URGENSI PROFILE IBU
DALAM PENDIDIKAN ANAK
DI KELUARGA
Nurfuadi
(Dosen STAIN
Purwakerto)
Abstrak
Keluarga
adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika
suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan
baik pula. Jika tidak, tentu akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut.
Peranan ibu dalam keluarga amat penting, dialah yang mengatur dan� membuat rumah tangganya menjadi surga bagi
anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya.
Sebagai ibu semestinya bijaksana dan mampu mendidik anak dengan baik dalam
menuju anak yang soleh dan solihah, tahu hak dan kewajibannya yang telah
ditentukan oleh agama.
Key Word:
Peran
ibu, keluarga, pendidikan anak
A.
Pendahuluan
Mengingat tugas untuk
mendidik anak-anak dibebankan tanggung jawabnya pada kedua orang tua dan juga
menjadi amanat yang dipikulkan di atas pundak para murabbi, kelak Allah
akan meminta pertanggungjawabannya dari mereka pada hari Kiamat. Sebenarnya masing-masing orang di
antara kita adalah pemimpin dan kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban
atas kepemimpinan kita. Oleh karena itu, kita melihat para murabbi
senantiasa dalam kebingungannya menghadapi tanggung jawab ini, bahkan
adakalanya benar-benar melelahkan pikiran mereka. Bagaimana mereka dapat meraih
keberhasilan mendidik anak-anak mereka yang beraneka ragam kecenderungan dan
keinginannya, terlebih lagi dengan banyaknya rintangan dan hambatan yang menghalangi menuju arah pendidikan yang benar.
Apakah yang dapat
dilakukan oleh kedua orang tua bila anak laki-laki atau anak perempuannya masih
juga belum mau bersikap disiplin terhadap pengarahan yang diberikan oleh
keduanya? [1].� Dan sejauh mana peran keluarga khususnya
seorang Ibu dalam memberikan kontribusi dan perhatiannya pada masa depan
pendidikan anak, di mana anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga
merupakan barometer awal yang� sangat
menentukan akan terciptanya masyarakat maju atau tidaknya. Oleh karena itu
pendidikan dalam keluarga mempunyai peranan yang sangat penting.
Pendidikan mempunyai
peran yang sangat urgen untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan
suatu bangsa. Pendidikan juga menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa, dan
menjadi cermin kepribadian masyarakatnya. Dalam konteks ini Mohammad Noer Syam
dalam bukunya Filsafat Pendidikan, mengemukakan bahwa:
�Hubungan
masyarakat dengan pendidikan menampakkan hubungan korelasi positif. Artinya,
pendidikan yang maju dan modern akan menghasilkan masyarakat yang maju dan modern
pula. Sebaliknya pendidikan yang maju dan modern hanya ditemukan dan
diselenggarakan oleh masyarakat maju dan modern�.[2]
Suatu masyarakat bisa dikatakan maju
dan modern idealnya harus dimulai dari suatu perkawinan yang sehat.
Perkawinan dalam
kehidupan manusia merupakan salah satu kebutuhan dasar. Perkawinan merupakan
pintu gerbang menuju kehidupan dalam masyarakat. Salah satu dari tujuan
perkawinan adalah agar suami-istri dapat hidup serumah dengan mawaddah wa
rahmah �[3].� Kehidupan rumah tangga yang mawaddah wa
rahmah inilah yang selalu didambakan dan sekaligus menjadi tujuan setiap
pasangan suami-istri.� Oleh sebab itu
keadaan mawaddah wa rahmah perlu diciptakan dan dibangun dalam setiap
rumah tangga, karena sebagai tiang penyangga dan kunci bagi keberlangsungan dan
kebahagiaan berumah tangga.
Kehidupan rumah tangga
sangat ditentukan oleh hubungan suami-istri sebagai unsur utama.� Kebahagiaan, ketentraman, kedamaian, atau
malah sebaliknya dalam suatu rumah tangga sangat dipengaruhi dan ditentukan
oleh pola interaksi antara keduanya, di samping tentunya tidak menutup
kemungkinan adanya pengaruh lingkungan di luar rumah.� Namun yang sangat dominan menjadi faktor
penentu kehidupan sebuah rumah tangga adalah bagaimana relasi antara
suami-istri berjalan, khususnya dalam hubungan antar pribadi sebagai dua
manusia yang telah terikat dalam ikatan perkawinan untuk menempuh kehidupan
berumah tangga. Oleh karena itu, untuk melihat suatu rumah tangga dalam keadaan
mawaddah wa rahmah itu dapat dilihat dari bagaimana pola komunikasi hak
dan kewajiban di antara keduanya terjalin.�
Hal ini tentunya banyak yang dapat dijadikan indikator pengaruh dalam
pola interaksi dalam keluarga.� Dari
sinilah tentunya� yang akan mengantarkan
suatu keluarga berada dalam kehidupan mawaddah wa rahmah.[4]
Dalam rangka menuju
keluarga yang mawaddah wa rahmah tersebut, maka hubungan suami-istri
pada umumnya sudah dimulai sejak mereka sebelum mengikatkan diri dalam sebuah
ikatan perkawinan.� Di sini
laki-laki-perempuan biasanya telah saling mengenal� (ta�aruf) antara satu dengan
lainnya.� Maka Islam dalam hal ini telah
memberikan bimbingan dengan adanya tuntunan cara memilih jodoh.� Lebih dari itu, dalam rangka melakukan
penjajagan antara laki-perempuan yang akan menikah, Islam memberikan tuntunan
melalui proses peminangan, dengan tujuan agar mereka mengenal lebih dekat.� Inilah beberapa proses pendahuluan menuju
gerbang perkawinan.
Setelah mereka terikat
dengan tali ikatan perkawinan, maka Islam juga memberikan petunjuk-petunjuk dan
pedoman dalam mengarungi kehidupan keluarga, apa yang seharusnya dilakukan dan
bagaimana sebaiknya komunikasi antara suami istri selama dalam ikatan
perkawinan.� Hubungan suami istri ini
akan sangat menentukan kualitas dan pencapaian tujuan dalam kehidupan rumah
tangga.� Kalau kualitas hubungan
suami-istri itu baik atau harmonis, maka tujuan perkawinan akan
tercapai.� Kehidupan keluarga yang mawaddah
wa rahmah pun akan bisa terwujud.�
Begitu sebaliknya, jika hubungan suami istri yang tidak harmonis, penuh
dengan konflik, maka cita-cita hidup berumah tangga yang mawaddah wa rahmah
sulit dicapai.� Oleh sebab itu,� Islam dalam hal ini banyak memberikan aturan
tentang kehidupan berumah tangga, baik dalam al-Qur�an maupun al-Hadits.� Secara khusus Rasulullah memberikan tuntunan
tentang pola hidup berumah tangga yang mawaddah wa rahmah.� Melalui haditsnya, Rasulullah memberikan
beberapa kunci kehidupan rumah tangga yang mawaddah wa rahmah.�
Namun sayangnya, dengan
adanya hadits ini kemudian disalahpahami oleh masyarakat muslim, khususnya
laki-laki (suami).� Istri salihah
dianggap sebagai �hiasan� meski sangat berharga.� Istri salihah sebagaimana dalam hadits Nabi
adalah hiasan paling indah dalam kehidupan dunia.� Di sini istri diposisikan ibarat �benda� (kekayaan) yang dimiliki
oleh suami, seperti halnya kekayaan benda yang lain. Bias pemahaman inilah yang
justru malah dikedepankan dan disosialisasikan ke segenap masyarakat
muslim.� Seharusnya menempatkan istri
(perempuan) pada posisi yang mulia sebagai seorang manusia seperti halnya suami
(laki-laki) yang tidak sekedar kekayaan atau hiasan.� Padahal istri adalah �pasangan hidup� suami,
tentunya dalam posisi yang sama dengan suami. Ia tidak bisa disebandingkan
dengan benda atau kekayaan yang bersifat materi.
