PERAN KONSEP DIRI, RELIGIUSITAS, DAN
POLA ASUH ISLAMI� TERHADAP KECENDERUNGAN
PERILAKU NAKAL REMAJA DI SMA KOTA CIREBON
������������������������������������������������������������������������ ������������������������������������������������������ SAHRUDIN
(Dosen Universitas NU
Cirebon)
�
Abstrak
Perilaku remaja
merupakan permasalahan yang selalu menarik untuk dikaji karena deviasi perilaku
remaja dalam bentuk kenakalan remaja menunjukan gejala yang semakin meningkat
baik itu frekuensi, variasi maupun intensitasnya. Remaja sebagai individu
berada pada fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa, perubahan ini
mendorong remaja untuk mencari jati dirinya. Pada fase pencarian jati diri
berbagai potensi perilaku muncul yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun
eksternal.
�Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara
empiris peran konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami sebagai prediktor kecenderungan perilaku remaja. Subyek
penelitian ini adalah 221 siswa dan siswi SMA �X� Cirebon.
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif. Data penelitian dikumpulkan menggunakan (1)
skala kecenderungan perilaku nakal remaja, (2) skala konsep diri, (3) skala
religiusitas, dan (3) skala pola asuh islami. Analisis data dilakukan dengan
teknik analisis regresi berganda.
Hasil analisis
data menunjukkan bahwa hipotesis terbukti dengan R = 0,862, dan nilai Fregresi = 209,292 (p<0,01).
Hasil ini menunjukkan bahwa konsep diri,
religiusitas, dan pola asuh islami secara
bersama-sama berperan negatif dan signifikan sebagai prediktor untuk
kecenderungan perilaku nakal remaja. Ketiga variabel bebas tersebut secara
bersama-sama memberikan sumbangan efektif terhadap variabel terikat
(kecenderungan perilaku nakal remaja) sebesar 74,3% (R square = 0,743). Ketiga variabel bebas (konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami) mempunyai
sumbangan yang berbeda-beda terhadap variabel tergantung (prestasi belajar
matematika). Besar sumbangan konsep diri terhadap kecenderungan perilaku nakal
remaja sebesar 22,80%, religiusitas sebesar 42,35 %,
dan pola asuh islami sebesar 9,15%.
Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa religiusitas mempunyai
sumbangan yang paling besar terhadap kecenderungan perilaku remaja. Nilai-nilai ajaran agama diharapkan
dapat mengisi kekosongan batin pada diri remaja sehingga selanjutnya remaja
dapat menentukan pilihan perilaku yang tepat (sesuai dengan norma dan ajaran
agama) dan menghindari perilaku yang menyimp
Key Word:
konsep diri,
religiusitas, pola asuh islami, dan kecenderungan perilaku nakal remaja.
A.
Pendahuluan
Kenakalan
remaja merupakan permasalahan yang selalu menarik untuk dikaji, karena ternyata
kenakalan remaja menunjukan gejala yang semakin meningkat baik itu frekuensi,
variasi maupun intensitasnya. Juvenile Deliquency atau
kenakalan remaja adalah label perilaku-perilaku, seperti menjauh/menghindar
dari sekolah, dari kebosanan, dari orang tua yang menterlantarkan, dari
kesulitan diri, dari rumah yang bermasalah, dari situasi rumah yang
membosankan, dari rumah yang tidak bahagia, dari kehidupan yang sulit, dan dari
kesulitan yang satu ke kesulitan yang lain[1]. Istilah kenakalan remaja mengacu
pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima
sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal[2].
Perubahan-perubahan
sosial yang cepat sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi, dan
kemajuan teknologi mengakibatkan perilaku kenakalan remaja semakin meningkat. Zastrow menjelaskan bahwa
kenakalan remaja tidak hanya berbentuk bolos sekolah, mencuri kecil-kecilan,
tidak patuh pada orang tua, tetapi mengarah pada tindakan kriminal, seperti
perkelahian masal antar pelajar (tawuran) yang menyebabkan kematian, perkosaan,
pembunuhan dan lain-lain[3]. Tindak kekerasan remaja di
Indonesia sekarang seperti yang banyak dilansir oleh berbagai media telah
mencapai tingkat yang memprihatinkan. Misalnya, pencurian kendaraan bermotor di
daerah Solo yang dilakukan oleh anak yang berusia 14 tahun gara-gara ingin
memiliki motor, pencabulan di daerah Pati yang dilakukan oleh anak di bawah
umur karena terpengaruh tontonan VCD porno, penodongan dan penganiayaan di
daerah Semarang Barat yang dilakukan oleh sejumlah pelajar SMP Swasta terhadap
pelajar lain, perkelahian antar pelajar, perampokan bahkan pembunuhan, dan
dampak lain dari minum minuman keras yang mengakibatkan teman sendiri dianiaya,
ini terjadi pada malam 1 Muharram di daerah Krobokan, Semarang Barat.� Kebanyakan remaja berstatus sebagai pelajar
adalah individu yang mengalami transisi dari kehidupan anak-anak menuju
kehidupan orang dewasa yang ditandai dengan perubahan dan perkembangan, baik
segi fisik, psikis dan sosial.
Salah
satu faktor internal yang diasumsikan dapat mempengaruhi timbulnya dorongan
kenakalan remaja yaitu rendahnya konsep diri remaja. Menurut Shavelson dan
Roger[4], konsep
diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman dan inteprestasi dari
lingkungan, penilaian orang lain, atribut, dan tingkah laku dirinya.
Pengembangan konsep diri tersebut berpengaruh terhadap perilaku yang
ditampilkan, sehingga bagimana orang lain memperlakukan individu dan apa yang
dikatakan orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk menilai
dirinya sendiri[5].
Remaja yang mempunyai konsep diri yang positif akan mampu dan mengatasi
dirinya, memperhatikan dunia luar, dan mempunyai kemampuan untuk berinteraksi
sosial[6].
Faktor
internal lain yang diperkirakan berpengaruh teradap dorongan kenakalan remaja
adalah nilai religiusitas remaja. Diasumsikan jika remaja memiliki religiusitas
rendah maka dorongan untuk melakukan perilaku nakalnya tinggi, artinya dalam
berperilaku tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya dan sebaliknya
semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah tingkat dorongan untuk
melakukan kenakalan pada remaja artinya dalam berperilaku sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya karena ia memandang agama sebagai tujuan utama hidupnya
sehingga ia berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam perilakunya
sehari-hari[7].
