51, 53), walaupun rasul-rasul (atau lebih tepatnya: mursal, "yang diutus") dapat ditugaskan Allah secara bersama-sama (QS. Al-Ahzab [33]: 13 dan 16)

Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud dengan para rasul ditugaskan secara bersama-sama adalah dalam rangka menyampaikan keimanan kepada Allah. Semua nabi dan rasul mempunyai misi yang sama yang satu sama lain saling menguatkan. Hal ini dapat dilihat dari ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab yang diberikan kepada mereka tidak ada yang saling bertentangan, kecuali yang telah ada campur tangan manusia untuk merubah kitab tersebut.[24]Walaupun kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah, (QS. Al-Baqarah [2]: 136) namun tidak semua nabi mempunyai tingkatan yang sama, karena di dalam Alquran dikatakan "Kami telah membuat nabi-nabi tertentu lebih tinggi daripada yang lain-lainnya" (QS. Al-Baqarah [2]: 253 bandingkan dengan QS al-Isra' [17]: 55) dan Nabi Muhammad disuruh "bersabar (di dalam menghadapi cobaan-cobaan) seperti kesabaran rasul-rasul yang teguh."( QS. Al-Ahqaf [46]: 35) Kami tidak mengutus rasul atau nabi sebelum engkau." (QS. Al-Hajj [22]: 52).

Terlepas dari perdebatan di atas, kata nabi dan rasul keduanya digunakan di dalam Alquran. Kadang-kadang disebut nabi, pada waktu lain disebut rasul, dan adakalanya dipakai secara bersamaan. Untuk kepentingan penelitian ini, penulis lebih cenderung menggunakan istilah nabi dan rasul.Nabi dan rasul adalah orang-orang yang dimuliakan Allah karena mereka adalah manusia pilihan.Kenabian dan kerasulan diperoleh seseorang melalui karunia dan pemberian dari Tuhan yang diberikan-Nya kepada manusia pilihan-Nya.Kenabian tidak dapat diperoleh melalui usaha dan pengorbanan jerih payah, juga tidak didapat melalui warisan maupun ketaatan beribadah.Adalah merupakan hak Allah semata dalam menentukan dan memilih hamba-nya yang patut dan memikul tanggungjawab kenabian.Yang membedakan keduanya adalah isi wahyu, wahyu yang sampai kepada rasul berupa syariat baru sedangkan wahyu yang datang kepada nabi adalah peneguhan dari syari'at yang telah ada.

Dalam tradisi Islam yang notabene datang paling belakang di antara tradisi Yahudi dan Kristen, perkembangan ke�nabian merupakan suatu rangkuman dari pemberitaan yang ada pada wahyu Qur'an. Alquran mengakui bahwa risalah kenabian adalah satu dan tidak dapat dibagi (indivisible), dalam arti bahwa para nabi adalah pembawa risalah yang sama dari Tuhan yang sama.[25]Oleh karenanya, dalam Islam, aspek kepengutusan Tuhan kepada para manusia pilihan untuk menyampaikan risalah bersifat universal karena setiap bangsa pasti telah datang kepadanya seorang nabi sebagai pemberi kabar berita dan peringatan. (QS. Fatir [35]: 24, Yunus [10]: 47, an Nisa [4]: 164).[26]Dengan demikian, dalam tradisi Islam, para nabi diyakini telah diutus mulai dari zaman Adam sampai nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dalam arti yang sebenarnya.