Bias pemahaman ini dipertajam
dengan adanya beberapa hadits Nabi yang terkait dengan siapa dan bagaimana
identitas mar�ah salihah.� Para
suami (laki-laki) mendapatkan legitimasinya dengan mendasarkan kepada
hadits-hadits tersebut secara tekstual-noormatif.
Dengan
dalih haditsnya cukup banyak dan shalih kualitasnya, dengan �apologi� pemahaman
yang bias dan tekstual, sehingga dalam menyikapi hadits-hadits tersebut dalam
kaitannya dengan hubungan suami-istri, suami merasa berada posisi yang �di
atas� (sebagai pemilik kekayaan, perhiasan, sebagai �tuan besar� dan dengan
kelebihan-kelebihan lainnya).� Sedangkan
istri diposisikan sebagai �objek� dan berada pada posisi �di bawah� suami.� Hadits-hadits tentang mar�ah salihah
inilah yang �menjerat� perempuan (istri) sebagai akibat dari pemahaman yang
bias, dan sosialisasi yang berhasil dilakukan oleh kaum laki-laki (suami) untuk
membentuk opini masyarakat tentang status istri salihah.[5]
B. Pembahsan
1.
Urgensi Keluarga Dalam Pendidikan
Anak
Keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil
sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada di masyarakat. Sebagai satuan
terkecil, keluarga merupakan miniatur dan embrio berbagai unsur sistem sosial
manusia. Suasana keluarga yang kondusif akan menghasilkan warga masyarakat yang
baik karena di dalam keluargalah seluruh anggota keluarga belajar berbagai
dasar kehidupan bermasyarakat. Perkembangan peradaban dan kebudayaan, terutama
sejak iptek berkembang secara pesat, telah banyak memberikan pengaruh pada
tatanan kehidupan umat manusia, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Kehidupan keluarga pun, banyak mengalami perubahan dan berada jauh dari
nilai-nilai keluarga yang sesungguhnya. Dalam kondisi masa kini, yang ditandai
dengan modernisasi dan globalisasi, banyak pihak yang menilai bahwa kondisi kehidupan
masyarakat dewasa ini khususnya generasi mudanya dalam kondisi mengkhawatirkan,
dan semua ini berakar dari kondisi kehidupan dalam keluarga. Oleh karena itu,
pembinaan terhadap anak secara dini dalam keluarga merupakan suatu yang sangat
mendasar. Pendidikan agama, budi pekerti, tatakrama, dan baca-tulis-hitung yang
diberikan secara dini di rumah serta teladan dari kedua orang tuanya akan
membentuk kepribadian dasar dan kepercayaan diri anak yang akan mewarnai
perjalanan hidup selanjutnya. Dalam hal ini, seorang ibu memegang peranan yang
sangat penting dan utama dalam memberikan pembinaan dan bimbingan (baik secara
fisik maupun psikologis) kepada putra-putrinya dalam rangka menyiapkan generasi
penerus yang lebih berkualitas selaku warga negara yang baik dan bertanggung
jawab termasuk tanggung jawab sosial.[6]
�Keluarga merupakan bagian penting dan
mendasar dalam kehidupan manusia.�
Sekalipun berbeda bentuk dan gambarannya bagi tiap-tiap komunitas, namun
pandangan orang tentang pentingnya keluarga tidak terbantahkan.� Kehadiran sebuah keluarga adalah suatu
kebutuhan yang tidak bisa tergantikan dengan hal lain.� Itu berarti, penentangan terhadap adanya
sebuah keluarga termasuk sikap yang keliru, karena sama dengan berupaya
mengubah apa yang telah digariskan dan menyembunyikan kebenaran.
Orang-orang yang menjalani pola kehidupan terasing
(tertutup) dari masyarakatnya akan menuai penderitaan bagi diri mereka sendiri
dan mendatangkan penyakit pada masyarakatnya.�
Sebuah keluarga adalah tuntutan yang muncul dari hati nurani.� Tanpa nurani dan kebenaran, manusia tidak
akan hidup bahagia.� Seorang yang tidak
tumbuh dalam sebuah keluarga akan menanggung aib yang berkepanjangan selama
hidupnya.
Ia akan merasa haus kasih sayang, rindu akan
kebahagiaan dalam pelukan sayap sebuah keluarga.� Ini merupakan sebagian alasan mengapa hidup
dalam keluarga begitu penting, dan tidak bisa diganti dengan apa pun.� Agama Islam menganjurkan untuk membentuk keluarga
dan hidup di bawah naungannya.� Karena
keluarga merupakan gambaran sebuah kehidupan dalam arti yang sebenarnya, yang
akan menjawab keinginan-keinginan manusia serta memenuhi keperluannya.
Keluarga adalah suratan takdir (fitrah) yang
diridhai Allah untuk kehidupan manusia.�
Firman Allah:
�Dan
sungguh telah kami utus para Rasul sebelum kamu (wahai Muhammad) dan kami untuk
mereka istri dan keturunan.�[7]
Jadi, kehidupan manusia yang sebatang kara, terasing
di tengah gurun kehidupan sendiri melawan kerasnya terjangan problem, tidaklah
dikenal dalam Islam.� Sebab, pada
dasarnya secara fitrah seseorang membutuhkan keluarga dan tempat bernaung yang
menyejukkan.� Kehidupan tidak harus
dijalani seorang diri, saling melengkapi dan saling mengisi, itulah yang
dibutuhkan dalam hidup.� Bersama-sama
menanggung beban menghadapi berbagai kesulitan, itu semua tidak akan terjadi
tanpa adanya sebuah keluarga.
Itulah fitrah (alur) kehidupan dan orang-orang yang
hidup menjalaninya, manusia dituntut untuk menghargainya dan berjalan dalam
petunjuknya.� Firman Allah:
�Fitrah
Allah itulah yang telah dengannya Dia menciptakan manusia, tidak ada perubahan
pada penciptaan Allah[8].
Ajakan Islam untuk hidup dalam keluarga dan
tawarannya untuk membina keluarga memunculkan fungsi-fungsinya yang luhur,
selain itu memperjelas konsekuensi sosial yang akan diterima seseorang bila ia
hidup sendirian atau dalam masyarakat.�
Keluarga merupakan nikmat Allah dan salah satu tanda kebesaran-Nya,
Allah telah menyiapkan nikmat itu untuk hamba-hamba-Nya memilihkannya untuk
mereka agar hidup menjadi lebih berarti dan lebih jernih.
Keharmonisan dan keindahan yang muncul dalam
atmosfer keluarga adalah santapan yang tak pernah memuaskan dahaga jiwa, serta
tidak akan terpenuhi oleh hal yang lain, itu adalah salah satu alasan yang
menjadikan sebuah keluarga sebagai suatu nikmat atau fasilitas yang memberikan
perlindungan terhadap segala kesulitan.�
Alasan itu pula yang menjadikannya sebagai suatu anugerah seperti
makanan dan minuman seperti halnya dalam firman Allah:
�dan
Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu, dan memberimu rezeki yang
baik.� [9]
Manusia membutuhkan nikmat itu dalam setiap setiap
tahap usianya.� Seorang anak semestinya
tumbuh dalam sebuah keluarga, kalau tidak ada akan tumbuh tanpa kasih sayang
dan akan menjadi liar.� Kebutuhannya pada
ayah dan ibu adalah kebutuhan mendasar yang tidak akan bisa dipenuhi dengan
perlindungan atau jaminan lainnya.�
Begitulah, seseorang akan selalu membutuhkan keluarga, baik dia seorang
remaja, seorang dewasa apa lagi bila telah tua, tidak akan ada pemeliharaan
sebaik keluarga.� Nurani tak akan
merelakan nikmat itu digantikan dengan hal lain.
