NABI PEREMPUAN:
Karakteristiknya Dalam Alquran
Dan Kontroversi Pendapat Seputar Nabi Perempuan Di Kalangan Ulama
Eni Zulaiha, M.Ag.
(Dosen
di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan pada Prodi Ilmu Alquran dan
Tafsir fakultas Ushuludin. Sedang menyelesaiakan program doktor di prodi
Filsafat Agama pada universitas yang sama )
Abstrak
Bahasan kenabian dalam
Islam adalah jantung bagi pemahaman ajaran agama Islam lainnya. Wacana tentang
kenabian perempuan bukanlah sesuatu yang dipaksakan oleh tuntutan kontemporer
atau paksaan pemikiran Barat yang cenderung dianggap liberal. Wacana kenabian
perempuan dalam Islam itu ada dalam kajian ayat ayat Alquran dan hadis. Mereka
yang menolak adanya nabi perempuan biasanya terjebak pada pemahaman lafadz Rijalan
pada salah satu ayat Alquran tentang nabi dan rasul,� dan mengesampingkan informasi hadis �hadis
tentang kenabian perempuan. Bagi para pendukung ada nabi perempuan, memiliki
dasar pijakan dari tanda- tanda kenabian, yang mempersyaratkan memperoleh
wahyu. Alquran dan hadis menyebut beberapa perempuan yang diberi wahyu dan
disapa allah dalam Alquran dengan frase siddiqah seperti sapaan pada
nabi laki- laki.
Key
Word:
Wahyu, ilham, Nabi, Siddiqoh, Rasul, Prophet, Prophethess dan wali�
A.
Pendahuluan
Isu kenabian adalah topik
yang sudah dibahas oleh para filosof muslim terdahulu hingga abad moderen. Ada
atau tidaknya kenabian perempuan juga masih menyisakan persoalan yang belum
selesai. Dikalangan ulama muslim mereka bearadu argumentasi seputar ada atau
tidak adanya nabi perempuan dalam pemikiran Islam.
Menurut penulis,
pembahasan tentang nabi perempuan bermuara pada dua tema mendasar, pertama, pada
masalah prinsipal apakah perempuan dapat digolongkan pada kelompok para nabi
atau tidak, kedua, Dapatkah�
Maryam dan perempuan lainnya yang disebut dalam Alquran telah menerima
wahyu itu tergolong nabiyyah.
Tulisan ini akan membahas
pengertian nabi dan karakteristiknya dalam Alquran, Misi kenabian dan Ayat-ayat
Alquran tentang Nabi, dan kontroversi pendapat seputar nabi perempuan di
kalangan ulama
B.
Pembahasan
a)
Pengertian
Nabi dan Karakteristiknya Dalam Alquran
Secara
etimologis, kata nabi berasal dari bahasa Arab, naba�, berarti warta (al-khabar,
news), berita (tidings), informasi (information), laporan (report)[1].
Dalam bentuk transitif (anba' 'an) ia berarti memberi informasi (to
inform), meramal (to pre�dict), to foretell (menceritakan
masa depan), dan istanba'a (meminta untuk diceritakan).[2]Kata
nabi ini bentuk jamaknya nabiyyun dan anbiya'.Sedangkan nubuwwah
adalah bentuk masdar (kata benda, noun) dari naba� yang
berarti kenabian (prophecy, ramalan atau prophethood, kenabian),
sifat (hal) nabi; yang berkenaan dengan nabi.[3]
Dalam bahasa
Inggris, nabi biasa disebut dengan prophet berarti seseorang yang
mengajarkan agama, dan mengklaim, mendapat inspirasi dari Tuhan dan prophetess
sebutan untuk nabi perempuan;[4]
dan dalam bahasa Yunani prophetes yang berarti orang yang berbicara atas
nama orang lain. Dalam hal ini, ia berarti "orang yang mengkomunikasikan
wahyu Tuhan." Kata prophetes diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew
menjadi kata 'nabi'. Secara
etimologis, kata ini berarti "memanggil", "berbicara
keras". Ada
juga yang secara langsung mengartikan sebagai "orang yang dipanggil Tuhan
untuk berbicara atas nama-Nya".[5]
Menurut Mawlana
Muhammad 'Ali, kata nabi berasal dari kata naba�a (jamaknya anbiya')
yang artinya adalah "pemberitahuan yang besar faedahnya," yang
menyebabkan orang mengetahui sesuatu.
Imam
al-Raghib al-Asfahany dalam kitabnya al-Mufradat fi GharibAlquran
menambahkan bahwa berita itu bukanlah sembarang berita, tetapi berita yang
tidak mungkin salah.[6]
Tentang istilah
nabi ini, Gibb dan Kramers memberikan keterangan lain.[7]Mereka
mengatakan bahwa istilah ini merupakan pinjaman dari kata Ibrani, nabi dan Aram
n-b-a. Istilah
ini baru muncul pada ayat-ayat dalam periode Makkah kedua. Tetapi keduanya
tidak menjelaskan apa arti kata itu. Memang, Alquran sering meminjam
istilah-istilah non-Arab, seperti bahasa Ibrani. Tetapi
setelah ditampilkan dalam Alquran, istilah-istilah itu selalu mengandung muatan
makna baru yang berbeda dari arti lamanya.
Secara istilah,
kata nabi memiliki banyak definisi.
Nabi
ada�lah seseorang yang menerima wahyu dari Allah SWT melalui perantaraan
malaikat atau ilham maupun mimpi yang benar. Mereka juga adalah mubasysyir
(pembawa berita baik, yaitu tentang ridha Allah dan kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat bagi orang-orang yang mengikutinya) dan munzir (pemberi
peringatan, yaitu balasan mereka dan kesengsaraan bagi mereka yang ingkar) (QS.
al-Baqarah [2]: 213).[8]
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً
وَاحِدَةً فَبَعَثَ
اللَّهُ النَّبِيِّينَ
مُبَشِّرِيْنَ
�وَمُنْذِرِينَ
وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
لِيَحْكُمَ بَيْنَ
النَّاسِ فِيمَا
اخْتَلَفُوا فِيهِ
وَمَا اخْتَلَفَ
فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ
أُوتُوهُ مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ
الْبَيِّنَاتُ
بَغْيًا بَيْنَهُمْ
فَهَدَى اللهُ
الَّذِينَ آَمَنُوا
لِمَا اخْتَلَفُوا
فِيهِ مِنَ الْحَقِّ
بِإِذْنِهِ وَاللهُ
يَهْدِي مَنْ يَشَآءُ
إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ
"Manusia itu adalah umat yang
satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk
memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan
kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan
yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan
itu dengan kehendaknya.dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendakinya kepada jalan yang lurus."