Selain
pengaruh faktor internal, dalam kenakalan remaja juga dipengaruhi oleh faktor
eksternal seperti pola asuh orangtua. Ulwan (1999:37), menjelaskan bahwa metode
pendidikan anak dalam Islam banyak dicontohkan langsung oleh Nabi dan para
sahabat yang banyak dikaji dalam buku-buku sejarah Islam (siroh Nabawiyah).
Secara garis besar terdapat lima metode dasar pendidikan anak menurut Islam
yaitu pendidikan dengan keteladanan, pendidikan dengan adat kebiasaan,
pendidikan dengan nasehat, pendidikan dengan perhatian/pengawasan, dan
pendidikan dengan hukuman[8].
Pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari tujuan yang diharapkan. Tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris
konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami sebagai prediktor kecenderungan perilaku
nakal remaja.
B.
Kenakalan Remaja dalam Perspektif Behaviorisme
Berangkat dari eksperimen
yang dilakukan oleh Pavlov terhadap anjing, dapat digunakan juga pada kasus
kenakalan remaja. Ketika seorang remaja melakukan kenakalan maka harus dilihat
dulu latar belakang anak tersebut. Terkadang kenakalan yang dilakukan oleh
remaja merupakan sebuah kebiasaan yang dilakukan sehingga tidak disadari bahwa
perilaku tersebut mengganggu orang lain. Sebagai contoh ketika seorang anak
kebut � kebutan dalam mengendarai mobil, hal ini terjadi karena akibat dari
selalu bangun kesiangan sehingga berngkat sekolah sudah hampir masuk, untuk
mengejar waktu maka ngebut agar bisa sampai tepat waktu dan hal tersebut terjadi
setiap hari dan menjadi sebuah kebiasaan.
Berdasarkan teori belajar,
seorang individu melakukan tindakan akan terus berlanjut ketika mendapatkan
penguatan dari orang lain misalnya dalam bentuk pujian. Seorang remaja akan
terus melakukan kenakalan ketika mendapatkan pujian dari teman � temannya,
karena pada masa remaja pengakuan dari teman sebaya sangat berarti bagi bagi
remaja.
Selain asosiasi dan
reinforcement kenakalan remaja juga bisa terjadi karena proses imitasi atau
meniru yang salah. Pada masa remaja cenderung mengimitasi orang � orang yang
diidolakan. Ketika remaja mengidolakan orang yang salah, maka� akan mencoba untuk meniru perilaku orang yang
diidolakan tanpa berpikir itu benar atau salah.
Sementra itu dalam pandangan
Thorndike kenakalan remaja merupakan bentuk reaksi dari lingkungannya, artinya
kenakalan remaja sebagai sebuah respon dari stimuli yang datang dari
lingkungan.
Dalam� 'Teori
Belajar Sosial' yang dinyatakan oleh Albert Bandura� teori utama yang mencoba untuk menjelaskan
penyebab kenakalan remaja adalah meniru. Melalui penelitian yang dilakukan
oleh Bandura dinyatakan bahwa manusia belajar dengan meniru hal-hal yang
dilihat. Dengan kata lain, anak pertama mengamati bagaimana orang di
sekitar mereka berperilaku, dan kemudian ditiru. Sebagai contoh, jika
salah satu orang tua anak menunjukkan perilaku nakal seperti mengambil
obat-obatan atau menunjukkan perilaku kekerasan anak kemungkinan untuk
mengamati dan meniru perilaku yang sama, tanpa menyadari bahwa itu tidak benar. Kadang-kadang,
rekan-rekan yang juga bertanggung jawab bagi seorang anak untuk mempelajari
perilaku nakal. Selama tahun-tahun remaja, anak-anak menghabiskan lebih
banyak waktu dengan teman-teman mereka daripada keluarga intinya. Dalam
keadaan seperti itu, jika anak-anak tidak diberikan bimbingan yang tepat,
pengaruh peer group dapat menimbulkan perilaku bermasalah.
Sementara itu menurut Skinner hubungan antara
stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang
kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku�
merupakan sebuah proses di mana stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Menurut Skinner individu adalah organisme yang
memperoleh perbendaharaan tingkah lakunya melalui belajar, individu bukanlah
agen penyebab tingkah laku melainkan suatu poin antara faktor � faktor
lingkungan dan bawaan yang khas serta secra bersama- sama menghasilkan akibat
tingkah laku yang khas pula pada individu tersebut.
Menurut pendekatan behaviorisme kasus kenakalan
remaja merujuk pada teori perubahan perilaku (belajar) di mana para pelaku
kenakalan remaja adalah bagian dari produk lingkungan, sehingga segala
perilaku� kenakalan remaja sebagian besar
diakibatkan oleh pengaruh lingkungan sekitarnya, baik itu dari keluarga
terdekat, organisasinya, dan aktifitas bermasyarakatnya. Lingkunganlah yang
membentuk kepribadian diri. Menurut aliran ini bahwa perilaku manusia itu
adalah sebagai akibat berinteraksi dengan lingkungan, dan pola interaksi
tersebut harus bisa diamati dari luar. Lingkungan disini banyak sekali
bentuknya, yaitu antara lain teman sekolah, teman bermain, masyarakat
disekitarnya, media cetak atupun elektronik dan keluarga. Jika semua macam
lingkungan yang tadi itu di dalamnya sudah terdapat hal-hal negatif maka besar
kemungkinan khususnya remaja akan dilampiaskan pada hal negatif pula.
Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya
dikatakan sebagai hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar
dengan respons yang ditampilkan oleh para pelaku. Pada umumnya teori belajar
yang termasuk ke dalam keluarga besar behaviorisme memandang manusia sebagai
organisme yang netral-pasif-reaktif terhadap stimuli di sekitar lingkungannya,
sehingga jika para remaja sudah terbiasa diberikan atau mendapatkan stimuli
yang negatif� maka mereka juga akan
terdorong untuk memberikan respon terhadap stimuli yang diterimanya.
Dalam terjadinya proses belajar dalam pola hubungan
slimulus-respon ini selalu membutuhkan unsur dorongan (drive), rangsangan
(stimulus), respons, dan penguatan (reinforcement). Unsur yang
pertama, dorongan, adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi
kebutuhan yang sedang dirasakannya.