Nabi adalah manusia pilihan dan yang dimuliakan Allah.Mereka diberi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan mengekspresikan kehendaknya.[27] Maka, seorang nabi ada�lah manusia yang bertindak sebagai penerima yang menyampaikan pesan-pesan Tuhan (baca:wahyu) kepada umat manusia.[28]

Oleh karena itu, seseorang manusia bisa disebut sebagai nabi, jika memenuhi beberapa kriteria.Terdapat perbedaan pendapat tentang criteria dan syarat seorang nabi. Al-Musayyar menjelaskan syarat-syarat seorang nabi atau rasul, yakni: (1) manusia, (2) laki-laki, (3) merdeka (bukan budak), (4) terhindar dari aib (cacat): maksum dari perbuatan dosa dan salah, dan (5) Allah mewahyukan satu syari'at kepadanya.[29]

Adapun ciri utama nabi ialah mendapat wahyu dari Allah, baik melalui malaikat Jibril, atau lainnya. Sementara ciri lain nabi ialah mendapat mukjizat. Jika yang disebut mukjizat perbuatan luar biasa muncul pada seorang nabi (yang telah mendapatkan wahyu).

 

 

 

d. Nabi Perempuan dalam Perbincangan

Menurut hemat penulis, perselisihian tentang ada atau tidak adanya nabi perempua itu bermuara pada ada dua tema mendasar, pertama, pada masalah prinsipal, apakah perempuan dapat digolongkan pada kelompok para nabi, kedua, apakah maryam dan perempuan lainnya yang disebut dalam Alquran telah menerima wahyu itu tergolong nabiyyah?. Belumada konsensus yang jelas mengenai pembahasan tersebut.

Terkait hal di atas terdapat ulama yang mendukung adanya nabi perempuan, yang menolak adanya nabi perempuan, yang menyatakan ada nabi perempuan namun tidak ada rasul perempuan, dan ada yang menyatakan para perempuan yang namanya tercantum dalam Alquran bukan golongan para nabi, namun mereka ada waliyullah.

Beberapa ulama yang yang menolah adanya nabi perempuan, dan berhasil penulis temukan argumentasinya diantaranya al-Ashili, menurutnya kata wahyu dalam QS al-Qashasah ayat 7 itu berarti Ilham. Yakni inspirasi yang Allah berikan kepada manusia utama yang bukan nabi. Agak mirip dengan tafsir Jalalin yang menyatakan bahwa makna wa awhaina dengan wahyu bersifat ilham atau penyampaian dalam bentuk mimpi.

Al-Zamkhsyari dalam tafsir al-Kasyasyaf juga menyatakan, bahwa kata awha pada diri Ummi Musa adalah wahyu melalui perantara malaikat. Tetapi tidak dalam kapasitasnya sebagai nabiyullah, karena kata awha tersebut lebih tepat dimaknai sebagai bentuk ilham. Fakh al-din al-razi (wafat 606 H/ 1209 M) dalam tafsirnya juga menegaskan bahwa perempuan tidak akan muungkin mendajadi nabi meskipun ada teks yang secara tegas menyatakan adanya pewahyuan terhadap perempuan. Kata awhayang digunakan pada Ummi Musa itu juga pernah digunakan pada lebah pada Qs al-Nahl : 68dalam hal ini lebah tentu tidak mungkin disebut sebagai nabi. [30]

Al-Razi lebih lanjut menggambarkan perbedaan antara nabi dan wali, dengan menyatakan bahwa nabi diperintah oleh apa yang nampak secara lahiriyah, sedangkan wali diperintahkan oleh apa yang tersembunyi. Namun, ia membedakan anatara �insiparasi � yang dalam bimbingan dengan �wahyu�. Hanna (istri Imran) bersumpah mempersembahkan anaknya sebagai akibat dari inspirasi tyhan, seperti halnya juga ibu Musa diberi inspirasi agar melemparkan anaknya ke sungai Nil, itu bukan wahyu. Maka al-Razi menerima posisi orang oarang yang menolak kenabian maryam dan perempuan lain dengan menggolongkan mereka sebagai Waliyullah yang mendapat inspirasi dari Tuhan.