Kata nabi disebut sebanyak 75 kali dalam 20 surat,
sedangkan kata naba� sendiri disebut sebanyak 29 kali dalam 21 surat.
Salah satu ayat yang menyebut kata nabi adalah terdapat dalam surat Maryam
[19]: 30-31,
قَالَ
إِنِّي عَبْدُ
اللَّهِ آَتَانِيَ
الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي
نَبِيًّا
(30)
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا
أَيْنَ مَا كُنْتُ
وَأَوْصَانِي
بِالصَّلَاةِ
وَالزَّكَاةِ
مَا دُمْتُ حَيًّا
(31)
"Berkata 'Isa:
"Sesungguhnya, aku adalah hamba Allah. Dia memberikan sebuah Kitab dan Dia
menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati
dimana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan
menunaikan zakat selama aku hidup;
Dalam ayat ini
'Isa menjelaskan dirinya sendiri sebagai seorang hamba Allah biasa, maksudnya
bukan putra Allah, dia telah pula diberi Kitab, yakni Injil dan ditetapkan
sebagai seorang nabi. Dengan begitu, 'Isa adalah orang yang diberkati Allah dan
ia merasakan berkat itu. Tetapi ia mendapat misi ke�nabian, yang tujuannya
adalah untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Seperti dijelaskan
sebelumnya bahwa pengertian tentang istilah nabi, berkaitan dengan kata naba�
yang maknanya berita, kabar, warta atau cerita. Makna sesungguh�nya dari kata naba�
ini perlu dilihat dalam konteks ayat-ayat Alquran sendiri,[9]
seperti misalnya dalam surat Ali Imran [3]: 43,
يَا
مَرْيَمُ اقْنُتِي
لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي
وَارْكَعِي مَعَ
الرَّاكِعِينَ
"Inilah sebagian berita
(naba�,) yang Kami wahyukan kepadamu. Dan engkau tidak berada di antara mereka
tatkala mereka melemparkan pena mereka (untuk menentukan) siapa diantara mereka
yang akan memelihara Maryam, dan engkau tidak berada di antara mereka tatkala
mereka bertengkar satu sama lain." (Ali Imran [3]: 43).
Pembicaraan
tentang terma nabi (an-nabiy, prophet) dan kenabian (an-nubuwwah,
prophecy/prophethood) tidak terlepas dari term rasul (ar-rasul, apostol)
dan kerasulan (ar-risalah, apostolos). Banyak
yang menyamakan antara keduanya dan dengan demikian dapat dipakai secara
bergantian, namun tidak sedikit pula yang melakukan pembedaan.Namun secara
umum, nabi dan rasul adalah manusia yang dipilih Allah SWT untuk menerima dan
menyampaikan wahyu Allah.[10]
Secara
tradisional, penulis-penulis Muslim mengenai Alquran membuat sebuah perbedaan
antara nabi dan rasul.Nabi adalah utusan Allah yang tidak membawa hukum
(syari'at) dan mungkin pula kitab Allah kepada manusia; sedang rasul
yang bentuk jamaknya rasul, dalam pengertian bahasa berarti utusan, dan
menurut istilah adalah utusan Allah yang membawakan hukum dan kitab Allah. Atau
menurut pendapat yang masyhur, nabi adalah orang yang menerima wahyu dari Allah
SWT tanpa kewajiban menyampaikannya kepada orang lain, sedang rasul adalah
orang yang menerima wahyu dari Allah dengan kewajiban menyampaikannya kepada
manusia.[11]Batasan
ini menunjukkan bahwa nabi menyampaikan wahyu Allah kepada kaumnya melalui
keteladanan pribadi yang terbentuk atas bimbingan wahyu, sedang rasul,
disamping keteladanan, mereka dituntut pula menyampaikan wahyu yang diterimanya
secara aktif.
Dalam penjelasan
ensiklopedia karya Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam,
makna nabi adalah seorang yang menjalankan tugas kenabiannya dalam kerangka
wahyu yang telah ada, berlawanan dengan rasul, yang membawa wahyu baru.[12]Rasul,
secara harfiah berarti pesuruh atau diutus. Kata jamaknya adalah rusul. Alquran
sering pula menyebut para rasul itu dengan istilah al-mursalin, yaitu
"mereka yang diutus". Se�orang
rasul, menurut Glasse mengemban misi membawa religi baru atau wahyu baru dalam
konteks masyarakatnya. Mereka
itu disebut juga ulual-'azm (QS. Al-Ahqaf [46]: 35). Menurut al-Tabary,
disebut ulual-'azm karena mereka mempunyai kesabaran dan keuletan dalam
menghadapi berbagai cobaan ketika menyampaikan amr al-ma'ruf nahy an
al-munkar.[13]
Selanjutnya, di
antara orang yang membedakan dua terma tersebut adalah Muhammad 'Ali
ash-Shabuniy. Menurutnya,
nabi adalah seseorang yang mendapat wahyu dari Allah berupa hukum syari'at,
tetapi tidak dibebani untuk menyampaikannya, sedang rasul adalah seseorang yang
mendapat wahyu dari Allah berupa hukum syari'at tetapi diperintahkan untuk
menyampai�kannya.[14]Lain
lagi definisi yang diberikan oleh al-Bazdawiy yang menyatakan bahwa rasul
adalah seseorang yang didatangi oleh Jibril untuk menjadikannya sebagai rasul
bagi suatu kaum dan supaya mengajak kaum tersebut kepada Islam dan mengajarkan
kepada mereka hukum syari'at. Sedang nabi adalah sese�orang yang mendapat ilham
dari Allah (tanpa perantara Jibril) atau melalui mimpi, atau berdasarkan khabar
dari rasul bahwa ia seorang nabi yang mempunyai tugas untuk mengajak umatnya
kepada Islam.[15]Sedangkan
menurut Ibn Tahir at-Tamimiy al-Bagdadiy, nabi adalah orang yang mendapat wahyu
dari Allah melalui malaikat dan rasul adalah orang yang diberi syari'at untuk
memulai atau menghapus sebagian syariat sebelumnya.[16]
Untuk menguatkan
pendapatnya, mereka mengajukan argumen di antaranya hadis Nabi Saw.yang
menyebutkan jumlah nabi itu 124.000 sedangkan jumlah rasul ada 315.[17]Argumen
lain adalah QS. Al-Hajj [22]: 52 yang menyebutkan nabi dan rasul secara
terpisah,
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ
قَبْلِكَ مِنْ
رَسُولٍ وَلَا
نَبِيٍّ إِلَّا
إِذَا تَمَنَّى
أَلْقَى الشَّيْطَانُ
فِي أُمْنِيَّتِهِ
فَيَنْسَخُ اللَّهُ
مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ
ثُمَّ يُحْكِمُ
اللَّهُ آَيَاتِهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau seorang rasulpun
dan tidak pula seorang nabi kecuali apabila dia menginginkan (membaca), maka
syetan mengganggu keinginannya..."
dan QS. Maryam [19]: 51.