Negara dan lingkungan yang mengarahkan anak-anak
dalam masa-masa awal perkembangan mereka tidak dimaksudkan kecuali untuk
memberikan apa yang tidak diberikan oleh keluarga, atau untuk mencegah
kekerasan yang terjadi dalam keluarga dan menjalankan fungsi keluarga.� Namun sulit dipastikan, bahwa ketika
lembaga-lembaga ini diharapkan untuk menggantikan fungsi keluarga, dapat
memberikan perlindungan dan kasih sayang seperti yang diberikan oleh rumah.
Keluarga memiliki peranan besar dalam rangka
mendidik perilaku, kecenderungan, serta keagamaan dalam seluruh tahap
perkembangan anak.� Bahkan, untuk
masa-masa selanjutnya.� Pada
bangsa-bangsa yang lembaga pendidikannya memberlakukan sistem netral dalam
urusan agama dan perilaku keagamaan, seperti Perancis dan bangsa-bangsa yang
mengikuti model seperti itu, maka lepaslah tanggung jawabnya dari segala hal
yang berhubungan dengan kedua aspek tersebut.�
Pada negara-negara tersebut, beban pendidikan keagamaan terletak
seutuhnya di pundak keluarga.
Dengan �hidup dalam keluarga� membentuk ruh jiwa
kekeluargaan dan perasaan ikatan yang berbeda-beda pada
individu-individunya.� Lalu tumbuhlah
kecenderungan awal bagi kehidupan sosial-masyarakat yang teratur.� Keluargalah yang memoles seorang anak menjadi
manusia beradab dan membekalinya dengan sikap dan kecenderungan-kecenderungan
yang dibutuhkan di dalam hidup bermasyarakat atau rumah tangga.[10]
Oleh sebab itu, maka peranan keluarga tidak bisa
disepelekan begitu saja, mengingat masa depan seorang anak tidak lepas dari
sejauh mana perhatian seorang anak didalam keluarga baik dari bapak sebagai
kepala rumah tangga maupun peran seorang ibu dalam memenuhi hak dan
kewajibannya kepada anak terutama untuk menentukan masa depan pendidikan anak.
Berbicara mengenai hak, kata Faqihuddin Abdulkodir
dari fahmina Institute, pasti disisi lain ada kewajiban. Relasi orangtua dan
anak, mengenai hak dan kewajiban dalam mereka dalam islam, adalah seperti yang
digambarkan hadis Nabi Muhammad Saw: �Tidak termasuk golongan umatku, mereka
yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan mereka yang (muda) tidak menghormati
yang tua�.[11]
Jadi, kewajiban orang tua adalah menyayangi dan haknya adalah memperoleh
penghormatan. Sebaliknya, kewajiban anak adalah penghormatan (dan tentu
ketaatan) dan haknya adalah memperoleh kasih-sayang, idealnya prinsip ini tidak
bisa dipisahkan.
Artinya, seseorang diwajibkan menghormati jika memperoleh
kasih-sayang. Dan orang tua diwajibkan menyayangi jika memperoleh penghormatan,
ini timbal balik, jika yang satu harus menunggu yang lain tak ubahnya
mempersoalkan adanya telur dan ayam. Tidak ada satu pun yang memulai untuk
memenuhi hak yang lain.
Padahal biasanya, seseorang memperoleh hak jika
telah melaksanakan kewajiban.� Karena
itu, yang harus didahulukan adalah kewajiban.�
Tanpa memikirkan hak yang mesti diperoleh.� Orang tua seharusnya menyayangi, dengan
segala perilaku, pemberian dan perintah kepada anaknya, selamanya.� Begitu juga anak harus menghormati dan
memuliakan orang tuanya, selamanya.
Beginilah cara Al-Qur�an dan hadits-hadits
menjelaskan mengenai kewajiban anak terhadap orang tua.� Mereka harus berbuat baik, mentaati dan tidak
berkata buruk atau sesuatu yang menyakitkan hati kedua orangtua. �Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.�
Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan �ah� dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia�. [12]
Karena kedua orang tua, terutama ibu telah mengawali melakukan kewajiban dengan
kasih sayang yang dilimpahkan.
Sejak anak masih berupa bayi, bahkan masih janin
dalam kandungan hingga melahirkan, menyusui, merawat, mendidik dan menafkahi
dalam dera susah dan gundah, sang ibu telah mengawalinya. Itu merupakan bentuk
kasih sayang dari kedua orang tua (QS. Luqman, 31:14 dan QS al-Ahqaf,
46:15).� Jadi tinggal anak yang
berkewajiban untuk menghormati dan memuliakan kedua orangtuanya.
Jika seorang anak tidak melakukan penghormatan, maka
ia disebut anak durhaka. Ini merupakan dosa besar, yang diancam masuk
neraka.� Dalam suatu hadits disebutkan: �Diantara
dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada orangtua, membunuh
dan menyatakan sumpah palsu�. [13]
Dalam teks hadits lain, Nabi Saw pernah menyatakan secara eksplisit bahwa
durhaka itu haram, dan bisa mengakibatkan seseorang su�ul khotimah (meninggal dalam keadaan sesat).
Tetapi ketaatan tentu ada syaratnya, yang utama
adalah bahwa sesuatu yang diperintahkan kedua orang tua bukan merupakan
kemaksiatan.�Tidak berlaku ketaatan untuk hal-hal berupa kemaksiatan kepada
Allah Sang Pencipta�[14].� Syarat yang lain, perintah itu tidak untuk
menyengsarakan atau mencederai hak-hak kemanusiaan anak.� Jika si anak merasa disengsarakan dengan
perintah tersebut, ia berhak menolak.�
Tetapi tentu dengan bahasa yang santun, sopan dan baik.� Dalam suatu hadits yang diriwayatkan Aisyah
ra, jika orang tua dan anak berselisih pendapat mengenai pernikahan maka wali
hakim yang harus melerai dan memutuskan.
Artinya, tidak serta merta orang tua berhak memaksa
dan anak harus mengikuti.� Dalam hadits
yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa�i bahwa ketika
seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa oleh orang
tuanya dalam perkawinannya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya. Mau
diteruskan atau dibatalkan. Tidak dikembalikan kepada orangtuanya.� Dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw
menyatakan kepada Khansa ra:�Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang
yang kamu kehendaki.� Khansa pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya,
yaitu Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir ra.�
Dari perkawinan ini ia dikaruniai anak bernama Saib bin Abu
Lubabah.� Artinya orangtua juga tidak
harus memaksakan terhadap anak, jika benar mereka berangkat dari kasih sayang.
Si anak juga tidak mudah menentang orang tua, jika mereka benar ingin
memberikan penghormatan. Kasih sayang dan penghormatan harus dilakukan secara
timbal balik. Mungkin, anak durhaka tidak akan pernah ada, jika ia hidup dalam
kasih sayang.� Dan orangtua yang durhaka
juga tidak akan pernah ada jika sejak kecil ia telah memperoleh kasih sayang
dan waktu besar mendapat penghormatan dan kemuliaan. Keluarga yang penuh dengan
kasih sayang dan penghormatan satu sama lain, adalah keluarga bahagia yang
digambarkan Al-Qur�an dalam surat Ar-Rum, keluarga mawaddah, rahmah dan
sakinah.[15]
2.