Ibn Katsir dalam tafsirnya, menmili argumen yang tidakjauh berbedadengan ulama yang di atas, hanya dia mengakui bahwa Maryammenerima wahyu dari allah melalui malaikat itu adalah fakta, namun ia menutup argumentasinya bahwa mayoritas ulama percaya bahwa Allah hanya mengutus laki laki sebagai nabi. Meskipun demikian, seoanjang pembicaraannyaia tetap menggunakan alaiha salam dan selalui menggunakan frase radiallahuanhabagi para perempuan terhormat lainnya seperti Khadijah, Asiah, fatimah. Sampai batasan sini, nampaknya Ibn katsir menunujukan kesadarnnya akan perbedaan yang lebih besar daripada mengakui kenabian secara tegas.

Ayat yang sering dijadikan argumentasi penolakan nabi perempuan biasanya: Q.S. Yusuf: 109.

 

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا أَفَلَا تَعْقِلُونَ

 

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?

Kata �Rijalan� pada ayat tersebut biasa diartikan laki-laki. Meskipun kata �Rajulun� bisa juga diartikan lelaki secara simbolik, yakni siapapun yang memiliki keutamaan entah perempuan atau laki-laki. Mayoritas ulama dan penulis muslim memang berpendapat bahwa derajat kenabian merupakan kehusussan bagi jeni kelamin lakilaki saja. Ini adalah hasil dari pemahaman yyang tekstualis atas ayat �ayatAlquran yang menggunakan kata Rijal untuk menunjukan kehusususan laki-laki sebagai utusan allah, sehingga dalam definisi yang legal dan populer yang selama ini beredardan dianggap sebagai suatuajjaran (dogma) yang pasti benar menegaskan bahwanabi adalah laki laki , merdeka , mendapat wahyu berupa syari�ah untuk diamalkan sendiris, sedangkan rasuk adalah laki laki , merdeka , mendapat wahyu berupa syari�ah untukdiamalkan sendiri sekaligus disampaikan kepada ummat. [31] Bahkan, kita juga menemukan pendapat al-Tabari dan al-Razi yang mewakili kelompok mufassir klasik dan pertengahan yang telah secara tegasberpendapat bahwa kenabian adalah milik laki-laki secara eksklusif sebagai bukti kelebihan mereka atas kaum perempuan.

����������� Kontroversi tentang kenabian perempuan ahirnya berhasil diredamoleh al-Manshur bin AbiAmir, yang secara defactomenjadi khalifah dibawah kontrol Bani Umayah. Dengan tetap membiarkan adanya pendukung nabi perempuan. Namun beberapa saatk kemudian menjadi hangat kembali di tangan Abu muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm al-Andalusi (wafat 456 H/1064M )yang juga mengakui adanya nabi perempuan , sebagaimana bisa dilihat bahasannya dalam topik Nubuwwah al-mar�ad dalamkitabnya Fishal fi al�milal wa al-Nihal Juz V[32]

����������� Paling tidak ada empat ulama besar yang menerima kenabian perempuan, yakni Abu Hasan al-asy�ari, al-Qurtubi, Ibn Hajar al-Asqolani, dan Ibn Hazm al-Andalusi. Pijakan argumen mereka biasanya pada : pertama penjelasan surah Ali Imranayat 42 yang didasarkan pada dua hadis shahih. Yakni

Dari abu Hurairah,menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: �setiap orang ketika dilahirkan oleh ibunya memiliki kecondonganpembawaan lahir kepada kebenaran dan hanya kedua orangtuanyalah yangkkemudian menjadikannnya pemeluk Yyahudi atau agama Majusi. Dan jika kedua orang tuanya beragama Islam (muslim), makka ia menjadi seorang muslim. Setiap orang ketika dilahirkan diganggu oleh setan di sampingnya, kecuali Maryam dan laki-lakinya�[33]

Abu Hurairah menceritakan bahwa nabi Muhammad saw bersabda: �tidak. Ada seorang anakpun yang dilahirkan tanpa gangguan setan , yang karenanya ia mulai menangis, kecuali anak laki-laki maryam dan ibunya.� Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah jika kamu mau , Aku mengharap lindungan Mu untuk maryam dan keturunannya dari setan yang terusir�[34]