وَاذْكُرْ
فِي الْكِتَابِ
مُوسَى إِنَّهُ
كَانَ مُخْلَصًا
وَكَانَ رَسُولًا
نَبِيًّا
"Dan ingatlah (berita) Musa dalam Kitab; sesungguhnya dia
adalah seorang yang terpilih dan dia adalah seorang rasul dan nabi."
Bagi mereka,
jika sebagian nabi disifati sebagai nabi sekaligus rasul, maka itu menunjukkan
bahwa rasul itu lebih dari�pada sekedar nabi, yakni risalah mempunyai kedudukan
lebih tinggi daripada kenabian.Setiap rasul adalah nabi namun tidak setiap nabi
adalah rasul.Dengan demikian tentunya jumlah rasul tentu lebih sedikit daripada
nabi.[18]
Yang menjadi
alasan kelompok yang membedakan antara nabi dan rasul bagi pendapatnya bahwa
baik nabi maupun rasul keduanya dituntut untuk menyampaikan (tabligh).
2) Mengabaikan tugas penyampaian berarti menyembunyikan (kitman) wahyu
Allah. Padahal Allah menurunkan wahyu untuk disebarluaskan, bukan untuk
disimpan dalam diri sendiri. 3) Sabda Nabi SAW:
"Telah diperlihatkan kepadaku
umat-umat di mana kulihat seorang nabi yang disertai banyak pengikut, nabi yang
diikuti oleh satu dua orang serta nabi yang tidak ada pengikutnya."
Hadis di atas
juga menunjukkan bahwa para nabi itu diperintahkan untuk menyampaikan
wahyu-nya.Selanjutnya dia mengemukakan definisi yang cukup bagus bahwa rasul
adalah orang yang mendapat wahyu dari Allah berupa syari'at yang baru;
sedangkan nabi adalah seorang yang diutus untuk meneguhkan dan melanjutkan
syari'at sebelumnya.
Adapun mereka
yang menyamakan dua term tersebut berargumen pada: pertama, QS. Al-Muddassir
[74]:12.
وَجَعَلْتُ
لَهُ مَالًا مَمْدُودًا
"Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah
peringatan!"
Ayat tersebut
secara jelas memerintahkan nabi untuk berdakwah dan memberi peringatan.Kata
Nabi yang merupakan derivasi dari kata naba', yang berarti bahwa Allah
memberikan kabar kepadanya melalui wahyu kepada siapa saja yang dikehendaki
(QS. At-Taubah [9]: 94),
يَعْتَذِرُونَ
إِلَيْكُمْ إِذَا
رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ
قُلْ لَا تَعْتَذِرُوا
لَنْ نُؤْمِنَ
لَكُمْ قَدْ نَبَّأَنَا
اللَّهُ مِنْ أَخْبَارِكُمْ
وَسَيَرَى اللَّهُ
عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ
ثُمَّ تُرَدُّونَ
إِلَى عَالِمِ
الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ
"Mereka (orang-orang munafik)
mengemukakan 'uzurnya kepadamu, apabila kamu Telah kembali kepada mereka (dari
medan perang). Katakanlah: "Janganlah kamu mengemukakan 'uzur; kami tidak
percaya lagi kepadamu, (karena) Sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada
kami beritamu yang sebenarnya. dan Allah serta rasulnya akan melihat
pekerjaanmu, Kemudian kamu dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang Telah kamu
kerjakan."
Berdasarkan ayat
di atas, maka nabi mempunyai tugas menyampaikan apa saja yang diwahyukan
kepadanya. Oleh karena itu, setiap nabi wajib menyampaikan apa yang di�wahyukan
kepadanya berupa syari'at. Jika tabligh (penyampaian) merupakan buah
dari kenabian, maka tidak ada dalam hukum Allah orang yang diberi wahyu tapi
tidak diperintahkan untuk menyampaikannya.[19]
Hal ini
diperkuat oleh pendapat 'Umar Sulaiman al-Asyqar, walaupun dia juga membedakan
terma nabi dan rasul, namun pembedaan ini bukan terletak pada adanya tuntutan
menyampaikan wahyu atau tidak, sebagaimana definisi yang umum, tapi lebih pada
isi wahyu atau syariat yang dibawa. Dia berargumen di antaranya: 1) QS. Al-Hajj
[22]: 52: sebagaimana disebut di atas.
Demikian juga
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 285.
آَمَنَ
الرَّسُولُ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْهِ
مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ
وَمَلَائِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
لَا نُفَرِّقُ
بَيْنَ أَحَدٍ
مِنْ رُسُلِهِ
وَقَالُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ
رَبَّنَا وَإِلَيْكَ
الْمَصِيرُ
Dalam ayat 285
disebut dengan istilah rusul dan ayat 283 dengan istilah nabi, namun
hakikatnya adalah sama (an-Nabiyyun sama dengan al-Mursaliin). Maksud
ayat ini adalah larangan membeda-bedakan di antara para nabi atau
rasul.Menyebut sebagian mereka yang mendapat wahyu dari Allah sebagai nabi,
karena tidak diperintahkan untuk menyampaikannya; sedang sebagian lainnya
adalah nabi sekaligus rasul karena mendapat perintah menyampaikan, dalam hal
ini adalah dianggap sebagai pembedaan.[20]
Menurut Murtadha
Mutahhari, seorang nabi adalah seorang manusia yang bertindak sebagai penerima
dan kemudian menyampaikan pesan-pesan Tuhan (baca: wahyu) kepada umat manusia.
Nabi adalah manusia pilihan yang memenuhi prasyarat untuk menerima pesan-pesan
tersebut dari alam gaib.[21]Pengiriman
para nabi atau rasul oleh Tuhan merupakan perwujudan adanya garis perbedaan
Tuhan dan makhluk. Dalam hal ini, Hammudah Abdalati menyatakan bahwa tujuan
kenabian adalah menunjukkan apa yang harus atau yang dapat diketahui manusia
dan mengajar apa yang tidak atau belum diketahui dan dimengerti.[22]
Dalam Alquran,
kata nabi dan rasul memang dipergunakan secara bergantian.Untuk membedakan
artinya, ulama melihat pada arti katanya. Dari asal katanya, istilah nabi
menekankan segi kesanggupannya menerima berita Ilahi (wahyu), sedangkan kata
rasul menekankan pada misinya untuk menyampaikan risalah atau nubuwah
pada manusia, walaupun rasul, atau utusan, adakalanya bukan manusia, melainkan
juga malaikat (QS. Al-Fathir [35]: 1)
الْحَمْدُ
لِلَّهِ فَاطِرِ
السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ جَاعِلِ
الْمَلَائِكَةِ
رُسُلًا أُولِي
أَجْنِحَةٍ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ
مَا يَشَاءُ إِنَّ
اللَّهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam
urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.