Kasih Sayang Ibu Pada Anak
Cinta penuh pengertian seorang ibu merupakan sebuah
hak yang tak dapat dicabut dari seorang anak. Setiap bayi dilahirkan untuk
disambut dengan kedua belah tangan si ibu, mempunyai hak untuk mendapatkan
kasih sayang, pemeliharaan, dan perawatan yang lembut. Tetapi, seperti yang
telah acap kali dibuktikan oleh para orangtua angkat, bayi akan mau pula
menerima perawatan dari siapa pun yang bersedia mencintai dan merawatnya dengan
setia. Para ibu yang bekerja telah lama memperjuangkan dan lambat laun
mendapatkan hak cuti panjang sehingga dapat melakukan tugas mereka sebagai ibu
yang memenuhi tuntutan si bayi. Hak bayi untuk�
mendapatkan seorang ibu barang kali lebih tepat kalau diisi oleh seorang
wanita yang telah biasa bekerja di pusat perawatan bayi, seorang baby sitter,
seorang anak keluarga yang menyayangi anak, atau oleh ayahnya sendiri yang
karena sesuatu hal tidak mempunyai pekerjaan.
Waktu yang digunakan seorang ibu dan anaknya untuk
berkumpul ternyata lebih ditentukan oleh kualitas daripada �kuantitasnya�. Hal
ini benar, terutama bila si ibu dibebani oleh banyaknya tugas perawatan si anak
serta tugas rumah tangga yang lain yang harus diselesaikannya. Seorang ibu
rumah tangga yang selalu berada di rumah barangkali memiliki �kualitas waktu�
yang kurang di dalam bergaul dengan anak-anaknya bila dibanding dengan ibu yang
bekerja di luar rumah. Nyatalah bahwa pekerjaan tidaklah selalu menyebabkan tugas
dan kewajiban di rumah menjadi terbengkelai. Pekerjaan di luar rumah dapat
menumbuhkan kebebasan dan ekspresi diri bagi para ibu, selain pula untuk
menghilangkan kejemuan.[16]
Jika merujuk kepada berbagai eksperimen yang
dilakukan para psikolog atas jenis berbagai hewan, yang bertujuan untuk
mengetahui interval waktu kekuatan motivasi yang ada pada hewan-hewan tersebut,
maka kita dapat menyimpulkan bahwa �sifat keibuan�merupakan motivasi kehewanan
pada umumnya.� Beberapa perangkat ilmiah
canggih digunakan untuk mengetahui sistem motivasi yang ada pada dua ekor
tikus.� Kesimpulannya, dorongan sifat
keibuan lebih kuat dibanding rasa haus, lapar, kebutuhan seksual, dan rasa
ingin tahu (curiosity).
Tidak diragukan, bahwa dorongan keibuan yang
mengikat ibu dengan anaknya sejak awal merupakan dorongan instinktif yang
berhubungan erat dengan sejumlah kebutuhan organik dan fisiologis.� Buktinya, ibu selalu mengalami kontak batin
dengan anak-anaknya yang masih kecil dan membutuhkan perlindungannya.� Tetapi ketika hewan kecil mampu melepaskan
diri dari ibunya dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan utamanya, maka dorongan
keibuan mulai melemah untuk tidak mengatakan hilang sama sekali.
Bentuk sifat keibuan sendiri berbeda-beda, sesuai
dengan perbedaan jenis hewan.� Tetapi secara
umum dapat dikatakan bahwa dorongan keibuan pada hewan hanya merupakan dorongan
yang bersifat instinktif yang menggambarkan proses fisiologis tertentu.� Sedangkan pada manusia, dorongan keibuan
sampai batas yang besar merupakan proses psikologis yang berkaitan erat dengan
faktor kesan yag tidak terbatas dari kompleksitas.� Tidak ada persamaan antara dua bentuk
dorongan tersebut, kecuali karena keduanya merupakan bagian dari fungsi
reproduksi atau fungsi pertumbuhan.
Meskipun demikian, perubahan instink keibuan
menjadi cinta atau kasih sayang adalah satu hal yang tidak ada bandingannya,
paling tidak secara lahiriah pada berbagai jenis hewan.� Barangkali itulah rahasianya kenapa sejumlah
perilaku instinktif hewan seringkali bersifat kasih sayang yang hampir sama
dengan bentuk perilaku manusia.� Tetapi
meskipun demikian, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perilaku induk hewan
dipengaruhi oleh beberapa proses hormon.�
Dan berbagai upaya terus dilakukan untuk menentukan jenis hubungan
semacam itu pada manusia yang berjenis kelamin wanita.
Pada saat itu, kita mengalami kesulitan untuk
menjelaskan sampai sejauh mana sikap motherliness� semata-mata merupakan faktor fisiologis
murni.� Memang asal-usul sifat keibuan
adalah suatu kondisi fisiologis tertentu, tetapi yang pasti ada beberapa faktor
non gen yang mempengaruhi faktor biologis.�
Begitulah �cinta ibu� bercampur aduk dengan berbagai faktor seperti
faktor biologis, sosiologis, dan peradaban sebagaimana berbagai eksperimen
individu mempengaruhi �emosi� tersebut, sehingga berubah menjadi
struktur emosi yang sangat kompleks.
Jelas sekali, bahwa hubungan awal yang terjadi
antara ibu dan anaklah yang mendorong sebagian orang berpendapat bahwa
asal-usul �keluarga� manusia adalah �masyarakat� biologis yang bersifat
miniatur tersebut.� Hal itu disebabkan
karena sentimental kolektif dan tingkat kemampuan individu untuk menyesuaikan
diri secara sosial di tengah-tengah masyarakat saat ini bergantung pada
hubungan dini antara anak dan ibu.�
Bahkan, jika pada suatu saat para peneliti berhasil membuktikan bahwa
�sifat keibuan�merupakan akibat komulatif dari berbagai persyaratan hormonal,
fisiologis, dan instink maka fakta tersebut tetap saja tidak dapat mempengaruhi
pandangan fisiologis kita tentang �sifat keibuan�.
Ciri khas wanita yang feminin adalah seadanya
semacam asimilasi atau keseimbangan antara kecenderungan narcissisme
atau masochisme pada dirinya.�
Tidak ada pertentangan antara tendensi narcissime dan perasaaan
keibuan pada seorang wanita.� Karena
tendensi narcissime tunduk terhadap mekanisme perubahan, sehingga
tendensi tersebut berpindah dari �aku� ke�anak�.� Tetapi harus kita ingat, meski perubahan altruistik
terjadi pada wanita, tetapi unsur-unsur narcissisme tetap saja
berlangsung.
Seringkali faktor yang mengikat cinta ibu terhadap
anaknya dengan realitas yang penting adalah karena ibu menyiapkan dirinya
secara mutlak untuk kehidupan anaknya.�
Kehangatan cinta ibu yang narcissistic mulai melemah ketika
anak-anaknya tidak membutuhkannya lagi.�
Tetapi biasanya ibu yang narcissistic sering merasa resah dengan
kerasnya lingkungan terhadap anak-anaknya.�
Selain itu, ia berupaya untuk mendampngi anaknya dan menjauhkannya dari
berbagai halangan yang biasa dialami orang banyak. Sedangkan unsur masochisme
pada �sifat keibuan� secara khusus terlihat pada kesiapan sang ibu untuk
mengorbankan dirinya tanpa mengharapkan balasan atau ganjaran dari sang anak.
Serta, pada saat yang bersamaan ia rela menanggung derita dalam bekerja demi
ketenangan anak-anaknya.
