IMPLIKASI
TUGAS DAN KEWAJIBAN HIDUP MANUSIA
DALAM
KONTEKS PENDIDIKAN
Dian Widiantari
�(Dosen
Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon)
Abstrak
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sempurna secara fisik dan
psikis. Kesempurnaan manusia karena akal
fikirannya yang tidak dianugerahkan Allah kepada makhluk lain. Begitulah Allah
memuliakan manusia yang abadikan dalam al Quran. Bukan suatu hal yang sia-sia
Allah menciptakan manusia di muka bumi, melainkan ada tugas dan kewajiban yang
harus di emban oleh manusia. Menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Al
Quran merupakan tugas manusia di muka bumi selain ada suatu perintah ketaatan
untuk senantiasa beribadah kepada Allah. Tugas dan kewajiban hidup manusia
harus berimplikasi terhadap pendidikan. Pendidikan harus diorientasikan pada proses
pengembangan kepribadian yang utuh dan seimbang sebagaimana tujuan pendidikan
yang dikehendaki. Dalam konteks pendidikan, kepribadian yang seimbang akan
tercapai bila terpenuhinya domain-domain secara seimbang yaitu fisik-biologis
dan mental-moral-spiritual. Pendidikan merupakan proses penyadaran akan fungsi-fungsi kemanusiaan
manusia yang memiliki tugas dan kewajiban sebagai �bd Allah dan khalifah Allah
Key
Word:
Quran,
manusia, tugas, kewajiban, pendidikan
A.
Pendahuluan
Allah telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sempurna, seperti yang tersurat dalam QS. at tin,
95:4 sebagai berikut:
لَقَدْ
خَلَقْنَا
الْإِنْسَانَ
فِي أَحْسَنِ
تَقْوِيمٍ
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
[1]
����������� Kata
sempurna di atas mengacu kepada sempurna potensi jasmani dan rohani. Allah
menciptakan manusia dengan sempurna karena manusia akan diberikan sebuah tugas
dan kewajiban yang sangat besar dalam memakmurkan bumi sebagai tempat
bertugasnya. Tugas tersebut merupakan alasan Allah menciptakan-Nya bukan untuk
main-main atau sia-sia, seperti yang tersurat dalam Q.S. al Mu�minun (23:115)
sebagai berikut:
أَفَحَسِبْتُمْ
أَنَّمَا
خَلَقْنَاكُمْ
عَبَثًا
وَأَنَّكُمْ
إِلَيْنَا
لَا تُرْجَعُونَ
Maka Apakah kamu mengira, bahwa
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu
tidak akan dikembalikan kepada kami?. [2]
Kata �abatsan di atas berarti perbuatan yang
tidak bermanfaat. Allah menciptakan manusia untuk memiliki kemanfaatan. Ayat
tersebut memberikan isyarat bahwa Allah menciptakan manusia memiliki tujuan
karena ada keniscayaan tentang hari pembalasan. Oleh karena itu manusia harus
mempertangungjawabkan semua perbuatan yang menjadi tugas dan kewajibannya hanya
kepada Allah. Quraish Shihab [3]
menyatakan �seandainya Allah tidak memberikan balasan kepada masing-masing
sesuai dengan amal perbuatannya maka tentu hal tersebut mengakibatkan sia-sianya
kebaikan yang berbuat baik�. Tugas besar tersebut merupakan tujuan akhir
eksistensi manusia dan makna hidupnya di muka bumi.
Dalam al Quran Surat al
ahzab, 33:72 Allah telah menyerahkan amanatnya kepada manusia yang sebelumnya
ditawarkan kepada langit dan bumi yang tidak mampu melaksanakannya. Lengkapnya
sebagai berikut:
إِنَّا
عَرَضْنَا
الْأَمَانَةَ
عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ
وَالْجِبَالِ
فَأَبَيْنَ
أَنْ
يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ
مِنْهَا
وَحَمَلَهَا
الْإِنْسَانُ
إِنَّهُ
كَانَ
ظَلُومًا
جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.[4]
Kata amanat pada arti
ayat di atas ialah tugas-tugas keagamaan. Oleh karena itu manusia satu-satunya
jembatan kosmik dari kehendak Ilahi memasuki dunia ruang waktu dan menjadi
sejarah. Ath-Thabathaba�I dalam Quraisy Shihab[5] ketika menafsirkan ayat tersebut,
ia mengemukakan bermacam-macam pengertian dari amanah yaitu sebagai berikut:
(1) tugas-tugas atau beban kewajiban,
sehingga bila orang mau mematuhinya, maka akan dimasukan ke dalam surge,
sebaliknya bila melanggarnya akan dimasukkan ke neraka; (2) akal, yang
merupakan sendi bagi pelaksanaan tugas-tugas atau beban kewajiban dan tempat
bergantungnya pahala dan sika; (3) kalimah �Laa
ilaaha illa Allah�; (4) anggota-anggota badan, termasuk didalamnya
alat-alat potensial atau potensi-potensi dasar manusia, yang mampu mengemban
dan melaksanakan amanah dari Allah yang harus dijaga dan hanya digunakan dalam
batas-batas yang diridhai oleh-Nya; (5) ma�rifah kepada Allah. Pengertian yang
keempat itulah, menurut Ath thabathaba�I yang lebih mendekati kebenaran.