Unsur berikutnya adalah rangsangan atau stimulus.
Unsur ini datang dari luar diri remaja, dan tentu saja berbeda dengan dorongan
tadi yang datangnya dari dalam. Stimulus dari luar inilah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perilaku kenakalan remaja. Kemungkinan besar mereka para
remaja berinteraksi dengan lingkungan yang di dalamnya ada unsur-unsur
kenakalannya juga sehingga terjadi penguatan terhadap perilaku kenakalan remaja.
Inti dari pandangan behaviorisme Skiner, bahwa
perilaku kenakalan remaja� terjadi karena
akibat dari proses belajar yaitu lingkungan. Dimana para remaja sering
berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia lingkungan yang negatif yang bisa
membawanya pada hal negatif pula, baik itu secara langsung maupun tidak
langsung. Sebab dalam kehidupan ini yang paling besar dan kuat pengaruhnya bagi
perubahan perilaku adalah lingkungan.
1.
Pengertian Remaja
Hall menyatakan bahwa remaja itu berkisar dari umur 15 tahun sampai 23 tahun. Masa remaja sendiri diartikan
sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang diikuti
dengan berbagai masalah yang ada karena adanya perubahan fisik, psikis, dan
sosial. Masa peralihan itu banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam
penyesuaian terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sosial. Hal ini
dikarenakan remaja merasa bukan kanak-kanak lagi tetapi juga belum dewasa dan
remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa[9].
Pengelompokan masa remaja itu dimulai kira-kira pada umur� 13 tahun dan
�berakhir kira-kira 21 tahun[10]. Selain itu ada juga yang berpendapat
bahwa masa remaja �berlangsung �mulai umur 12 sampai
22 tahun[11].
�Berdasarkan
pandangan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa batasan umur tidak� bisa dijadikan
ketentuan yang pasti sehubungan adanya
perbedaan individual. Walaupun demikian ini diperlukan
sebagai� pedoman. �Batasan umur yang akan
dibahas dalam disertasi ini adalah antara
13 tahun sampai 22 tahun.
2. Kecenderungan Perilaku Delinkuensi
Kecenderungan perilaku delinkuensi
adalah kecenderungan mengalami gangguan tingkah laku yang dilakukan oleh remaja
dan cenderung mengarah pada tingkah laku kriminal dan kejahatan[12].
Setiap perbuatan jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka
perbuatan itu merupakan kejahatan. Dalam pengertian yang lebih luas adalah
perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang
bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma
agama.
Pandangan Kartono memberikan arti
kecenderungan delinkuensi sebagai gejala atau patologi secara sosial pada
anak-anak dan remaja, yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabdian sosial,
sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku menyimpang. Berdasarkan
penelitian Hurwitz� dikemukakan bahwa
kecenderungan untuk berperilaku delinkuensi ini sebenamya dilakukan oleh remaja
yang berusia 18 tahun[13].
Hal ini berarti bahwa kecenderungan perilaku delinkuensi adalah seorang muda
(biasanya berusia 18 tahun atau kurang) yang cenderung melakukan perbuatan
pelanggaran dan jika perbuatan itu dilakukan oleh orang dewasa, maka akan
dikenakan tindakan pidana.
Menurut Soetjiningsih kecenderungan
perilaku delinkuensi pada remaja adalah kecenderungan perilaku kriminal (sesuai
dengan batasan hukum setempat), yang dilakukan oleh remaja kurang dari 17 atau
18 tahun[14].
Batasan kenakalan remaja lebih memfokuskan pada batasan� hukum�
dibandingkan� dengan batasan
medis. Remaja yang cenderung suka bertindak delinkuensi berkisar antara usia 13
tahun sampai 18 tahun.
3.
Bentuk-Bentuk Kecenderungan Perilaku Delinkuensi Pada Remaja
Bentuk-bentuk kecenderungan perilaku
delinkuensi menurut William[15]� yaitu :
a. Kenakalan yang tidak dapat digolongkan pada pelanggaran hukum. Hal itu meliputi perilaku seperti berbohong atau memutar balikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutupi kesalahan, membolos, kabur atau meninggalkan rumah tanpa ijin orang tua atau menentang keinginan orang tua, keluyuran atau pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan dan mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif, memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain, bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk sehingga mudah terjerat dalam perkara yang benar-benar criminal, berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan sehingga mudah timbul tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab, Membaca buku-buku cabul dan kebiasaan mempergunakan bahasa yang kurang sopan dan tidak senonoh, turut dalam pelacuran dan melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomi maupun tujuan lainnya, dan berpakaian tidak pantas dan minum minuman keras atau menghisap ganja sehingga merusak dirinya.
b. Kenakalan yang dapat digolongkan pelanggaran terhadap hukum dan mengarah kepada tindakan kriminal. Hal itu meliputi perilaku seperti berjudi sampai mempergunakan uang dan taruhan benda yang lain, mencuri, mencopet, menjambret, merampas dengan kekerasan atau tanpa kekerasan, penggelapan barang, penipuan dan pemalsuan, pelanggaran tata susila seperti menjual gambar-gambar pomo, film pomo dan pemekosaan, pemalsuan uang dan pemalsuan surat-surat keterangan resmi, tindakan-tindakan anti sosial seperti perbuatan yang merugikan milik orang lain, percobaan pembunuhan, menyebabkan kematian orang lain, turut tersangkut dalam pembunuhan, pembunuhan, pengguguran kandungan, dan penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang.
Menurut Soetopo bentuk-bentuk
kecenderungan perilaku delinkuensi dibedakan menjadi tiga[16],
yaitu :
a. Kenakalan
biasa yang masih dalam batas-batas kewajaran. Misalnya : bolos sekolah,
corat-coret mobil, tidak sopan terhadap guru, melempari rumah tetangga,
merokok, tidak hormat kepada orang tua.
b. Kenakalan
yang menjurus kepada pelanggaran atau kejahatan yaitu pelanggaran yang
benar-benar menjurus kepada pelanggaran kejahatan. Misalnya : mencuri barang atau
uang milik tetangga, mengancam guru, menganiaya orang tua, memalsu tanda
tangan, main judi, dan lain-lain.
c. Kenakalan
khusus adalah perbuatan yang sudah mengarah kepada pelanggaran atau kejahatan
khusus. Misalnya : hubungan seks di luar nikah, perkosaan anak dibawah umur,
melarikan gadis, bermain-main di komplek pelacuran, penyalahgunaan narkotika.