Kedua pijakanpemehaman pada makna kenabian (al-Nubuwwah) yang mencakup tentangbeberapa bagian Alquran tentang perempuan dan wahyu.Hadis yang digunakannya sebagai berikut:

�telah menceritakan padakami Abu bakar bin Zabjuwaih telah menceritakan kepada kkami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma�mar dari Qatadah dariAnas ra. Bahwa Nabi saw bersabda: �cukuplah bagimu dari wanita dunia adalah Maryambinti Imran, Khadijah binti Khuwailid dan Fatimah binti Muhammad serta Asiyah istri Firaun�

 

Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebutkan dua faktor yang ia percaya sebagai penegasan status Maryam sebagai nabi perempuan (1) Qs ali Imran ayat 45 yang didalamnya ia menerima wahyudari malaikat sebagaimana nabi lainnya. (2) Qs al-anbiya ayat 91 yang merekam bahwa ia dijadikan tanda (ayah) sebagai bukti yang jelas dari keajaiban Allah . selanjutnya al-qurtubi menolak argumen orang orang yang mengatakan bahwa perjumppaan Maryam ddengan malakat waktu diberikan kabar gembira (bahwa ia akan menjai ibu isa) ,seolah olah ia mellakukan pembicaraan dengan malaikat, daipada meerima wahyu, karena Jibril munculkepadanya dalam bentuk laki-laki.[35]

Ibn Hajar al-Asqolani menyimpilkan bahwa hadis yang berbicara tentang kesempurnaan (kamal) dengan jelas menunjukan bahwa Maryam dan Asiah berbeda dengan perempuan lain. Ini tidakbisa dipahami secerabahwa mereka hanya seorang wali. Mereka adalah memcapai derajat Nabi. Mengutip pendapat as-subki ibn hajar perpendapat bahwa tidak ada satupun argumen penolakan nabi pperempuan yang benar. Berdasarkan QS ali imran ayat 42ia mmenyimpulkan bahwa Maryan adalah seorang Nabi perempuan walaupun hal itu tidak dinyatakan langgsung. Ia kemuudian berargumen seperti argumennya Ibn Hazm.[36]

Menurut IbnHazm, Nubuwwah atau kenabian perempuan tidak ada salahnya. Ia memulaui analisiisnya dengan berpijak pada pendekatan semantik kata nabiyang berasal dari kata inba berarti berita atau informasi. Menurutnya nabi adalah seorrangyang mendapat informasi dari allah. Informasi ini dibedakan beberapa tingkat yakni wahyu kepada nabi, ilham kepada wali, ta�lim kepada awwam, tabi�ah hkepada segenap mahluk termasuk lebah dan lainnya dalam Alquran. Namun, ibn Hazm nenegaskan bahwa maksud dari QSyusuf109 dan QS al- nahl ayat 43 ia kerasulan laki-laki tidak bisa dihubungkan denagn kenabian perempuan. Bagi Ibn Hazm nabi tidak identik dengan rasul. Ia mengakui tidak ada rasul perremppuan namun ada nabi perempuan.[37]

����������� Menurut ibn Hazm,Wahyu yang turun kepada perempuanadalah:

1.      Istri nabi Ibrahim diberitahu melaui malaikat Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak (QS Hud71-73)

2.      Ibu Nabi Musa yang diperintah Allah agar meetakan anaknya di sungai dan diberi tahu bahwa anaknya kelak akan menjadi nabi(QS al-Qashash: 7 dan QS thaha :38)

3.      Maryam diberitahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QSNaryan : 17-19, al-maidah : ayat 75 dan yusuf ayat 46)

4.      Maryam, putra imran dan ibunda Isa, serta Asiah, putri Muzahim yang menjadi istri firaun diindikasikan sebagai Nabi mengingat intensifnya pemberitaan Alquran tentang figur ideal perempuan tersebut.