Allah menambahkan pada ciptaannya apa yang dikehendakinya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Dengan demikian
seorang nabi menerima wahyu hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan seorang
rasul menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Salah satu
keterangan tentang terma nabi dan rasul dalam Alquran diberikan oleh Alquran
surat al-An'am [6]: 89,
أُولَئِكَ
الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ
وَالنُّبُوَّةَ
فَإِنْ يَكْفُرْ
بِهَا هَؤُلَاءِ
فَقَدْ وَكَّلْنَا
بِهَا قَوْمًا
لَيْسُوا بِهَا
بِكَافِرِينَ
"Mereka adalah orang-orang
yang telah Kami beri kitab, hukum dan ramalan (nubuwah).Karena itu jika mereka
menolak hal (tiga kriteria) itu, niscaya Kami akan menyerahkannya kepada kaum
yang sekali-kali tidak mengingkarinya."
Ayat di atas
memberikan penjelasan bahwa nabi itu mempu�nyai tiga kriteria.Pertama,
menerima wahyu yang kemudian terhimpun dalam suatu kitab.Kedua, membawa
hukum atau syari'at sebagai pedoman cara hidup, karena itu teladan nabi dan
rasul itu merupakan sumber hukum. Dan ketiga, berkemampuan memprediksi
berbagai hal di masa yang akan datang, sebagaimana terlihat pada Nabi Nuh,
Ibrahim atau Luth yang telah memperingatkan umatnya, sekalipun telah
didustakan. Nabi Muhammad sendiri, berdasarkan wahyu Ilahi pernah meramalkan
dengan tepat kekalahan Persi dalam berperang melawan Roma. Karena itu maka ayat
selanjutnya mengatakan: "mereka itulah orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka." QS. Ar-Rum [30]: 2.
Di dalam Alquran
Nabi yang "menyampaikan khabar" tidak berarti "yang menerangkan
keadaan di masa mendatang", tetapi "yang menyampaikan khabar dari
Allah".Nabi diutus Allah untuk mencegah kejahatan dan menyampaikan kabar
gembira kepada orang-orang yang saleh. Itulah sebabnya mengapa istilah-istilah
"yang menyampaikan kabar gembira" dan "yang menyampaikan peringatan"
sering dinyatakan Alquran, terutama sekali di masa-masa awal kenabian Muhammad.[23]
Rasul berarti
"utusan", yang diutus oleh Allah kepada umat manusia walaupun di
dalam Alquran perkataan rasul kadang-kadang dikenakan juga kepada malaikat yang
menyampaikan wahyu dari Allah kepada Nabi; di dalam pengertian yang terakhir
ini istilah sufara' (plural dari safir yang berarti
"duta") hanya dipergunakan sekali saja, yaitu di dalam surat 'Abasa
(80): 15.
Sementara bisa
disimpulkan bahwa, sebutan rasul menunjukkan peranan yang lebih penting
daripada seorang nabi.Seorang nabi dapat berperan sekedar sebagai pembantu
rasul, misalnya Harun yang berperan sebagai pembantu Musa (QS. Maryam [19]: 51,
53), walaupun rasul-rasul (atau lebih tepatnya: mursal, "yang
diutus") dapat ditugaskan Allah secara bersama-sama (QS. Al-Ahzab [33]: 13
dan 16)
Menurut Ibn
Katsir, yang dimaksud dengan para rasul ditugaskan secara bersama-sama adalah
dalam rangka menyampaikan keimanan kepada Allah. Semua nabi dan rasul mempunyai
misi yang sama yang satu sama lain saling menguatkan. Hal ini dapat dilihat
dari ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab yang diberikan kepada mereka
tidak ada yang saling bertentangan, kecuali yang telah ada campur tangan
manusia untuk merubah kitab tersebut.[24]Walaupun
kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah, (QS. Al-Baqarah [2]: 136) namun tidak
semua nabi mempunyai tingkatan yang sama, karena di dalam Alquran dikatakan
"Kami telah membuat nabi-nabi tertentu lebih tinggi daripada yang
lain-lainnya" (QS. Al-Baqarah [2]: 253 bandingkan dengan QS al-Isra' [17]:
55) dan Nabi Muhammad disuruh "bersabar (di dalam menghadapi
cobaan-cobaan) seperti kesabaran rasul-rasul yang teguh."( QS. Al-Ahqaf
[46]: 35) Kami tidak mengutus rasul atau nabi sebelum engkau." (QS.
Al-Hajj [22]: 52).
Terlepas dari
perdebatan di atas, kata nabi dan rasul keduanya digunakan di
dalam Alquran. Kadang-kadang disebut nabi, pada waktu lain disebut rasul, dan
adakalanya dipakai secara bersamaan. Untuk kepentingan penelitian ini, penulis
lebih cenderung menggunakan istilah nabi dan rasul.Nabi dan rasul adalah
orang-orang yang dimuliakan Allah karena mereka adalah manusia pilihan.Kenabian
dan kerasulan diperoleh seseorang melalui karunia dan pemberian dari Tuhan yang
diberikan-Nya kepada manusia pilihan-Nya.Kenabian tidak dapat diperoleh melalui
usaha dan pengorbanan jerih payah, juga tidak didapat melalui warisan maupun
ketaatan beribadah.Adalah merupakan hak Allah semata dalam menentukan dan
memilih hamba-nya yang patut dan memikul tanggungjawab kenabian.Yang membedakan
keduanya adalah isi wahyu, wahyu yang sampai kepada rasul berupa syariat baru
sedangkan wahyu yang datang kepada nabi adalah peneguhan dari syari'at yang
telah ada.
Dalam tradisi
Islam yang notabene datang paling belakang di antara tradisi Yahudi dan
Kristen, perkembangan ke�nabian merupakan suatu rangkuman dari pemberitaan yang
ada pada wahyu Qur'an. Alquran mengakui bahwa risalah kenabian adalah satu dan
tidak dapat dibagi (indivisible), dalam arti bahwa para nabi adalah
pembawa risalah yang sama dari Tuhan yang sama.[25]Oleh
karenanya, dalam Islam, aspek kepengutusan Tuhan kepada para manusia pilihan
untuk menyampaikan risalah bersifat universal karena setiap bangsa pasti telah
datang kepadanya seorang nabi sebagai pemberi kabar berita dan peringatan. (QS.