Barangkali ciri paling penting yang membedakan sifat
keibuan pada manusia adalah, bahwa cinta ibu terhadap anaknya tidak berkaitan
dengan tahapan tertentu di saat anak sedang membutuhkan ibunya, tetapi cinta
sang ibu selalu terkait dengan anaknya sampai usia dewasa dan melepaskan diri
dari ibunya.� Ketika membicarakan tentang
kasih sayang tersebut, maka yang kita maksudkan adalah cinta ibu terhadap
anaknya menutupi seluruh aunsur agresif dan seksual yang ada pada cinta.� Sebab, tendensi agresivitas yang ada pada ibu
beralih ke lingkungan tempat tinggal anaknya, sehingga ia melakukan pembelaan
terhadap anaknya.� Sebagaimana tendensi
seksual yang ada pada wanita juga berubah menjadi rasa cinta dan kasih sayang,
atau terlihat pada belaian kasih sayang, perhatian dan perlindungan ibu
terhadap anaknya yang masih kecil.[17]
Sungguh, hak orang tua adalah perjanjian abadi yang
diberi penguat oleh Allah, dan Allah selalu mengulanginya untuk memberikan
wasiat serta melaknat orang yang menentang wasiyat tersebut. Allah befirman: �
Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji Bani Israil; agar tidak menyembah
Tuhan kecuali Allah dan kepada orang tua hendaklah berbuat baik.�.[18]
Demikianlah, penghormatan �kepada
kedua orang tua diagungkan. Sedangkan membuat orang tua dan mengingkari
kebaikan mereka, adalah dosa besar yang tidak pantas dilakukan seorang muslim.
Sebab, perbuatan dekat dengan syirik kepada Allah. Nabi bersabda: � Apakah
kalian mau akau kabarkan dosa yang paling besar? Itulah syitik kepada Allah dan
durhaka kepada ibu bapak.� (HR. Bukhari).[19]
Perhatian, belaian kasih sayang seorang ibu ternyata
begitu besar peranannya, hanya saja kadang sebagai anak tidak mau menyadari
akan jasa orang tua dalam mendidik dan mengarahkan masa depan anak tanpa
mengenal lelah atau minta imbalan apapun, akan tetapi sebaliknya ada saja anak
yang berbuat durhaka kepada orang tua khususnya pada ibu kita sendiri yang
jelas-jelas bisa menjadi tauladan bagi kita yaitu ibu yang solihah.
Oleh karena itu, berbahagialah anak yang lahir dan
dibesarkan oleh ibu yang saleh, penyayang dan bijaksana. Karena pertumbuhan
kepribadian anak terjadi melalui seluruh pengalaman yang diterimanya sejak
dalam kandungan. Ibu yang baik, saleh dan penyayang sejak semula, sebelum
mengandung ia telah memohon kepada Allah agar dikaruniai anak yang saleh, yang
berguna bagi bangsa, negara dan agamanya. Bila ia mulai mengandung, hatinya
gembira menanti kelahiran bayinya. Sejak dalam kandungan, janin itu mendapat
pengaruh yang menyenangkan dan menjadi unsur positif dalam kepribadiannya yang
akan bertumbuh kelak. Waktu dalam kandungan, janin mendapat pengaruh sikap dan
perasaan ibu terhadapnya, melalui saraf-saraf pada rahim ibu. Maka sikap
positif ibu terhadap janin, dan ketenteraman batinnya dalam hidup, menyebabkan
saraf-saraf bekerja lancar dan wajar, karena tidak ada kegoncangan jiwa yang
menegangkan. Hubungannya dengan suaminya baik, dengan orang lain pun baik.
Kelahiran anak ditunggu dengan berbagai persiapan dan perlengkapan sesuai
kemampuan yang ada padanya. Dengan demikian unsur-unsur dalam pertumbuhan
kepribadian anak yang akan lahir cukup baik dan positif, yang nanti menjadi
dasar pertama dalam pertumbuhan selanjutnya setelah lahir.
3. Peran Ibu Bagi Anak Dalam Keluarga
Pendidikan anak pada dasarnya adalah tanggung jawab
orang tua. Hanya karena keterbatasan kemampuan orang tua, maka perlu adanya
bantuan dari orang yang mampu dan mau membantu orang tua dalam pendidikan
anak-anaknya, terutama dalam mengajarkan berbagai ilmu dan keterampilan yang
selalu berkembang dan dituntut pengembangannya bagi kepentingan manusia.� Pada umumnya para pendidik muslim menjadikan
Luqmanul Hakim sebagai contoh dalam pendidikan, dimana nasihatnya kepada
anaknya terdapat dalam surat Luqman ayat 13-19. Allah mengatakan Luqman dikaruniai-Nya
hikmah dan kebijaksanaan.
�Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah
(kebijaksanaan) kepada Luqman yaitu: bersyukur kepada Allah. Dan barang siapa
yang bersyukur (kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya
sendiri; dan barang siapa yang tiada bersyukur maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji)�. (Surat Luqman ayat 12)[20]
Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi
pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan
menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan
terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan ibu dalam keluarga amat
penting. Dialah yang mengatur, membuat rumah tangganya menjadi surga bagi
anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya.
Sebagai isteri hendaknya ia bijaksana, tahu hak dan
kewajibannya yang telah ditentukan oleh agamanya. Sebagaiman dalam Al-Qur�an
disebutkan bahwa diantara tanda-tanda kebesaran Allah adalah diciptakannya
pasangan hidup (suami-isteri) yang saling menyenangi (surat Ar Rum ayat 21).
Untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dalam
keluarga memang diperlukan isteri yang saleh, yang dapat menjaga diri dari
kemungkinan salah dan kena fitnah dan mampu menenteramkan suami apabila
gelisah, serta dapat mengatur keadaan rumah, sehingga tampak rapi. Menyenangkan
dan memikat hati seluruh anggota keluarga untuk berada di rumah. Isteri yang
bijaksana mampu mengatur situasi dan keadaan, hubungan yang saling melegakan
dalam keluarga.
Diantara langkah penciptaan suasana yang baik itu
adalah usaha menciptakan terwujudnya saling pengertian, saling menerima, saling
menghargai, saling mempercayai dan saling menyayangi diantara suami-isteri dan
antara seluruh anggota keluarga. Dengan pengertian, penerimaan, penghargaan,
kepercayaan dan kasih sayang yang dilandasi oleh keimanan yang mendalam, yang
terpantul ke dalam kehidupan sehari-hari, maka akan dapatlah dihindarkan
berbagai masalah negatif yang kadang-kadang terjadi dalam tindakan dan sikap
masing-masing atau salah seorang (suami atau istri).� Suami akan bekerja tenang dan penuh gairah,
dalam menghadapi tugasnya, ia tidak akan pernah berpikir mencari sesuatu yang
tidak diridhai Allah.� Demikian juga
istri, dengan hati lembutnya yang penuh keimanan, dapat menerangi suasana
keluarga sehingga menjadi cerah ceria.�
Suasana keluarga itu merupakan tanah subur bagi penyemaian tunas-tunas
muda yang lahir dari keluarga itu.
Suatu kenyataan yang ditemukan dalam makhluk hidup,
terutama pada manusia, bahwa seorang bayi lahir dalam keadaan lemah dan tidak
berdaya untuk memenuhi kebutuhan pokok yang menolongnya dalam kelangsungan
hidupnya.� Orang pertama dan utama yang
dikenalnya adalah ibunya, yang sejak dalam kandungan telah membantunya untuk
tumbuh kembang, baik disadari ataupun tidak oleh ibunya.
Manusia baik kecil maupun besar, muda ataupun tua,
dibekali oleh Allah dengan seperangkat kebutuhan jasmani yang perlu
dipenuhi.� Jika tidak dipenuhi, misalnya
dalam hal makanan dan minuman, akan terganggu kelangsungan pertumbuhan jasmaninya.� Dan ia dibekali pula dengan seperangkat
kebutuhan jiwanya yang bila tidak dipenuhi akan terlambatlah perkembangan
rohaninya, nungkin akan mempengaruhi hidupnya bahkan sampai tuanya kelak.