Jensen mengemukakan bahwa secara
garis besar kenakalan remaja dapat di kelompokan kedalam 4 kategori[17],
yaitu :
a.
Kenakalan Remaja
yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan,
perampokan, pembunuhan dan lain-lain.
b.
Kenakalan Remaja
yang menimbulkan korban materi seperti perusakan, pencurian, pencopetan,
pemerasan dan lain-lain.
c.
Kenakalan Remaja
sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak lain seperti pelacuran dan
penyalahgunaan obat.
d.
Kenakalan Remaja
yang melawan status misalnya mengingkari status sebagai pelajar
dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah.
Perilaku tersebut memang tidak
melanggar hukum dalam arti sesungguhnya karena yang dilanggar adalah
status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang
memang tidak diatur oleh hukum secara rinci. Tetapi menurut Jensen kalau remaja
ini kelak dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap atasannya
di kantor atau petugas hukum di masyarakat sehingga Jensen menggolongkan
pelanggaran status ini sebagai perilaku kenakalan remaja dan bukan sekedar
perilaku menyimpang.
4.Faktor-faktor� yang Mempengaruhi Timbulnya Perilaku
Delinkuensi
Menurut Simandjuntak, faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya perilaku delinkuensi[18]
adalah sebagai berikut :
a. Faktor
intemal, yaitu meliputi kepribadian, jenis kelamin, intelegensi, umur, dan
kedudukan dalam keluarga.
b. Faktor
ekstemal yaitu meliputi lingkungan keluarga atau rumah, lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat, dan ingkungan sosial budaya.
Selain beberapa faktor di atas, ada
beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya perilaku delinkuen
pada remaja. Hasil penelitian Ling dan Chan (1997) menyatakan �bahwa konsep
diri berhubungan �dengan
kenakalan �remaja
yang dihubungkan �melalui �keharmonisan� �keluarga. Palupi (2013) dalam hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara religiusitas dengan
kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP. Rahayu (2002) menyatakan pola
pengasuhan authoritative menghasilkan remaja yang mandiri, percaya diri
dan mengembangkan konsep diri yang positif, sehingga tidak akan mencari-cari
perhatian dengan cara yang salah. Hawwa (1992) secara khusus menyatakan bahwa
pola asuh islami akan membentuk remaja sehingga mempunyai karakteristik yang
ibadahnya bagus, akhlaq kepada sesama bagus, fisiknya kuat, dan bermanfaat bagi
orang lain. Karakteristik yang seperti itu menurut hemat penulis akan membuat
anak terhindar dari perilaku yang dapat merugikan dirinya maupun orang lain
seperti perilaku kenakalan remaja.
�
C. Metode Penelitian
1.
Desain Penelitian
Desain penelitian yang�
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan
tekhnik analisis regresi berganda.�
Teknik analisis regresi bertujuan untuk memprediksikan seberapa jauh
perubahan nilai variabel dependen, bila nilai variabel independen di
manipulasi/dirubah-rubah atau dinaik-turunkan. Penelitian ini menggunakan empat
variabel, tiga variabel �prediktor (konsep
diri, religiusitas, dan pola asuh islami), dan satu
variabel terikat atau kriterium (kecenderungan perilaku nakal).
2.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah seluruh remaja
yang sekolah di� kelas XI A, B, C, D, dan
E jurusan IPA dan IPS SMA �X� Cirebon yang terdiri dari sembilan kelas dengan
jumlah 221
remaja. Pemilihan remaja kelas XI A, B, C, D jurusan IPA dan kelas A, B, C, D,
dan E jurusan IPS sebagai subyek penelitian didasarkan pada:
a. Remaja yang menduduki kelas XI dituntut untuk lebih dapat memiliki kemampuan mengatur diri dan perilakunya secara aktif dan mandiri dalam aktivitas belajarnya. Hal ini karena secara psikologis siswa kelas XI sudah dapat menyesuaikan diri dengan kondisi sekolah, sehingga jika tidak bisa mengatur aktivitas belajaranya serta tidak bijak dalam bergaul maka kecenderungan untuk terbawa dan dipengaruhi teman semakin besar.
b. Secara psikologis, remaja yang menduduki kelas XI tidak mempunyai tuntutan belajar seperti remaja pada kelas XII yang disibukkan mengikuti bimbingan belajar untuk persiapan ujian. Hal itu membuat remaja yang menduduki kelas XI mempunyai waktu relatif lebih banyak untuk untuk dihabiskan bersama dengan teman sebayanya.�
c. Peneliti berasumsi bahwa kecenderungan remaja untuk mempunyai kelompok (geng) relatif lebih besar terjadi pada kelas XI. Hal itu disebabkan karena siswa pada kelas ini sudah dapat mengetahui karakter dan hobinya masing-masing sehingga mereka cenderung membuat kelompok sesuai dengan hobi atau ketertarikan mereka terhadap sesuatu.
3. Cara Pengambilan Data
Penelitian ini akan melibatkan empat
variabel sebagaimana dalam rancangan yakni Kecenderungan perilaku nakal remaja,
konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami. Variabel kecenderungan perilaku
nakal pada remaja diukur dengan skala yang disusun Fatiasari (2008) untuk
tingkat remaja secara umum, dan telah disesuaikan dengan kebutuhan untuk
tingkat siswa SMA kelas sebelas.
Variabel konsep diri diukur dengan skala
konsep diri berdasarkan aspek-aspek konsep diri meliputi aspek fisik, sosial,
keluarga, moral dan psikis. Selanjutnya variabel religiusitas diukur berdasar
pada aspek-aspek religiusitas yang terdiri dari a) dimensi keyakinan atau ideological
involvement, b) dimensi peribadatan atau ritual involvement, c)
dimensi penghayatan atau experiencal involvement, d) dimensi pengetahuan
agama atau intellectual involvement, e) dimensi pengamalan atau consequential
involvemen. Variabel pola asuh islami diukur berdasar pada aspek-aspek pola
asuh islami menurut
Darajat.
4.