Fatir [35]: 24, Yunus [10]: 47, an Nisa [4]: 164).[26]Dengan
demikian, dalam tradisi Islam, para nabi diyakini telah diutus mulai dari zaman
Adam sampai nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dalam arti yang sebenarnya.
Nabi adalah
manusia pilihan dan yang dimuliakan Allah.Mereka diberi kemampuan untuk
berhubungan dengan Allah dan mengekspresikan kehendaknya.[27]
Maka, seorang nabi ada�lah manusia yang bertindak sebagai penerima yang
menyampaikan pesan-pesan Tuhan (baca:wahyu) kepada umat manusia.[28]
Oleh karena itu,
seseorang manusia bisa disebut sebagai nabi, jika memenuhi beberapa
kriteria.Terdapat perbedaan pendapat tentang criteria dan syarat seorang nabi.
Al-Musayyar menjelaskan syarat-syarat seorang nabi atau rasul, yakni: (1)
manusia, (2) laki-laki, (3) merdeka (bukan budak), (4) terhindar dari aib
(cacat): maksum dari perbuatan dosa dan salah, dan (5) Allah mewahyukan satu
syari'at kepadanya.[29]
Adapun ciri
utama nabi ialah mendapat wahyu dari Allah, baik melalui malaikat Jibril, atau
lainnya. Sementara ciri lain nabi ialah mendapat mukjizat. Jika yang disebut
mukjizat perbuatan luar biasa muncul pada seorang nabi (yang telah mendapatkan
wahyu).
d. Nabi Perempuan dalam
Perbincangan
Menurut hemat
penulis, perselisihian tentang ada atau tidak adanya nabi perempua itu bermuara
pada ada dua tema mendasar, pertama, pada masalah prinsipal, apakah
perempuan dapat digolongkan pada kelompok para nabi, kedua, apakah
maryam dan perempuan lainnya yang disebut dalam Alquran telah menerima wahyu itu
tergolong nabiyyah?. Belum� ada
konsensus yang jelas mengenai pembahasan tersebut.
Terkait hal di atas
terdapat ulama yang mendukung adanya nabi perempuan, yang menolak adanya nabi
perempuan, yang menyatakan ada nabi perempuan namun tidak ada rasul perempuan,
dan ada yang menyatakan para perempuan yang namanya tercantum dalam Alquran
bukan golongan para nabi, namun mereka ada waliyullah.
Beberapa ulama
yang yang menolah adanya nabi perempuan, dan berhasil penulis temukan
argumentasinya diantaranya al-Ashili, menurutnya kata wahyu dalam QS al-Qashasah
ayat 7 itu berarti Ilham. Yakni inspirasi yang Allah berikan kepada manusia
utama yang bukan nabi. Agak mirip dengan tafsir Jalalin yang menyatakan bahwa
makna wa awhaina dengan wahyu bersifat ilham atau penyampaian dalam
bentuk mimpi.
Al-Zamkhsyari
dalam tafsir al-Kasyasyaf juga menyatakan, bahwa kata awha pada diri
Ummi Musa adalah wahyu melalui perantara malaikat. Tetapi tidak dalam
kapasitasnya sebagai nabiyullah, karena kata awha tersebut lebih
tepat dimaknai sebagai bentuk ilham. Fakh al-din al-razi (wafat 606 H/
1209 M) dalam tafsirnya juga menegaskan bahwa perempuan tidak akan muungkin
mendajadi nabi meskipun ada teks yang secara tegas menyatakan adanya pewahyuan
terhadap perempuan. Kata awha�
yang digunakan pada Ummi Musa itu juga pernah digunakan pada lebah pada
Qs al-Nahl : 68� dalam hal ini lebah
tentu tidak mungkin disebut sebagai nabi. [30]
Al-Razi lebih
lanjut menggambarkan perbedaan antara nabi dan wali, dengan menyatakan bahwa
nabi diperintah oleh apa yang nampak secara lahiriyah, sedangkan wali
diperintahkan oleh apa yang tersembunyi. Namun, ia membedakan anatara
�insiparasi � yang dalam bimbingan dengan �wahyu�. Hanna (istri Imran)
bersumpah mempersembahkan anaknya sebagai akibat dari inspirasi tyhan, seperti
halnya juga ibu Musa diberi inspirasi agar melemparkan anaknya ke sungai Nil,
itu bukan wahyu. Maka al-Razi menerima posisi orang oarang yang menolak
kenabian maryam dan perempuan lain dengan menggolongkan mereka sebagai Waliyullah
yang mendapat inspirasi dari Tuhan.
Ibn
Katsir dalam tafsirnya, menmili argumen yang tidakjauh berbedadengan ulama yang
di atas, hanya dia mengakui bahwa Maryam�
menerima wahyu dari allah melalui malaikat itu adalah fakta, namun ia
menutup argumentasinya bahwa mayoritas ulama percaya bahwa Allah hanya mengutus
laki laki sebagai nabi. Meskipun demikian, seoanjang pembicaraannyaia tetap
menggunakan alaiha salam dan selalui menggunakan frase radiallahuanha� bagi para perempuan terhormat lainnya seperti
Khadijah, Asiah, fatimah. Sampai batasan sini, nampaknya Ibn katsir menunujukan
kesadarnnya akan perbedaan yang lebih besar daripada mengakui kenabian secara
tegas.
Ayat
yang sering dijadikan argumentasi penolakan nabi perempuan biasanya: Q.S.
Yusuf: 109.
وَمَا أَرْسَلْنَا
مِنْ قَبْلِكَ
إِلَّا رِجَالًا
نُوحِي إِلَيْهِمْ
مِنْ أَهْلِ الْقُرَى
أَفَلَمْ يَسِيرُوا
فِي الْأَرْضِ
فَيَنْظُرُوا
كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ
الْآَخِرَةِ خَيْرٌ
لِلَّذِينَ اتَّقَوْا
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Kami
tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu
kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi
lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan
Rasul) dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?
Kata
�Rijalan� pada ayat tersebut biasa diartikan laki-laki. Meskipun kata �Rajulun�
bisa juga diartikan lelaki secara simbolik, yakni siapapun yang memiliki
keutamaan entah perempuan atau laki-laki. Mayoritas ulama dan penulis muslim
memang berpendapat bahwa derajat kenabian merupakan kehusussan bagi jeni
kelamin lakilaki saja. Ini adalah hasil dari pemahaman yyang tekstualis atas
ayat �ayat� Alquran yang menggunakan kata
Rijal untuk menunjukan kehusususan laki-laki sebagai utusan allah, sehingga
dalam definisi yang legal dan populer yang selama ini beredardan dianggap
sebagai suatu� ajjaran (dogma) yang pasti
benar menegaskan bahwanabi adalah laki laki , merdeka , mendapat wahyu berupa
syari�ah untuk diamalkan sendiris, sedangkan rasuk adalah laki laki , merdeka ,
mendapat wahyu berupa syari�ah untuk�
diamalkan sendiri sekaligus disampaikan kepada ummat. [31]
Bahkan, kita juga menemukan pendapat al-Tabari dan al-Razi yang mewakili
kelompok mufassir klasik dan pertengahan yang telah secara tegas� berpendapat bahwa kenabian adalah milik
laki-laki secara eksklusif sebagai bukti kelebihan mereka atas kaum perempuan.