Untuk memenuhi kebutuhan jasmani anak yang masih
bayi itu, secara alamiah diciptakan Allah air susu ibu (ASI), yang dipersiapkan
bersamaan dengan pertumbuhan janin dalam kandungan.� Serentak dengan kelahiran bayi, ASI pun sudah
tersedia pada ibu yang melahirkannya itu.�
Andaikata ibu yang membawa ASI dalam tubuhnya untuk memenuhi kebutuhan
jasmani yang tidak berdaya menolong dirinya itu, tidak mau memberikan
kepada� si bayi, maka bayi itu akan
mengalami keguncangan dan penderitaan.�
Jika tidak ada pertolongan orang lain kepadanya, boleh jadi kelangsungan
hidupnya akan terganggu bahkan terhenti.�
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab ibu dalam
kelangsungah hidup anak yang masih bayi tersebut sangat besar.� Dalam hal ini Allah swt memberi petunjuk:
�(Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma�ruf�.)�. [21]
Si anak tidak hanya mempunyai kebutuhan jasmani
saja, akan tetapi ia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan kejiwaan yang
menentukan perkembangan selanjutnya. Sedikitnya terdapat dua kebutuhan kejiwaan
terpokok yang harus dipenuhinya sejak lahir, yaitu kebutuhan akan rasa kasih
sayang dan rasa aman. Setelah ia lahir, keluar dari rahim ibunya, ia
membutuhkan pemeliharaan dari orang yang membantunya untuk melindungi dari
terpaan udara, baik panas maupun dingin, dan dari berbagai gangguan yang dapat
menyakiti atau mengganggunya. Ia memerlukan bantuan dari orang yang mengerti
kebutuhannya dan bersedia membantunya setiap saat.
Orang tersebut, yang secara kodrati diberi Allah
perasaan kasih sayang dan kemampuan untuk menyayangi serta kecondongan untuk
menolong dan merawat si anak, adalah ibu yang melahirkannya, yang telah
mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan selama si anak dalam kandungannya
(9 bulan). Maka ibu itu pulalah yang memikul tanggung jawab terhadap pemenuhan
kebutuhan rohani yang paling pokok pada anak. Allah memberi petunjuk:
�(Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang� ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya
dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula); mengandungnya
sampai mengasuhnya adalah tiga puluh bulan�.)�.[22]
Apabila ibu tidak mampu atau tidak mau menyayangi
anak yang sangat membutuhkan kasih sayang bagi perkembangan rohaninya itu, besar
kemungkinan anak itu tidak akan mengenal rasa kasih sayang dalam hidupnya di
kemudian hari. Keadaan yang demikian akan menyebabkannya menderita sepanjang
hayatnya. Tanpa kasih sayang ibu, rasa aman pun tidak akan tercapai, karena ia
akan dibiarkan tanpa perlindungan terhadap berbagai gangguan dan ancaman bagi
kelangsungan hidupnya.
Boleh jadi sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
�Surga di bawah telapak kai ibu�, menggambarkan tanggung jawab ibu terhadap
masa depan anak. Memang, bila kita bahas sabda Nabi itu dari segi kejiwaan dan
kependidikan, maka sabda Nabi tersebut ditujukan kepada ibu agar ia sadar,
betapa besar tanggung jawab ibu terhadap hari depan anaknya, sampai kepada
nasibnya di akhirat nanti. Sebagaimana janji Allah, bahwa kehidupan di akhirat
nanti adalah kehidupan yangf sebenarnya, yang didasarkan atas hasil perbuatan
selama hidup di dunia. Bila amal salehnya banyak, ia diberi kehidupan yang baik
dan dimasukkan Allah dalam surga, seperti firman Allah:�(Barang siapa yang
mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun perempuan sedang ia orang
beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun).� [23]
�(Barang
siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[24]
Rasa tanggung jawab ibu terhadap masa depan anak
tidak terjadi secara otomatis, dengan melahirkan anak itu. Ada ibu yang merasa
bahwa anak itu menjadi beban dan merupakan penghambat bagi kegiatannya. Ada
pula ibu yang menyangka bahwa tugas mendidik, merawat, dan menyusukan anak,
bukanlah tugas ibu saja, akan tetapi tugas bersama antara ibu dan bapak.� Jika ia bekerja di luar rumah seperti
suaminya, maka ia juga ingin bebas dari tugas kerumahtanggaan, pemeliharaan dan
pendidikan anaknya, seperti halnya dengan suami. Menyusukan anak bagi sementara
wanita mungkin merupakan tugas berat yang tidak menyenangkan.
Dalam berbagai kasus kejiwaan yang dialami oleh anak
yang tidak disusui oleh ibu, ternyata bahwa memperoleh ASI langsung dari ibu
mempunyai dampak positif terhadap terpenuhinya kebutuhan jiwa akan kasih sayang
dan rasa aman. Bagi si anak barometer yang digunakannya untuk mengukur
berbahaya atau tidaknya sesuatu terhadap dirinya adalah sikap ibunya dalam
menanggapi sesuatu. Misalnya bila terdengar suara keras yang aneh, atau suara
petir membelah bumi, si anak akan tenang dan diam saja, bila ibunya tenang
saja. Sebaliknya jika ia melihat ibunya ketakutan atau menjerit, walaupun tidak
ada sesuatu yang terjadi, si anak segera menjerit mengikuti sikap dan perilaku
ibunya dan ia juga ketakutan.
Pertumbuhan rasa tanggung jawab ibu terhadap masa
depan anak, terjadi berangsur-angsur melalui pengalaman yang dilaluinya dengan
anaknya itu. Apabila ibu tidak melakukan perawatan langsung terhadap anaknya,
maka kasih sayang kepada anak kurang, bahkan kadang-kadang tidak terasa sama
sekali. Bila perawatan, pemeliharaan dan pendidikan, serta menyusui tidak
dilakukan oleh ibu, dan ia hanya melihat anaknya sebagai obyek yang harus
diurus, tanpa ada ikatan batin dengan dirinya, dan tugas tersebut dapat
diserahkan kepada orang lain, seperti pembantu, nenek, bibi atau lainnya, tanpa
merasa kehilangan sesuatupun, bahkan mungkin tidak terpikir olehnya tentang
masa depan anaknya.
Lain halnya dengan ibu yang mengurus dan menyusukan
anaknya secara langsung, ia akan merasa tertarik kepada anak yang tumbuh-kembang
dari hari ke hari. Setiap kali ibu menyusui anak, ia melihat wajah anaknya yang
membayangkan kepuasan dan kegembiraan setelah kenyang menyusu, karena kebutuhan
jasmaninya telah terpenuhi, dan sekaligus telah terpenuhi pula kebutuhan akan
kasih sayang dan rasa aman. Setiap pengalaman, baik berat maupun ringan yang
dilakukan ibu terhadap anak, menimbulkan kesan yang menarik dan merangsangnya
untuk memikirkan hari depan anaknya. Lambat laun pemikiran masa depan anak
memenuhi relung-relung hatinya. Akibatnya akan berkembanglah rasa tanggung
jawabnya terhadap masa depan anaknya.
Hubungan timbal balik antara ibu dan anak yang
disusuinya, ditandai dengan saling menyayangi. Keduanya sama-sama mendapatkan
obyek yang disayangi dan sama-sama merasakan bahwa dirinya disayangi. Inilah
modal penting bagi anak untuk merasa bahagia di dalam kehidupannya di kemudian
hari.[25]
Ada beberapa orang tua yang tidak menganggap penting
pendidikan agama. Mereka lebih senang menyekolahkan anaknya� lalu kuliah di jurusan yang mempunyai peluang
kerja pasti.� Bekal agama seperti
pengetahuan terhadap fikih, tafsir, dan hadits dianggap sebagai kebutuhan
kedua.� Maka jangan heran bila orang di
kalangan eksekutif perkantoran juga di kalangan masyarakat miskin, banyak yang
tidak bisa membaca Al Qur�an dan hanya tahu bacaan shalat dari hafalan waktu
kecil.