Alasan yang digunakan Ibnu Hazm dan ulama yang mendukung adanya nabi perempuan antara lain :

1.      Segala jenismahluk yang melata di bumi masing-masing memiliki nabi termasuk binatang dan serangga, karena mereka juga ummah, sama degan manusia. Pijakan pandanganny adalah Qs. Al-An�am ayat 38 dan QS fatir ayat 24

2.      Ciri utama nabi adalah mendapat wahyu dari Allah, sementarabeberapa perempuan mendapat wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril. Ciri lain nabi ialah mendapat mukjizat. Jika yang disebut mukjizat itu perbuatan luarbiasa yang muncul kepadaseorang nabi (yang telah mendapatkan wahyu), maka tak dapat disangkal semuaperempuan utama dalam Alquran juga mendapat mukjizat. Antara lain ibu nabi musa yang secara luarbiasamenyelamatkan anaknya dari tentara firaun, Maryam perawan yang hamil tanpa suami dan selalu mendapatkan mukjizat dengan hadirnya berbagai menu makanan di mihrabnya tanpa diketahui asal usulnya. Istri nabi Ibrahim atau ibunya ishak hamil dalam usia manopouse

3.      Pengakuan dan keutamaan perempuan tadi juga diakui oleh Rosulullah SAW denganmengemukakan hadits melalui tiga jalur sanad berbeda, yaitu : �Ahli surga paling utama dari perempuan adalah Maryam binti Imran, Asiah binti Mujahim, Khadizah binti Khuwailid, dan Fatimah binti Muhammad. � atas dasar ayat-ayat yang menyatakan adanya wahyu bagi perempuan dan didukung oleh hadits ini maka al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya dengan jelas menyatakan bahwa Maryam binti Imron adalah seorang nabi

4.      Kata siddiqoh yang dialamatkan kepada Maryam adalah kata lain dari nabi, seperti kata itu diperuntukan kepada nabi Yusuf ; ayyuhassidiq (QS yusuf ayat 46) dan nabi Idris. Menurut qurtubi bisa saja sebutan siddiqoh itu berarti seorang nabi seperti nabi Idris.

 

C.    Penutup

Konsep kenabian sering disejajarkan dengan konsep kerasulan.Terdapat perbedaan pendapat antara nabi dan rasul, ada yang menyamakannya dan ada yang membedakan. Namun demikian, dalam Alquran kedua kata ini memang digunakan bergantian. Merujuk dari makna katanya, nabi berarti orang yang menerima wahyu, maka makna nabi menekan pada kesanggupan sesorang menerima berita ilahi itu. Sedang Rasul artinya utusan Allah, lebih menekankan pada misinya menyampaikan risalah atau nubuwah pada manusia.

Terkait dengan kenabian dalam makna kesanggupan sesorang menerima wahyu, ulama berbeda pendapat, ada kelompok yang menegaskan bahwa kemampuan itu adalah hak eksklusif laki- laki, dan ada yang menegaskan bahwa penerimaan wahyu itu bukan hak eksklsif laki- laki, yang pada giliran berikutya mengarah pada kemungkinan adanya para nabiyah (nabi perempuan).

Masing masing kelompok itu memiliki argumentasi dan dasar pijakan yang berbeda. Isu tentang adanya dan tidaknya nabi perempuan bukan karena paksaan pemikiran kontemporer atau sentuhan liberalisme pemikiran Barat. Isu ini tersirat pada beberapa ayat Alquran dan hadis nabi yang berkualitas shahih. Misalnya, pada penafsiran kata rijalan sebagai syarat kenabian. Ulama yang mendukung adanya nabi perempuan akan menafsirkan berbeda dengan kelompok yang menolak nabi perempuan. Atau terdapat pada hadis-hadis yang berkualitas shahih yang jelasmendukung kemungkinan adanya nabi perempuan.