����������� Kontroversi tentang kenabian
perempuan ahirnya berhasil diredam� oleh
al-Manshur bin Abi� Amir, yang secara defacto� menjadi khalifah dibawah kontrol Bani Umayah.
Dengan tetap membiarkan adanya pendukung nabi perempuan. Namun beberapa saatk
kemudian menjadi hangat kembali di tangan Abu muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm
al-Andalusi (wafat 456 H/1064M )yang juga mengakui adanya nabi perempuan ,
sebagaimana bisa dilihat bahasannya dalam topik Nubuwwah al-mar�ad dalamkitabnya
Fishal fi al�milal wa al-Nihal Juz V[32]
����������� Paling tidak ada empat ulama besar
yang menerima kenabian perempuan, yakni Abu Hasan al-asy�ari, al-Qurtubi, Ibn
Hajar al-Asqolani, dan Ibn Hazm al-Andalusi. Pijakan argumen mereka biasanya
pada : pertama penjelasan surah Ali Imran�
ayat 42 yang didasarkan pada dua hadis shahih. Yakni�
Dari
abu Hurairah,menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: �setiap orang
ketika dilahirkan oleh ibunya memiliki kecondongan� pembawaan lahir kepada kebenaran dan hanya
kedua orangtuanyalah yang� kkemudian
menjadikannnya pemeluk Yyahudi atau agama Majusi. Dan jika kedua orang tuanya
beragama Islam (muslim), makka ia menjadi seorang muslim. Setiap orang ketika
dilahirkan diganggu oleh setan di sampingnya, kecuali Maryam dan laki-lakinya�[33]
Abu
Hurairah menceritakan bahwa nabi Muhammad saw bersabda: �tidak. Ada seorang
anakpun yang dilahirkan tanpa gangguan setan , yang karenanya ia mulai
menangis, kecuali anak laki-laki maryam dan ibunya.� Kemudian Abu Hurairah
berkata: bacalah jika kamu mau , Aku mengharap lindungan Mu untuk maryam dan
keturunannya dari setan yang terusir�[34]
Kedua
pijakan� pemehaman pada makna kenabian
(al-Nubuwwah) yang mencakup tentangbeberapa bagian Alquran tentang
perempuan dan wahyu.� Hadis yang
digunakannya sebagai berikut:
��telah menceritakan padakami Abu bakar bin
Zabjuwaih telah menceritakan kepada kkami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada
kami Ma�mar dari Qatadah dariAnas ra. Bahwa Nabi saw bersabda: �cukuplah bagimu
dari wanita dunia adalah Maryambinti Imran, Khadijah binti Khuwailid dan
Fatimah binti Muhammad serta Asiyah istri Firaun�
Al-Qurtubi
dalam tafsirnya menyebutkan dua faktor yang ia percaya sebagai penegasan status
Maryam sebagai nabi perempuan (1) Qs ali Imran ayat 45 yang didalamnya ia
menerima wahyudari malaikat sebagaimana nabi lainnya. (2) Qs al-anbiya ayat 91
yang merekam bahwa ia dijadikan tanda (ayah) sebagai bukti yang jelas dari
keajaiban Allah . selanjutnya al-qurtubi menolak argumen orang orang yang
mengatakan bahwa perjumppaan Maryam ddengan malakat waktu diberikan kabar
gembira (bahwa ia akan menjai ibu isa) ,seolah olah ia mellakukan pembicaraan
dengan malaikat, daipada meerima wahyu, karena Jibril muncul� kepadanya dalam bentuk laki-laki.[35]
Ibn
Hajar al-Asqolani menyimpilkan bahwa hadis yang berbicara tentang kesempurnaan
(kamal) dengan jelas menunjukan bahwa Maryam dan Asiah berbeda dengan perempuan
lain. Ini tidakbisa dipahami secera�
bahwa mereka hanya seorang wali. Mereka adalah memcapai derajat Nabi.
Mengutip pendapat as-subki ibn hajar perpendapat bahwa tidak ada satupun
argumen penolakan nabi pperempuan yang benar. Berdasarkan QS ali imran ayat
42ia mmenyimpulkan bahwa Maryan adalah seorang Nabi perempuan walaupun hal itu
tidak dinyatakan langgsung. Ia kemuudian berargumen seperti argumennya Ibn
Hazm.[36]
Menurut
Ibn� Hazm, Nubuwwah �atau kenabian perempuan tidak ada salahnya. Ia
memulaui analisiisnya dengan berpijak pada pendekatan semantik kata nabiyang
berasal dari kata inba berarti berita atau informasi. Menurutnya nabi
adalah seorrangyang mendapat informasi dari allah. Informasi ini dibedakan
beberapa tingkat yakni wahyu kepada nabi, ilham kepada wali, ta�lim kepada
awwam, tabi�ah hkepada segenap mahluk termasuk lebah dan lainnya dalam Alquran.
Namun, ibn Hazm nenegaskan bahwa maksud dari QS�
yusuf� 109 dan QS al- nahl ayat 43
ia kerasulan laki-laki tidak bisa dihubungkan denagn kenabian perempuan. Bagi
Ibn Hazm nabi tidak identik dengan rasul. Ia mengakui tidak ada rasul
perremppuan namun ada nabi perempuan.[37]
����������� Menurut ibn Hazm,Wahyu yang turun
kepada perempuanadalah:
1.
Istri nabi
Ibrahim diberitahu melaui malaikat Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak
(QS Hud71-73)
2.
Ibu Nabi Musa
yang diperintah Allah agar meetakan anaknya di sungai dan diberi tahu bahwa
anaknya kelak akan menjadi nabi(QS al-Qashash: 7 dan QS thaha :38)
3.
Maryam
diberitahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QSNaryan : 17-19,
al-maidah : ayat 75 dan yusuf ayat 46)
4.
Maryam, putra
imran dan ibunda Isa, serta Asiah, putri Muzahim yang menjadi istri firaun
diindikasikan sebagai Nabi mengingat intensifnya pemberitaan Alquran tentang
figur ideal perempuan tersebut.
Alasan
yang digunakan Ibnu Hazm dan ulama yang mendukung adanya nabi perempuan antara
lain :
1.