Validitas dan Reliabilitas
Pada penelitian ini, uji validitas alat
ukur yang digunakan adalah analisis daya beda butir. Analisis daya beda dapat
digunakan untuk mencari koefisien korelasi antara butir-butir aitem dengan skor
total (rit). Cronbach menyatakan bahwa angka koefisien
validitas� di atas 0,30 dapat memberikan
konstribusi yang baik.
Menurut Azwar[19],
secara empirik tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan dengan angka yang
disebut dengan koefisien reliabilitas. Semakin tinggi koefisien korelasi
berarti tingkat reliabilitasnya semakin konsisten. Angka koefisien reliabilitas
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sesuai dengan pendapat Anastasi
dan Urbina[20],
yang mengemukakan bahwa suatu pengukuran dapat dikatakan reliabel apabila
memiliki rentang nilai koefisien reliabilitas antara 0,80-1,00. Estimasi
koefisien reliabilitas pada skala kecenderungan perilaku nakal, konsep diri,
religiusitas, dan pola asuh autoritatf menggunakan teknik statistik dengan
program SPSS 16,0 for windows.
5.
Analisis Data
Langkah-langkah yang ditempuh dalam
analisis data penelitian ini, yaitu: 1) uji asumsi normalitas sebaran, dan 2)
uji asumsi linieritas hubungan, 3) uji hipotesis. Menurut Hadi (2000) ada
anggapan bahwa skor variabel yang dianalisis mengikuti hukum sebaran normal
baku (kurva) dari Gauss. Jika sebaran normal, artinya tidak ada perbedaan
signifikan antara frekuensi yang diamati dengan frekuensi teoritis kurva.
Kaidah yang dipakai, bila p > 0,05 maka sebaran normal, sebaliknya jika
p ≤ 0,01 maka sebaran tidak normal. Teknik uji normalitas yang
digunakan adalah Kolmogorov-Smirrnof �Z (Hadi, 2000).
Uji normalitas ini digunakan untuk
melihat apakah skor variabel yang diteliti mengikuti distribusi normal atau
tidak. Uji linieritas hubungan ini, digunakan untuk mengetahui bentuk hubungan
antara variabel bebas dengan variabel terikat. Uji linieritas hubungan
dilakukan terhadap variabel kecenderungan perillaku nakal remaja, konsep diri,
religiusitas, dan pola asuh autoritatif. Untuk melihat linier atau tidak,
digunakan uji linieritas. Kaidahnya dengan melihat p pada tabel
linieritas. Jika p ≤ 0,05 maka hubungan linier, tetapi jika p >
0,05 maka hubungan tidak linier.
Setelah uji asumsi terpenuhi maka
selanjutnya dilakukan uji hipotesis. Teknik korelasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah korelasi regresi ganda sebagaimana telah dikemukakan di
atas. Proses perhitungan uji prasyarat maupun uji hipotesis dilakukan dengan
menggunakan bantuan jasa komputer program Statistical
Package for Social Science (SPSS) for
windows versi 17,0.
�
D.
Hasil Temuan Penelitian
Berdasarkan hasil analisis
regresi linier, diperoleh nilai konstanta b0
= 178,379, koefisien b1 untuk
konsep diri (KD)= -0,439, koefisien b2
untuk religiusitas=-0,471, dan koefisien b3
untuk pola asuh islami (PAI)= -0,136 (lihat lampiran). Berdasarkan pada hasil tersebut maka
persamaan garis regresi berganda dalam penelitian ini adalah Y = 178,379
+ -0,439 X1 + -0,471
X2 +�������� �-0,136 X3.
Mengacu pada persamaan garis regresi
berganda di atas maka dapat diketahui bahwa:
1. Nilai
konstanta b0 = 178,379, artinya
jika nilai konsep diri, religiusitas,
dan pola asuh islami remaja nilainya 0, maka kecenderungan perilaku nakal remaja nilainya
sebesar 178,379.
2. Nilai
koefisien b1 KD= -0,439
menggambarkan bahwa KD mempunyaii peranan negatif terhadap besarnya
kecenderungan perilaku nakal remaja, artinya jika konsep diri ditingkatkan
sebesar 1 satuan, maka kecenderungan perilaku nakal remaja akan turun sebesar 0,439.
3. Nilai
koefisien b2 Religiusitas=-0,471� menggambarkan bahwa religiusitas mempunyai
peranan negatif terhadap besarnya kecenderungan perilaku nakal remaja, artinya
jika religiusitas� ditingkatkan sebesar 1
satuan, maka kecenderungan perilaku nakal remaja akan turun sebesar 0,471.
4. Nilai
koefisien b3 PAI= -0,136
menggambarkan bahwa PAI mempunyai peranan negatif terhadap besarnya
kecenderungan perilaku nakal remaja, artinya jika PAI ditingkatkan sebesar 1
satuan, maka kecenderungan perilaku nakal remaja akan turun sebesar 0,136.
Selanjutnya berdasarkan pada
hasil analisis regresi linier, diperoleh nilai R = 0,862, dan nilai
Fregresi = 209,292 (p<0,01) (lihat lampiran halaman 245). Hal ini menunjukkan
bahwa� konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami secara bersama-sama untuk memprediksi kecenderungan perilaku
nakal dengan kecenderungan perilaku nakal remaja. Dengan kata lain variabel konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami dapat menjadi prediktor terhadap kecenderungan
perilaku nakal remaja. Melihat korelasi parsial yang semuanya
negative menunjukkan bahwa semakin
tinggi konsep diri,
religiusitas, dan pola asuh islami maka akan semakin turun kecenderungan
perilaku nakal remaja.
Besarnya determinan ketiga
variabel bebas tercermin dengan nilai koefisien determinan sebesar R2
= 0,743 (lihat lampiran halaman 245). Artinya ketiga variabel
bebas yaitu konsep diri,
religiusitas, dan pola asuh islami secara
bersama-sama memberikan sumbangan efektif terhadap variabel terikat (kecenderungan
perilaku nakal remaja) sebesar 74,3 % (R square
= 0,743), sedangkan 25,7 % berasal dari variabel lain diluar
variabel yang diteliti.