Pertanyaan penting bagi para penolak adanya nabi perempuan adalah apakah benar hanya laki �laki yang dapat mengemban misi kenabian? Bukan kah ada sejumlah nama perempuan dalam Alquran yang diberi wahyu, memiliki kematangan dan kelurusan spiritual? mendapat mukjizat dan disapa oleh Allah dengan sebutan siddiqah seperti para nabi.��

Menanggapi pertanyaan di atas, sebagian mufasir dari kelompok sufi mencobamemberikan alternatif jawaban, bahwa tidak ada nabi atau rasulperempuan. Kalaupun ada beberapa perempuan dalam Alquran yang dapat menerima wahyu dan memiliki mukjizat mereka hanyalah wali bukan nabi. Pendapat ini sebenarnya diam diam mendukung kelompok mayoritas ulama yang berpandangan kenabian atau kerasulan adalah hak ekslusif laki-laki.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ibn Manzur, Lisan al'Arab, juz VI (Beirut: Dar Sadir, [t.t]),

A S Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current En�glish, Jonathan Crowther (ed.) (Oxford: Oxford University Press, 1995).

Abu Ja'far Muhammad b. Jarir al-Thabary, Jami' al-Bayan 'an Ta'wil ay Alquran (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), vol. 13.

Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawiy, Kitab Usul ad-Din (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1963).

Al-Razi, Mafatih al-Ghaib al-Tafsir al-Kabir (kairo:Maktabah al-Amirah asy syarqiyah, 1889/1308)

Abu Mansur Abdul Qahir ibn Tahir at-Tamimiy al-Bagdadiy, Kitab Usul ad-Din (Beirut: Dar al Kutub al-'Ilmiyah, 1981).

Aliah Sceleifer, Sejarah Hidup MaryamS ebuah Kajian Tafsir Tematik, (terj) Ali Masrur.Yogyakarta, UII Press, 2004. Hl 103-104

Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper & Row, Publishers, Inc, 1989).

David A. Kerr, "Prophethood" in John L. Esposito (ed.), Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. iii

David E. Aune, "Prophet, Prophecy," Everett Ferguson (ed.), En�cyclopedia of Early Christianity, ed. 6 (New York and London: Garland Publishing, Inc, 1997), hlm. 952; Felix N. Nwahaghi, "Priesthood and Prophecy in Judeo-Christian Religion," Journal of Dharma 15 (1990).

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Depag, 19871988).

Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1996)

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1971).

Hammudah Abdalati, Islam Dalam Sorotan (terj) Anshari Thayib (Surabaya: Bina Ilmu,1981).

H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1974)

Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, (terj) Yudian Wahyudi (Jakarta: CV. Rajawali, 1991).

Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid I, juz I, cet. I Cairo: Dar al-Taqwa, 1999), hlm. 56,58,59, & 60)

M. Dawam R., Ensiklopedi alQur'an (Jakarta: Paramadina, 1997).

Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991).

Muslim ,Shahih Muslim XV dan XVI .

Muhammad 'Ali ash-Shabuniy, An-Nubuwwah wa al-Anbiya' (Beirut: 'Alim al-Kutub,1985).

 

 

 

 

 

Syaikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, al-Ittihaf Ahfiya' bi Risalah al-Anbiya' (Qatar: Ri'asah al-Mahakim asy-Syar'iyyah wa asy-Syu'un ad-Diniyyah, 1991).

T. Fahd, "Nubuwwa," dalam Bernard Lewis (ed.), The Encyclopedia of Islam, vol. viii (Leiden: t.p, 1995), hlm. 93; Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).

Tafsir Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5, Sakhr, 1993-1997.

Taufik Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Van Houve, 2000).

Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Rusul wa al-Risalat (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1985).

Zainudin, Ilmu Tauhid Lengkap ( Jakarta Rhineka Cipta, 1992)



[1] Abdullah Ibn Manzur, Lisan al'Arab, juz VI (Beirut: Dar Sadir, [t.t]), hlm. 561, bdk: Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1971), hlm. 937.

[2]Hans Wehr, A Dictionary, hlm. 937.