Agama Islam lalu dipraktekkan ala kadarnya. Banyak
orang yang bekerja tanpa pernah shalat.�
Sepanjang bulan Ramadhan pun, dengan alasan kerja lapangan, mereka yang
berseliweran di jalanan banyak yang tidak berpuasa.� Tidak lagi sembunyi-sembunyi tapi dilakukan
berjamaah dalam satu kantor atau tempat kerja. Apalagi bicara soal membaca Al
Qur�an.� Kenyataan semacam ini, bila
ditelusuri dengan teliti, berawal dari pergeseran nilai yang ditanamkan orang
tua kepada anak-anak mereka di rumah.�
Padahal Rasulullah saw dengan tegas menyuruh kepada setiap orang tua
untuk memastikan anak-anak mereka menjalankan syariat agama.
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, �Suruhlah anak-anak kalian menjalankan shalat
saat berumur tujuh tahun dan pukullah mereka saat berumur tujuh tahun dan
pukullah mereka jika meninggalkan shalat saat berumur sepuluh tahun, serta
pisahkanlah mereka (anak laki-laki dari anak perempuan) dalam tempat tidur.�
Bila orang tua karena kesibukan di tempat kerja,
tidak bisa memberikan perhatian penuh dalam pendidikan penuh dalam pendidikan
anak, langkah paling bijak yang ditempuh adalah dengan menyerahkan kepada guru
agama atau lembaga pendidikan agama.� Itu
adalah bentuk ikhtiar yang tentunya tidak serta merta menggugurkan kewajiban
orang tua atas kewajiban yang diperintahkan oleh Rasulullah di atas.� Orangtua cepat merasa bangga melihat anaknya
sukses dalam karir. Tapi saat azan subuh bergema mereka sibuk membereskan
rumah, mempersiapkan diri berangkat kerja, sambil membiarkan anak mereka
melewati waktu subuh dalam buaian mimpi.�
Mereka lebih takut anak-anak mereka terlambat masuk kerja dari pada
terlambat shalat.
Bila kendali atas ibadah harian ini dilepaskan
begitu saja, anak-anak akan mudah terperosok ke dalam jurang kegelapan yang
lebih dalam.� Mereka tidak lagi mempunyai
alasan untuk,misalnya,menolak ajakan teman-teman mereka pergi ke diskotek untuk
mengkonsumsi barang-barang terlarang.Lantas banyak dosa-dosa lainnya yang mudah
dikerjakan oleh anak-anak karena tipisnya pertahanan iman.� Setelah terbiasa melanggar perintah
agama,pada giliran berikutnya, anak-anak akan dengan mudah melanggar perintah
orang tua.Pada titik ini, pendidikan orang tua sudah terkalahkan oleh
pendidikan lingkungan di luar rumah.Mereka lebih senang menjadi anak jalanan
daripada anak rumahan.
Sebagai pendidik bagi anak-anaknya, orang tua
selazimnya menjadi tauladan dalam aktifitas ibadah.Tidak hanya untuk
mempermudah proses pendidikan yang baik bagi anak, tapi juga untuk membentengi
rumah dari musibah dan kejahatan yang setiap waktu bisa menerobos masuk melalui
lubang-lubang rumah.� Ayatullah Husain mazhahiri dalam
bukunya �Membangun Surga dalam Rumah Tangga�menandaskan, langkah pertama yang
harus ditempuh pasangan keluarga yang menginginkan kebahagian dan keberkahan
menyelimuti rumah mereka adalah dengan menegakkan sholat di dalam
rumah.Islam,lanjut Husain Mazhahiri,berulang kali menghimbau agar sholat
nawafil (sunnah) ditegakkan di rumah sementara sholat wajib diteggakkan di
masjid secara berjamaah.
�Jadikanlah rumah Anda tempat beribadah. Jadikan
rumah Anda tempat pembacaan Al-Quran serta lantunan doa-doa,zikir kepada Alloh
dan lafal-lafal religius lainnya,� demikiah Husain Mazhahiri.� Kebahagiaan juga hanya didapat jika orang tua
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan tercela.Apa yang dilakukan
oleh orang tua,baik disaksikan atau tidak oleh anak-anak mereka,akan didampak kepada
perilaku anak. Selain itu, uang haram yang dibelanjakan untuk makan tidak akan
memberikan keberkahan dan kebahagiaan bagi seisi rumah.
Apabila di satu rumah terdapat makanan haram yang
dimakan, atau makanan tersebut berasal dari hasil korupsi, riba, merampok milik
orang lain,maka rumah itu tidak akan disinggahi malaikat. Kadar haram dalam
harta yang didapat akan menyatu saat makanan masuk ke dalam perut dan menempel
pada aliran darah.� Jadi, meskipun anak
telah dididik dengan baik, diberi bekal agama cukup, dan mendapatkan gizi yang
sempurna, belum bisa mendatangkan kebahagiaan jika semua itu dibiayai dengan
uang haram. Apalagi saat ini orang sulit mambedakan mana uang haram dan mana
uang halal. Cara-cara korupsi, manipulasi angka dan sebagainya, terlanjur jalan
sah mendapatkan keuntungan. Zakat bukanlah jalan keluar untuk mensucikan diri
dari harta haram. Zakat hanya bisa membersihkan hati dan harta yang didapat
dengan cara yang sesuai dengan ketentuan agama.����� �
Karena itulah maka didalam mendidik seorang anak
ternyata tidak gampang yaitu tidak hanya sekedar mengarahkan atau menentukan
pilihan pendidikan atau sekolah saja, akan tetapi perlu adanya refleksi dari
orang tua baik bapak atau ibu dalam mencari rizqi yaitu untuk menafkahi
keluarga dengan cara yang halal sehingga lebih bermanfaat untuk masa depan anak
dan keluarga.
Prinsip dalam memilih sekolah bagi anak dengan
kebutuhan khusus adalah� yang paling
dekat antara harapan dan kenyataan. Karena bisa jadi kita punya harapan ingin
menyekolahkan anak ke sekolah umum yang bisa mengakomodir kebutuhan khusus
anak, tapi, harapan itu pupus akibat tidak adanya sekolah yang dimaksud di
sekitar tempat tinggal kita.
Menurut Bryna
Siegel,phD, penulis buku The World of the Autistic Child-
Understanding & ASD, setidaknya ada dua aspek yang menjadi fokus pendidikan
anak dengan kebutuhan khusus.� Dua aspek
ini dapat menjadi dasar pertimbangan orang tua dalam memilih sekolah umum buat
anak dengan kebutuhan khusus.� Aspek
pertama adalah aspek sosial, yaitu pertimbangan dimana orangtua menganggap
anaknya belum siap mengikuti pelajaran dan berharap dengan memasukkan anaknya
sekolah ia akan mampu mengembangkan kemampuan sosialnya.� Berarti, target akademis bukan prioritas
utama.� Aspek kedua, dikenal dengan
istilah �full inclusion�.� Dengan
pertimbangan aspek ini, maka orangtua bisa memilih memasukkan anak ke sekolah
umum.� Dalam hal ini, si anak
diperlakukan sama dengan anak tanpa kebutuhan khusus.� Dengan pertimbangan kedua aspek tersebut maka
konsekuensinya di rumah orang tua memiliki agenda pendidikan khusus.� Atau, bila diperlukan anak membutuhkan guru
pendamping saat berada di dalam kelas.�
Biasanya, hal itu bisa dibicarakan dengan pihak sekolah.
Sebaliknya, kalau ingin agar anak mendapatkan
penanganan ekstra, maka sebaiknya dimasukkan di kelas khusus.� Kelas seperti ini sebenarnya bisa berada di
sekolah khusus atau berada di dalam kompleks sekolah umum.� Pada mata pelajaran tertentu, si anak boleh
bergabung dengan kelas anak biasa, sesuai kemampuannya.� Kelas khusus ini bisa berisi seluruhnya
dengan anak kebutuhan khusus atau campuran (social skills development &
mixed disability classes).