Ketiga variabel bebas (konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami) mempunyai sumbangan yang berbeda-beda terhadap variabel
tergantung (kecenderungan perilaku nakal remaja). Besar sumbangan konsep diri dalam memprediksi kecenderungan
perilaku nakal remaja sebesar 22,80% (nilai beta x
nilai zero-order x 100%), besar sumbangan religiusitas dalam memprediksi kecenderungan
perilaku nakal remaja sebesar 42,35 % (nilai beta x
nilai zero-order x 100%), dan besar sumbangan pola asuh islami dalam
mempredikasi kecenderungan perilaku nakal remaja
sebesar 9,15% (nilai beta x nilai zero-order x 100%).
Beberapa hasil penghitungan
di atas menunjukkan bahwa faktor konsep
diri, religiusitas, dan pola asuh islami dapat
menjadi prediktor negatif yang signifikan bagi kecenderungan perilaku
nakal remaja, berarti hipotesis pada penelitian ini diterima.
Hasil persamaan regresi dalam penelitian
ini adalah Y = 178,379 + -0,439
X1 + -0,471 X2 + �-0,136 X3.
Intepretasi atas persamaan regresi tersebut adalah (a) pada saat variabel
independen (konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami) dalam keadaan
konstan maka Y (kecenderungan perilaku nakal remaja) berada pada posisi 178,379; (b) ketika konsep diri meningkat 1 satuan,
maka kecenderungan perilaku nakal remaja akan turun sebesar 0,439 satuan atau dengan kata lain pengaruh konsep
diri terhadap kecenderungan perilaku nakal remaja adalah negatif; (c) ketika
religiusitas meningkat 1 satuan, maka kecenderungan perilaku nakal remaja akan
turun sebesar 0,471 satuan atau dengan kata
lain pengaruh konsep diri terhadap kecenderungan perilaku nakal remaja adalah
negatif; (d) ketika pola asuh islami meningkat 1 satuan maka kecenderungan
perilaku nakal remaja akan turun sebesar 0,136
satuan atau dengan kata lain pengaruh pola asuh islami terhadap kecenderungan
perilaku nakal remaja adalah negatif. Besarnya koefisien regresi religiusitas ini menunjukkan bahwa religiusitas merupakan variabel
yang memiliki pengaruh dominan terhadap kecenderungan perilaku nakal remaja.
Hasil uji hipotesis
menunjukkan bahwa variabel konsep
diri, religiusitas, dan pola asuh islami secara
bersama-sama dapat menjadi prediktor negatif bagi
kecenderungan perilaku nakal remaja. Hal itu dapat dilihat dari nilai R = 0,862, dan nilai
Fregresi = 209,292 (p<0,00). Artinya terdapat hubungan
yang signifikan antara konsep
diri, religiusitas, dan pola asuh islami dengan
kecenderungan perilaku nakal remaja. Ketiga variabel bebas tersebut secara
bersama-sama memberikan sumbangan efektif terhadap kecenderungan perilaku nakal
remaja sebesar 74,3
% (R square = 0,743), berarti 25,7 % sisanya
merupakan faktor lain yang berada di sekitarnya.
Berdasarkan hasil
penghitungan di atas, dapat diketahui juga bahwa variabel belajar konsep
diri, religiusitas, dan pola asuh islami mempunyai
sumbangan yang berbeda-beda terhadap variabel kecenderungan perilaku nakal
remaja.
Pertama, besar sumbangan konsep
diri dalam menurunkan kecenderungan perilaku nakal remaja sebesar 22,80%. Variabel konsep diri berhubungan negatif dengan kecenderungan
perilaku nakal remaja, ditunjukkan dengan nilai
koefisien korelasi partial sebesar -0,414
(p<0,05). Hasil temuan ini mendukung penelitian Hasil penelitian Ling dan Chan (1997) menyatakan
bahwa konsep diri berhubungan dengan kenakalan remaja yang dihubungkan melalui
keharmonisan keluarga. Menurut Shavelson dan Roger (1982),
konsep diri terbentuk dan berkembang berdasarkan pengalaman dan inteprestasi
dari lingkungan, penilaian orang lain, atribut, dan tingkah laku dirinya.
Pengembangan konsep diri tersebut berpengaruh terhadap perilaku yang ditampilkan,
sehingga bagimana orang lain memperlakukan individu dan apa yang dikatakan
orang lain tentang individu akan dijadikan acuan untuk menilai dirinya sendiri ( Mussen dkk, 1979).
Tanggapan positif dari lingkungan
terhadap keadaan remaja akan menimbulkan rasa puas dan menerima keadaan
dirinya, sedangkan tanggapan negatif dari lingkungan akan menimbulkan perasaan
tidak puas pada dirinya dan individu cenderung tidak menyukai dirinya (Sullivan
dalam Rakhmat, 1986) yang nantinya akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran
terhadap peraturan dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Remaja yang
mempunyai konsep diri yang positif akan mampu dan
mengatasi dirinya, memperhatikan dunia luar, dan mempunyai kemampuan untuk
berinteraksi sosial (Beane & Lipka, 1986). Selain itu
remaja yang memiliki konsep diri yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut, yaitu spontan, kreatif dan orisinil, menghargai diri sendiri dan orang
lain, bebas dan dapat mengantisipasi hal negatif serta memandang dirinya secara
utuh, disukai, diinginkan dan diterima oleh orang lain (Combs Snygg dalam
Shiffer dkk., 1977). Sedangkan Coopersmith (dalam Partosuwido, 1992)
mengemukakan karakteristik remaja dengan konsep diri tinggi, yaitu bebas
mengemukakan pendapat, memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai prestasi,
mampu mengaktualisasikan potensinya dan mampu menyelaraskan dengan
lingkungannya, sedangkan remaja yang berkonsep diri negatif atau rendah akan
sulit mengganggap suatu keberhasilan diperoleh dari diri sendiri tetapi karena
bantuan orang lain, kebetulan, dan nasib semata. Remaja
tersebut biasanya mengalami kecemasan yang tinggi (Ames dalam Beane dan Lipka,
1986).
Coopersmith (dalam Partosuwido, 1992)
mengemukan karakteristik remaja yang memiliki konsep diri rendah, yaitu
mempunyai perasaan tidak aman, kurang penerimaan diri, dan biasanya memiliki
harga diri yang rendah. Adanya konsep diri yang tinggi tersebut remaja dituntut
untuk melakukan perbuatan positif yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga
akan mengurangi tingkat kenakalan remaja, dan sebaliknya remaja yang memiliki
konsep diri yang rendah, seringkali melanggar peraturan dan norma-norma yang
ada dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat mengakibatkan terjadinya
kenakalan remaja.