Segala
jenismahluk yang melata di bumi masing-masing memiliki nabi termasuk binatang
dan serangga, karena mereka juga ummah, sama degan manusia. Pijakan pandanganny
adalah Qs. Al-An�am ayat 38 dan QS fatir ayat 24
2.
Ciri utama
nabi adalah mendapat wahyu dari Allah, sementarabeberapa perempuan mendapat
wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril. Ciri lain nabi ialah mendapat
mukjizat. Jika yang disebut mukjizat itu perbuatan luarbiasa yang muncul
kepadaseorang nabi (yang telah mendapatkan wahyu), maka tak dapat disangkal
semuaperempuan utama dalam Alquran juga mendapat mukjizat. Antara lain ibu nabi
musa yang secara luarbiasamenyelamatkan anaknya dari tentara firaun, Maryam
perawan yang hamil tanpa suami dan selalu mendapatkan mukjizat dengan hadirnya
berbagai menu makanan di mihrabnya tanpa diketahui asal usulnya. Istri nabi
Ibrahim atau ibunya ishak hamil dalam usia manopouse
3.
Pengakuan dan
keutamaan perempuan tadi juga diakui oleh Rosulullah SAW denganmengemukakan
hadits melalui tiga jalur sanad berbeda, yaitu : �Ahli surga paling utama dari
perempuan adalah Maryam binti Imran, Asiah binti Mujahim, Khadizah binti
Khuwailid, dan Fatimah binti Muhammad. � atas dasar ayat-ayat yang menyatakan adanya
wahyu bagi perempuan dan didukung oleh hadits ini maka al-Qurtubi dalam kitab
tafsirnya dengan jelas menyatakan bahwa Maryam binti Imron adalah seorang nabi
4.
Kata siddiqoh
yang dialamatkan kepada Maryam adalah kata lain dari nabi, seperti kata itu
diperuntukan kepada nabi Yusuf ; ayyuhassidiq (QS yusuf ayat 46) dan nabi
Idris. Menurut qurtubi bisa saja sebutan siddiqoh itu berarti seorang nabi
seperti nabi Idris.
C.
Penutup
Konsep kenabian sering
disejajarkan dengan konsep kerasulan.Terdapat perbedaan pendapat antara nabi
dan rasul, ada yang menyamakannya dan ada yang membedakan. Namun demikian,
dalam Alquran kedua kata ini memang digunakan bergantian. Merujuk dari makna
katanya, nabi berarti orang yang menerima wahyu, maka makna nabi menekan pada
kesanggupan sesorang menerima berita ilahi itu. Sedang Rasul artinya utusan
Allah, lebih menekankan pada misinya menyampaikan risalah atau nubuwah
pada manusia.
Terkait dengan kenabian
dalam makna kesanggupan sesorang menerima wahyu, ulama berbeda pendapat, ada kelompok
yang menegaskan bahwa kemampuan itu adalah hak eksklusif laki- laki, dan ada
yang menegaskan bahwa penerimaan wahyu itu bukan hak eksklsif laki- laki, yang
pada giliran berikutya mengarah pada kemungkinan adanya para nabiyah �(nabi perempuan).
Masing masing kelompok itu
memiliki argumentasi dan dasar pijakan yang berbeda. Isu tentang adanya dan
tidaknya nabi perempuan bukan karena paksaan pemikiran kontemporer atau
sentuhan liberalisme pemikiran Barat. Isu ini tersirat pada beberapa ayat Alquran
dan hadis nabi yang berkualitas shahih. Misalnya, pada penafsiran kata rijalan
sebagai syarat kenabian. Ulama yang mendukung adanya nabi perempuan akan
menafsirkan berbeda dengan kelompok yang menolak nabi perempuan. Atau terdapat
pada hadis-hadis yang berkualitas shahih yang jelasmendukung kemungkinan adanya
nabi perempuan.
Pertanyaan penting bagi
para penolak adanya nabi perempuan adalah apakah benar hanya laki �laki yang
dapat mengemban misi kenabian? Bukan kah ada sejumlah nama perempuan dalam Alquran
yang diberi wahyu, memiliki kematangan dan kelurusan spiritual? mendapat
mukjizat dan disapa oleh Allah dengan sebutan siddiqah seperti para
nabi.��
Menanggapi pertanyaan di
atas, sebagian mufasir dari kelompok sufi mencobamemberikan alternatif jawaban,
bahwa tidak ada nabi atau rasulperempuan. Kalaupun ada beberapa perempuan dalam
Alquran yang dapat menerima wahyu dan memiliki mukjizat mereka hanyalah wali
bukan nabi. Pendapat ini sebenarnya diam diam mendukung kelompok mayoritas
ulama yang berpandangan kenabian atau kerasulan adalah hak ekslusif laki-laki.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
Ibn Manzur, Lisan al'Arab, juz VI (Beirut: Dar Sadir, [t.t]),
A
S Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current En�glish,
Jonathan Crowther (ed.) (Oxford: Oxford University Press, 1995).
Abu
Ja'far Muhammad b. Jarir al-Thabary, Jami' al-Bayan 'an Ta'wil ay Alquran
(Beirut: Dar al-Fikr, 1988), vol. 13.
Abu
al-Yusr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawiy, Kitab Usul ad-Din
(Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1963).
Al-Razi, Mafatih al-Ghaib al-Tafsir al-Kabir
(kairo:Maktabah al-Amirah asy syarqiyah, 1889/1308)
Abu
Mansur Abdul Qahir ibn Tahir at-Tamimiy al-Bagdadiy, Kitab Usul ad-Din
(Beirut: Dar al Kutub al-'Ilmiyah, 1981).
Aliah Sceleifer, Sejarah Hidup MaryamS ebuah Kajian
Tafsir Tematik, (terj) Ali Masrur.Yogyakarta, UII Press, 2004. Hl 103-104
Cyril
Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper &
Row, Publishers, Inc, 1989).
David
A. Kerr, "Prophethood" in John L. Esposito (ed.), Oxford
Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. iii
David
E. Aune, "Prophet, Prophecy," Everett Ferguson (ed.), En�cyclopedia
of Early Christianity, ed. 6 (New York and London: Garland Publishing, Inc,
1997), hlm. 952; Felix N. Nwahaghi, "Priesthood and Prophecy in
Judeo-Christian Religion," Journal of Dharma 15 (1990).
Departemen
Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Depag, 19871988).
Fazlur
Rahman, Tema Pokok Alquran, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1996)
Hans
Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto
Harrassowitz, 1971).
Hammudah
Abdalati, Islam Dalam Sorotan (terj) Anshari Thayib (Surabaya: Bina
Ilmu,1981).
H.A.R.
Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J.