Pilihan lainnya adalah dengan bentuk yang lebih
spesifik lagi untuk menjawab kebutuhan pendidikan anak-anak dengan kebutuhan
khusus yang tidak terlalu ringan.� Yaitu,
dengan homebased individual therapy, atau homeschooling.� Namun, tentu saja pilihan homeschooling memerlukan
peran penuh dari orangtua ditunjang dengan sarana dan prasarana yang
menunjang.� Prinsipnya jangan memasukkan
anak dengan kebutuhan khusus ke lingkungan yang tuntutannya di luar kemampuan
anak.� Atau sebaliknya, memasukkan anak
ke lingkungan yang tidak ada tantangannya sama sekali pun tidak akan
mengoptimalkan kecerdasan anak.
Selain memilih sekolah formal, anak dengan kebutuhan
khusus juga membutuhkan terapi ekstra.�
Terapi tambahan yang dibutuhkan, misalnya terapi pada area-area
perilaku, atensi dan konsentrasi, wicara, bahasa, komunikasi, pemahaman
konsep,motorik kasar, ketrampilan bantu diri, ketrampilan sosialisasi,
pramembaca, membaca, motorik halus, pramenulis, menulis tangan, aritmatika
(berhitung), ketrampilan budaya, pengetahuan umum, ketrampilan yang berhubungan
dengan penguasaan akademik di sekolah, ketrampilan yang relevan dengan
kehidupan, ketrampilan untuk mengisi waktu luang yang bermakna dan bertujuan,
serta kecakapan emosional dan pengembangan kontrol diri.
Di luar kebutuhan area tersebut, beberapa anak juga
membutuhkan layanan yang membantu anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk
di dalamnya anak-anak yang mengalami gangguan dan atau kelemahan fisik yang
berakibat pada lemahnya atau kurang berfungsinya anggota tubuh.� Selain therapi yang dilakukan langsung kepada
anak, beberapa pusat terapi juga memberikan layanan konsultasi bagi orang tua
dan guru, seminar dan pelatihan untuk orang tua, guru, caregiver (guru
pendamping), jasa terapis, dan aide teacher (guru bantu pendengaran)
untuk sekolah maupun home therapy.�
Seperti apa pun keadaannya, memenuhi kebutuhan pendidikan anak adalah
tanggungjawab yang harus dijalankan orang tua dengan penuh rasa syukur, karena
mereka adalah amanah Allah Swt.[26]
E. Penutup
Pendidikan anak
sangatlah penting yang dimulai dari pendidikan keluarga. Dalam keluarga
dibutuhkan sosok orang tua yang bisa menyayangi, memahami tentang kebutuhan
pendidikan seorang anak terutama adalah peran ibu. Keluarga memiliki peranan
besar dalam rangka mendidik perilaku, kecenderungan, serta keagamaan dalam
seluruh tahap perkembangan anak. Bahkan, untuk masa-masa selanjutnya dan
pertumbuhan rasa tanggung jawab ibu terhadap masa depan anak, terjadi
berangsur-angsur melalui pengalaman yang dilaluinya dengan anaknya itu. Apabila
ibu tidak melakukan perawatan langsung terhadap anaknya, maka kasih sayang
kepada anak kurang, bahkan kadang-kadang tidak terasa sama sekali.
Pendidikan agama, budi
pekerti, tatakrama, dan baca-tulis-hitung yang diberikan secara dini di rumah
serta teladan dari kedua orangtuanya akan membentuk kepribadian dasar dan
kepercayaan diri anak yang akan mewarnai perjalanan hidup selanjutnya. Dalam
hal ini, seorang ibu memegang peranan yang sangat penting dan utama dalam
memberikan pembinaan dan bimbingan (baik secara fisik maupun psikologis) kepada
putra-putrinya dalam rangka menyiapkan generasi penerus yang lebih berkualitas
selaku warga negara yang baik dan bertanggung jawab termasuk tanggung jawab
sosial. Oleh karena itu ibu atau istri yang solikhah akan membantu bahkan
sangat menentukan masa depan anak dan keluarga untuk menuju keluarga sakinah mawadah warahmah juga
terbentuknya putra-putri yang soleh dan solikhah yang berguna bagi masyarakat,
nusa dan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-akka, Syekh Abdurrahman. 2004. Mengayuh Bahtera
Menuju Bahagia. Yogyakarta: al-Manaar
Arman Ayu. 2006. Bila Anak Durhaka. Jakarta: Paras
Abvul Rahman, Jamal. 2005. Tahapan Mendidik Anak
Teladan Rasulullah. Bandung: Irsyad Baitus Salam
Darajat, Zakiah. 1995. Pendidikan Islam Dalam
Keluarga Dan Sekolah. Bandung :Remaja
Rosdakarya
Http;//buletinbang.depham.co.id
Handayani, Sarah. 2005. Merancang Pendidikan Anak Dengan Kebutuhan
Khusus. Jakarta: Paras
Hasbullah. 1999. Kapita
Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Marhumah & Suryadilaga, Alfatih. 1999. Membina Keluarga
Mawaddah Wa Rahmah dalam Bingkai Sunah Nabi.
Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga
Ibrahim,Zakaria. 2002. Psikologi Wanita.
Bandung:Pustaka Hidayah
Rowatt G Wade & Mary Jo Rowatt Jr. 1990. Bila Suami Istri
Bekerja. Yogyakarta: Kanisius
Zulkarnen, Iskandar. 2006. Membina Keluarga Dengan Pondasi Agama. Jakarta:
Hidayah�
[1] Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah. (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2005) hlm. 25
[2] Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.) hlm. 27
[3] QS Al- Rum [30]:21)
[4] Marhumah & N. Alfatih Suryadilaga, Membina Keluarga Mawaddah Wa Rahmah dalam Bingkai Sunah Rasul (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga), 1999, hal. 27
[5] Http://buletinbang.dephan.co.id
[6] Syekh Khalid Abdurrahman Al-Akka, Mengayuh Bahtera Menuju Bahagia (Yogyakarta: Al Manaar) 2004, hal 1-8
[7] QS. Ar Ra�du
(13):38.
[8] .� QS.
Ar Rum (30): 30
[9] QS. An Nahal
(16): 72
[10] Ayu Arman, �Bila Anak Durhaka� dalam Paras No. 30/III/Maret/2006, hal 106-107
[11] Riwayat at-Turmudzi, lihat al-�Ajluni, Kasyf al-Khafa, Juz II, hal 173, no.2157
[12] QS. Al Isra�, 17:23
[13] Riwayat Bukhari,al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib, juz III, hal 324-333
[14] Hadits Riwayat Abu Dawud, al-�Ajluni, juz II, hal. 366, no. 3077
[15] G. Wade Rowatt, Jr Mary Jo Rowatt, Bila Suami Istri Bekerja, (Yogyakarta: Kanisius) 1990, hal 48-49
[16] Zakaria Ibrahim, Psikologi Wanita (Bandung: Pustaka Hidayah), 2002, hal. 113-117
[17] Syekh Khalid Abdurrahman Al-Akka, Mengayuh Bahtera, hal.176
[18] (QS. Al-Baqarah: 83)
[19] Zakiah Darajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya),1995, hal 47
[20] ibid, hal. 48-52
[21] Surat Al-Baqarah ayat 233.
[22]� Surat Al-Ahqaaf ayat 15.
[23] Surat An-Nisa
ayat 124.
[24] . Surat
An Nahl ayat 9.
[25] Iskandar Zulkarnaen, �Membina Keluarga Dengan Pondasi Agama� dalam Hidayah Edisi 57 April 2006 hal.85-87
[26] Sarah Handayani, �Merancang Pendidikan Anak dengan Kebutuhan Khusus� dalam Ummi No. 3/XVII Juli 2005, hal. 25