Pada penelitian ini dapat diketahui juga
bahwa mayoritas subyek penelitian mempunyai konsep diri yang tinggi. Hal itu dapat dilihat dari jumlah
subyek yang memiliki konsep diri tinggi berjumlah 180 (81,45%) remaja, dan
sisanya 41 (18,55%) memiliki konsep diri yang sedang. Adanya korelasi negatif
yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan perilaku nakal remaja
menjadi penting artinya, karena konsep diri bukanlah inteligensi, yang tidak
banyak berubah sepanjang rentang kehidupan individu, dan bukan pula
karakteristik personal, yang secara genetik dibentuk sejak awal kehidupan.
Artinya, kalau remaja dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan konsep
dirinya, maka dapat diharapkan kecenderungan perilaku nakal remaja juga akan
menurun.� Konsep diri dapat ditingkatkan
melalui beberapa cara, salah satunya yaitu melalui
peran guru dan orangtua. Guru dan orangtua dapat meningkatkan konsep diri remaja dengan memberikan apresiasi yang positif terhadap perilaku baik yang
dilakukan oleh remaja �(Love & Kruger, 2005).� Mars (2003) berpendapat bahwa konsep diri yang berbeda-beda.
Konsep diri terbentuk dari pandangan remaja terhadap dirinya. Remaja yang
mempunyai konsep diri positif ditandai dengan kemampuan individu di dalam
mengontrol diri dan mengelola faktor- faktor perilaku yang sesuai dengan situasi
dan kondisi lingkungan sosial, sehingga dapat mengurangi perilaku negatif atau
kenakalan pada remaja.
Kemampuan individu di dalam mengontrol
diri dan mengelola� faktor-faktor
perilaku sesuai dengan norma merupakan bentuk ketenangan hati . Hati yang tenang
timbul dalam diri yang tidak reaktif mengahadapi stimulus/aksi ataupun kejadian
yang terjadi dalam kehidupan. Kenakalan remaja merupakan esensi dari perilaku
reaktif. Menurut Tjahjono (2008:15-16) perilaku reaktif menghasilkan dua
perilaku yang sangat merugikan. Pertama;
perilaku spontan yang muncul begitu saja tanpa proses pengendapan. Perilaku
spontan yang muncul merupakan perilaku yang tidak terkonsep dalam diri
seseorang. Berbagai peristiwa kenakalan remaja merupakan perilaku spontan yang
tidak memiliki konsep yang jelas. Tawuran antar remaja, kekerasan, tindak
pidana berat, maupun terjerumusnya remaja dalam narkoba merupakan sejumlah
tindakan yang tidak ada dalam konsep dirinya. Apapun yang tidak terkonsep
dengan baik tidak akan terkelola dengan baik, terlebih perilaku yang tidak
terkendali.
Kedua;
dampak dari perilaku reaktif adalah perilaku lelet/lambat karena seseorang
dikuasai oleh perasaan serba bingung, bimbang, ragu, dan kacau. Perilaku ini
juga berdampak pada kenakalan remaja, sebagai contoh; remaja menjadi apatis dan
hilang kepedulian karena hidupya diselimuti kebingungan dan tanpa memiliki visi
jelas. Setiap respon yang muncul tidak dihadapi namun selalu menghindar.
Melalaikan tugas sekolah, tidak mentaati peraturan, membolos merupakan bentuk perilaku
lelet (tidak proaktif).
Sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa
konsep diri memberi peran terhadap kenakalan remaja memiliki makna bahwa relasi
konsep diri dengan kenakalan remaja berbanding terbalik. Artinya semakin tinggi
konsep diri remaja akan semakin rendah kenakalan remaja. Hal ini memberi premis
bahwa membangun konsep diri merupakan salah satu langkah dalam mereduksi
kenakalan remaja.
Ada beberapa cara untuk membangun konsep
diri (positif). Dalam laman cafemotivasi.com/membangun-konsep-diri-positif/� diuraikan cara-cara membangun konsep diri
(poditf) antara lain:� mencintai
dan meyayangi diri sendiri, mengembangkan pikiran positif, memperbaiki kualitas
hubungan dengan orang lain, bersikap proaktif, dan menjaga keseimbangan hidup.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang mendukung dalam penelitian
ini yang menyatakan bahwa kenakalan remaja disebabkan karena sebagian besar
remaja lalai menunaikan perintah agama (Sudarsono, 2008). Hal
ini juga relevan dengan teori Social Control Theory yang menyatakan bahwa sistem keyakinan akan membimbing apa
yang dilakukan oleh orang-orang dan yang secara universal mengontrol tingkah
laku, tidak peduli apapun bentuk keyakinan yang dipilih. Sejalan dengan
teori tersebut, Daradjat (1995) berpendapat bahwa tingkah laku menyimpang dapat
terjadi karena tingkat religiusitas yang ada dalam diri individu rendah. Senada dengan pendapat Darajdat,
Jalaluddin (2002) mengatakan bahwa nilai-nilai ajaran agama yang diharapkan
dapat mengisi kekosongan batin pada diri remaja terkadang tidak sepenuhnya
sesuai dengan harapan. Dalam situasi bingung dan
konflik batin menyebabkan remaja sulit untuk menentukan pilihan yang tepat,
sehingga peluang munculnya perilaku menyimpang terbuka lebar. Selain hal tersebut, ternyata berdasarkan hasil penelitian Purnama
(2011) menunjukkan bahwa religiusitas dapat mempengaruhi konsep diri individu.
��
E.
Kesimpulan
Kesimpulan
dari penelitian ini adalah:
1. Ketiga variable bebas (konsep diri,
religiusitas, dan pola asuh islami) secara
bersama-sama dapat mempredikasi varibel tergantung (kecenderungan perilaku
nakal)
dan arahnya bersifat negative. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami
maka akan semakin turun kecenderungan perilaku
nakal remaja.