Brill, 1974)
Ibrahim
Madkour, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, (terj) Yudian Wahyudi
(Jakarta: CV. Rajawali, 1991).
Ibn
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid I, juz I, cet. I Cairo: Dar
al-Taqwa, 1999), hlm. 56,58,59, & 60)
M.
Dawam R., Ensiklopedi alQur'an (Jakarta: Paramadina, 1997).
Murtadha
Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991).
Muslim ,Shahih Muslim XV dan XVI .
Muhammad
'Ali ash-Shabuniy, An-Nubuwwah wa al-Anbiya' (Beirut: 'Alim
al-Kutub,1985).
Syaikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, al-Ittihaf Ahfiya'
bi Risalah al-Anbiya' (Qatar: Ri'asah al-Mahakim asy-Syar'iyyah wa
asy-Syu'un ad-Diniyyah, 1991).
�T. Fahd, "Nubuwwa," dalam Bernard
Lewis (ed.), The Encyclopedia of Islam, vol. viii (Leiden: t.p, 1995),
hlm. 93; Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
Tafsir
Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5, Sakhr, 1993-1997.
Taufik
Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Van
Houve, 2000).
Umar
Sulaiman al-Asyqar, Al-Rusul wa al-Risalat (Kuwait: Maktabah al-Falah,
1985).
Zainudin, Ilmu Tauhid Lengkap ( Jakarta Rhineka
Cipta, 1992)
[1] Abdullah Ibn Manzur, Lisan
al'Arab, juz VI (Beirut: Dar Sadir, [t.t]), hlm. 561, bdk: Hans Wehr, A
Dictionary of Modern Written Arabic (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1971),
hlm. 937.
[2]Hans Wehr, A
Dictionary, hlm. 937.
[3] David A. Kerr,
"Prophethood" in John L. Esposito (ed.), Oxford Encyclopedia of
the Modern Islamic World, vol. iii, hlm. 364 ; T. Fahd, "Nubuwwa,"
dalam Bernard Lewis (ed.), The Encyclopedia of Islam, vol. viii (Leiden:
t.p, 1995), hlm. 93; Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), hlm. 679.
[4]A S Hornby, Oxford
Advanced Learner's Dictionary of Current En�glish, Jonathan Crowther (ed.)
(Oxford: Oxford University Press, 1995), hlm. 929.
[5]David E. Aune,
"Prophet, Prophecy," Everett Ferguson (ed.), En�cyclopedia of
Early Christianity, ed. 6 (New York and London: Garland Publishing, Inc,
1997), hlm.952; Felix N. Nwahaghi, "Priesthood and Prophecy in
Judeo-Christian Religion," Journal of Dharma 15 (1990), hlm. 5
[6] M. Dawam R., Ensiklopedi
alQur'an (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 303.
[7] H.A.R. Gibb dan J.H.
Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1974)
[8] Departemen Agama RI, Ensiklopedi
Islam Indonesia (Jakarta: Depag, 19871988), hlm. 659.
[9] M. Dawam R., Ensiklopedi,
hlm. 303
[10] Taufik Abdullah (ed),
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Van Houve, 2000),
hlm. 14.
[11]Depag RI, Ensiklopedi
Islam Indonesia, hlm. 659.
[12] Cyril Glasse, The
Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper & Row, Publishers,
Inc, 1989), hlm. 342.
[13] Abu Ja'far Muhammad
b. Jarir al-Thabary, Jami' al-Bayan 'an Ta'wil ay al-Qur�an (Beirut: Dar
al-Fikr, 1988), vol. 13, hlm. 37.
[14] Muhammad 'Ali
ash-Shabuniy, An-Nubuwwah wa al-Anbiya' (Beirut: 'Alim al-Kutub,1985),
hlm. 14.
[15] Abu al-Yusr Muhammad
bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawiy, Kitab Usul ad-Din (Kairo: Dar
Ihya al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1963), hlm. 223.
[16]Abu Mansur Abdul Qahir
ibn Tahir at-Tamimiy al-Bagdadiy, Kitab Usul ad-Din (Beirut: Dar al
Kutub al-'Ilmiyah, 1981), hlm. 154.
[17]Hadis sahih
diriwayatkan Imam Ahmad.
[18] Umar Sulaiman
al-Asyqar, Al-Rusul wa al-Risalat (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1985),
hlm.14.
[19] Syaikh Abdullah bin
Zaid Ali Mahmud, al-Ittihaf Ahfiya' bi Risalah al-Anbiya' (Qatar:
Ri'asah al-Mahakim asy-Syar'iyyah wa asy-Syu'un ad-Diniyyah, 1991), hlm. 4.
[20]Al-Asyqar, Al-Rusul,
hlm. 6.
[21] Murtadha Muthahhari, Falsafah
Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), hlm. 9.
[22] Hammudah Abdalati, Islam
Dalam Sorotan (terj) Anshari Thayib (Surabaya: Bina Ilmu,1981), hlm. 32.
[23] Fazlur Rahman, Tema
Pokok al-Qur�an, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 119.
[24]Tafsir Ibn Kathir
dalam CD-ROOM versi 6.5, Sakhr, 1993-1997.
[25] Fazlur Rahman, Major
Themes of The Qur'an (Minneapolis dan Chicago: Bibliotecha Islamica, 1980),
hlm. 53,80.
[26]Rahman, Major,
hlm. 80.
[27] Ibrahim Madkour, Filsafat
Islam Metode dan Penerapan, (terj) Yudian Wahyudi (Jakarta: CV. Rajawali,
1991), hlm. 85.
[28] Muthahhari, Falsafah,
hlm. 9.
[29] Lihat, Ibn Katsir, al-Bidayah
wa al-Nihayah, jilid I, juz I, cet. I Cairo: Dar al-Taqwa, 1999), hlm.
56,58,59, & 60)
[30]Al-Razi, Mafatih
al-Ghaib al-Tafsir al-Kabir (kairo:Maktabah al-Amirah asy syarqiyah,
1889/1308)h460
[31]Zainudin, Ilmu
Tauhid Lengkap ( Jakarta Rhineka Cipta, 1992) hlm 105
[32]Ibn
Hazm,Fishal fi al�milal wa al-Nihal Juz V[32]
[33]Muslim ,Shahih
Muslim XVI , �hlm 210 kitab al-Qadr ,
bab kullu mauludin alal Fithrah
[34]Muslim, Shahih
Muslim XV , �hlm 119-120� kitab�
fadhail , bab Fadhail Isa
[35]Aliah
Sceleifer, Sejarah HidupMaryamSebuah Kajian Tafsir Tematik, (terj) Ali
Masrur.Yogyakarta, UII Press, 2004. Hl 103-104
[36]Ibid� hl 102
[37]Ibn Hazma , Fishal..,
Juz V hlm 119