[3] David A. Kerr, "Prophethood" in John L. Esposito (ed.), Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. iii, hlm. 364 ; T. Fahd, "Nubuwwa," dalam Bernard Lewis (ed.), The Encyclopedia of Islam, vol. viii (Leiden: t.p, 1995), hlm. 93; Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 679.

[4]A S Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current En�glish, Jonathan Crowther (ed.) (Oxford: Oxford University Press, 1995), hlm. 929.

[5]David E. Aune, "Prophet, Prophecy," Everett Ferguson (ed.), En�cyclopedia of Early Christianity, ed. 6 (New York and London: Garland Publishing, Inc, 1997), hlm.952; Felix N. Nwahaghi, "Priesthood and Prophecy in Judeo-Christian Religion," Journal of Dharma 15 (1990), hlm. 5

[6] M. Dawam R., Ensiklopedi alQur'an (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 303.

[7] H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1974)

[8] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Depag, 19871988), hlm. 659.

[9] M. Dawam R., Ensiklopedi, hlm. 303

[10] Taufik Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Van Houve, 2000), hlm. 14.

[11]Depag RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, hlm. 659.

[12] Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper & Row, Publishers, Inc, 1989), hlm. 342.

[13] Abu Ja'far Muhammad b. Jarir al-Thabary, Jami' al-Bayan 'an Ta'wil ay al-Qur�an (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), vol. 13, hlm. 37.

[14] Muhammad 'Ali ash-Shabuniy, An-Nubuwwah wa al-Anbiya' (Beirut: 'Alim al-Kutub,1985), hlm. 14.

[15] Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawiy, Kitab Usul ad-Din (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1963), hlm. 223.

[16]Abu Mansur Abdul Qahir ibn Tahir at-Tamimiy al-Bagdadiy, Kitab Usul ad-Din (Beirut: Dar al Kutub al-'Ilmiyah, 1981), hlm. 154.

[17]Hadis sahih diriwayatkan Imam Ahmad.

[18] Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Rusul wa al-Risalat (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1985), hlm.14.

[19] Syaikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, al-Ittihaf Ahfiya' bi Risalah al-Anbiya' (Qatar: Ri'asah al-Mahakim asy-Syar'iyyah wa asy-Syu'un ad-Diniyyah, 1991), hlm. 4.

[20]Al-Asyqar, Al-Rusul, hlm. 6.

[21] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), hlm. 9.

[22] Hammudah Abdalati, Islam Dalam Sorotan (terj) Anshari Thayib (Surabaya: Bina Ilmu,1981), hlm. 32.

[23] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur�an, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 119.

[24]Tafsir Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5, Sakhr, 1993-1997.

[25] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur'an (Minneapolis dan Chicago: Bibliotecha Islamica, 1980), hlm. 53,80.

[26]Rahman, Major, hlm. 80.

[27] Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, (terj) Yudian Wahyudi (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), hlm. 85.

[28] Muthahhari, Falsafah, hlm. 9.

[29] Lihat, Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid I, juz I, cet. I Cairo: Dar al-Taqwa, 1999), hlm. 56,58,59, & 60)

[30]Al-Razi, Mafatih al-Ghaib al-Tafsir al-Kabir (kairo:Maktabah al-Amirah asy syarqiyah, 1889/1308)h460

[31]Zainudin, Ilmu Tauhid Lengkap ( Jakarta Rhineka Cipta, 1992) hlm 105

[32]Ibn Hazm,Fishal fi al�milal wa al-Nihal Juz V[32]

[33]Muslim ,Shahih Muslim XVI , hlm 210 kitab al-Qadr , bab kullu mauludin alal Fithrah

[34]Muslim, Shahih Muslim XV , hlm 119-120kitabfadhail , bab Fadhail Isa

 

[35]Aliah Sceleifer, Sejarah HidupMaryamSebuah Kajian Tafsir Tematik, (terj) Ali Masrur.Yogyakarta, UII Press, 2004. Hl 103-104

[36]Ibidhl 102

[37]Ibn Hazma , Fishal.., Juz V hlm 119