2. Ketiga variabel bebas (konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami) secara bersama-sama memberikan sumbangan efektif terhadap kecenderungan perilaku nakal remaja sebesar 74,3 %
3. Ketiga variabel bebas (konsep diri, religiusitas, dan pola asuh islami) mempunyai sumbangan yang berbeda-beda terhadap variabel
tergantung (kecenderungan
perilaku nakal remaja). Besar sumbangan konsep diri terhadap kecenderungan perilaku nakal remaja sebesar 22,80%, religiusitas 42,35 %, dan pola asuh islami
sebesar 9,15%. Diantara ketiga variabel bebas tersebut, variabel religiusitas
mempunyai peran yang paling besar bagi kecenderungan perilaku nakal remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, A.
& Urbina. S. (1997). Tes psikologi (diterjemahkan oleh Imam). Jakarta: PT Prenhallindo.
Andisti., M. A., & Ritandiyono. (2008). Religiusitas dan
Perilaku Seks Bebas pada Dewasa Awal. Jurnal Psikologi.� 01
(2), 170-176
Azwar, S. (2009a). Reliabilitas
dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Beane, �J.A. dan Lipka, R.P. (1986). Se/f Concept,�� �Self
Esteem �and The Curiculum. Teacher �College
�Press. New York.
Daradjat, Z,
(1995). Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
Gerungan, S.
D. (1991). Psikologi sosial suatu
ringkasan. Bandung : PT. Eresco.
Gunarsa,� �S. �(1988). �Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta
: BPK Gunung Mulia,.
Hurlock,�� �E.B.�� �(1973).�� �Adolescent� �Development� �(4thed). �Tokyo:�� �McGraw-Hillkogakusha Ltd.
Hurlock,�� �E.B,
(1999).� �Psikologi �Perkembangan,
�Suatu
�Pendekatan
�sepanjang
Rentang Kehidupan. (terjemahan). Jakarta: �Erlangga.
Mulyono, Y. B.
(1991). Pendekatan analisis kenakalan
remaja dan penanggulangannya. Yogyakarta: Kanisius.
Mussen,� �P.H ..,
�Conger,� �J.J.,�
�&�
�Kagan,�
�J. �(1979).�
�Child� �Development�� �and Personality. �(fifth edition).
New york: Harperand �Row Publisher.
Santrock,
J. W.� (2003) Adolescence Perkembangan Remaja, Editor: Adelar, S., & Saragih,
S. Jakarta: Penerbit Erangga.
Sarwono,� �S.W. �(2002). �Psikologi� �Remaja. �Edisi �Enam.
�Jakarta:
�Raja
�Grafmdo
Persada.
Shavelson,� �B.J.�
�&
Roger,� �B. �(1982).� �Self-Concept:�� �The �Interplay� �of �Theory Methods. �Journal �of Educational �Psychology, �Vo 1. 72, No.1, �p.3-17
Simandjuntak
(1984). Latar belakang kenakalan remaja. Bandung:
Alumni.
Soemarno, D.
(1998). Buku reformasi pendidikan:
Mencegah kenakalan remaja antar pelajar. Jakarta: Yayasan Penerus
Nilai-nilai Perjuangan 1945.
Soetjiningsih.
(2004). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahanya. Jakarta: PT. Rhineka
Cipta.
Ulwan, A, N (2009). Mencintai dan Mendidik Anak
Secara Islam, Yogyakarta: Darul Hikmah.
Zastrow,
Charles. (1982), Introduction to social
welfare instutions: soscial problem services, and current issues. Ilinois : The Dorsey
[1] Zastrow, Charles. Introduction To Social Welfare Instutions: Soscial Problem Services, And Current Issues (Ilinois : The Dorsey., 1982), hlm.672
[2] Santrock, J. W. Life Spant Development. (Boston: �Mac Graw- Hill, 1999). Hlm. 22. Lihat pula dalam, Kartono. Psychology Wanita (Wanita �Sebagai Ibu dan Anak), Jilid 2. (Bandung: �Rosda �Karya, 2003), hlm.375
[3] Zastrow, Charles. Introduction to social welfare instutions: soscial problem services, and current issues(Ilinois : The Dorsey., 1982), hlm.672
[4]Shavelson dan Roger� �Self-Concept:�� �The �Interplay� �of �Theory Methods. �Journal �of Educational �Psychology, �Vo 1. 72, No.1, �p.3-17
[5]Mussen,� �P.H .., �Conger,� �J.J.,� �&� �Kagan,� �J. �(Child� �Development�� �and Personality. �(fifth edition). New york: Harperand �Row Publisher. 1979), hlm.1
[6]Beane, �J.A. dan Lipka, R.P.Se/f Concept,�� �Self Esteem �and The Curiculum. (Teacher �College �Press. New York, 1986), hlm. 130
[7] Andisti., M. A., & Ritandiyono. Religiusitas dan Perilaku Seks Bebas pada Dewasa Awal. (Jurnal Psikologi, 2008).� 01 (2), 170-176
[8] Ulwan, A, N . Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islam, (Yogyakarta: Darul Hikmah, 2009). Lihat juga dalam Rahman, F,.. Tema-Tema Pokok Al-Quran. (Bandung: Penerbit Pustaka, 2005)
[9] Hurlock.� �Psikologi �Perkembangan, �Suatu �Pendekatan �sepanjang Rentang Kehidupan. (terjemahan). (Jakarta: �Erlangga, 1999), hlm. 206
[10] Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Gunung Agung, 1995), hlm. 22
[11] Gunarsa, Singgih D. Psikologi Perkembangan (Jakarta: Gunung Mulia, 1988), hlm. 7
[12] Gerungan, S. D. Psikologi sosial suatu ringkasan. (Bandung : PT. Eresco, 1991), hlm. 198
[13] Simandjuntak. Latar belakang kenakalan remaja. (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 54
[14] Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahanya. (Jakarta: PT. Rhineka Cipta,�� 2004) hlm. 72
[15] Lih. Mulyono, Y. B. Pendekatan analisis kenakalan remaja dan penanggulangannya. Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 22
[16]
Lih. Soemamo, D. (1998). Buku reformasi pendidikan: Mencegah
kenakalan remaja antar pelajar. Jakarta: Yayasan Penerus
Nilai-nilai Perjuangan 1945.
[17] Lih. Sarwono, S.W. Psikologi� �Remaja. �Edisi �Enam. �(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 207
[18] Simandjuntak, op.cit, hlm. 46
[19] Azwar, S. . Reliabilitas dan validitas.( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009a)
[20]
Anastasi, A. & Urbina. S.� Tes psikologi (diterjemahkan oleh Imam). Jakarta: PT Prenhallindo,
1997)