Sementara Raghib al
Asfahani pakar bahasa al Quran mengemukakan pengertian amanah, yaitu (1)
kalimah tauhid; (2) adl adalah (menegakan keadilan); (3) akal. Menurut al Asfahani, bahwa
pengertian yang ketiga itulah yang benar karena dengan akal bisa tercapai
ma�rifah tauhid, bisa terwujudkan keadilan dan mampu menjangkau berbagai ilmu
pengetahuan dan sebagainya, bahkan akal inilah yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya.�
Dengan demikian
berdasarkan beberapa pendapat ahli tafsir tersebut dapat difahami bahwa amanah
Allah itu pada intinya ada dua yaitu mengabdi kepada Allah dan menjadi khalifah
di muka bumi, yang keduanya harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
����������� Tugas-tugas
keagaamaan yang berupa tanggung jawab dan kewajiban (taklif) yang dibebankan kepada manusia tidak mengenal batas
sepanjang menyangkut jangkauan dan ruang tindakannya yang mungkin. Seluruh umat
manusia merupakan obyek tindakan moral manusia. Mohammad Irfan dan Mastuki[6]
menyatakan �seluruh bumi dan langit adalah �panggung�nya. Taklif bagi manusia karenanya bersifat universal. Ia merupakan
landasan bagi kemanusiaan manusia�. Penerimaan manusia atas amanat Allah itu
menempatkannya pada derajat yang lebih tinggi dibandingkan semua makhluk,
termasuk malaikat.
����������� Mohammad
Irfan dan Mastuki menyatakan �manusia memiliki kelebihan dan keunggulan atas
makhluk lain terletak pada kepemilikan pengetahuan kreatif dan ilmiah mengenai
benda-benda (ilmu eksakta), mengenai susunan batinnya (ilmu kejiwaan) dan
mengenai perilaku luar manusia sebagai proses yang berjalan terus dalam masa
(ilmu kesejarahan)�. Menurut Ashgar Ali Engineer menyatakan :
Dengan
kelebihan ini, manusia sebagai kolaborator Tuhan dalam aktivitas kreatif
menemukan medan kenyataan untuk selanjutnya menemukan wilayah-wilayah realitas
(dari alam) yang belum terjamah. Ini sejalan dengan perintah Allah, �kuasailah
apa yang ada di langit dan di bumi�. Proses penguasaan alam semesta pada
dasarnya adalah proses pengungkapan wilayah-wilayah realitas baru. Sehingga
penemuan dan pemberian nama terhadap benda-benda baru punya makna signifikan
dengan penemuan wilayah-wilayah realitas baru tersebut. Lagi-lagi manusia
merupakan wakil Tuhan yang aktif dan kreatif dalam membentuk kembali apa yang
ia temukan, dan dengan demikian, mengambil bagian dalam proses kreatif
Tuhan.�
Taklif
dengan
begitu mempunyai makna dan relevansi dengan fungsi kosmik manusia. Kehadiran
manusia tidak sekedar �ada� di muka bumi melainkan �mengada�nya manusia
memiliki tujuan, tugas, dan kewajiban untuk mengemban amanat Allah.
Keberadaanya harus mentransformasikan ciptaan ke arah yang sesuai dengan desain
Tuhan. Begitu juga halnya dengan pendidikan.
Pendidikan harus
diarahkan sesuai dengan desain Tuhan, yaitu menjadikan pendidikan sebagai
sebuah proses menuju jiwa tauhid, jiwa yang hanya menerima Allah sebagai
satu-satunya Tuhan, jiwa yang menyerahkan hidup dan matinya hanya untuk
mengabdi kepada-Nya, jiwa laa ilaaha illa Allah. Seluruh pusat orientasi
kehidupan manusia hanya Allah swt.
B.
Pembahasan
1.
Tugas Hidup Manusia
a. Ayat yang berkaitan dengan tugas hidup manusia
Berdasarkan pendahuluan di atas, manusia diberikan
amanah oleh Allah berupa tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi untuk
mengelola dan memakmurkan bumi sebagai tempat melaksanakan tugasnya. Dengan
pengetahuan kreatifnya manusia diberikan keleluasan dan kebebasan untuk
menjalankan tugasnya sebagai penguasa di bumi. Menurut Quraisy Shihab[7]
menyatakan:
Kata
khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam al Quran, yaitu dalam al
Baqarah 2:30 dan Shad 38:26.� Ada dua
bentuk plural yang digunakan oleh al Quran, yaitu: (a) Khalaif �yang terulang
sebanyak empat kali, yakni pada surah al an�am 165, Yunus 14, 73 dan Fathir
39.(b) Khulafa� terulang sebanyak
tiga kali pada surah-surah al �araf 7:69, 74 dan al Naml 27:62.
Adapun ayat yang berkaitan dengan manusia sebagai
kahlifah di bumi adalah Q.S. al Baqarah, 2:30:
وَإِذْ
قَالَ
رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي
جَاعِلٌ فِي
الْأَرْضِ
خَلِيفَةً
قَالُوا
أَتَجْعَلُ
فِيهَا مَنْ
يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ
وَنَحْنُ
نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ
لَكَ قَالَ إِنِّي
أَعْلَمُ مَا
لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [8]
Ayat yang lainnya adalah QS. Shad 38:26 sebagai
berikut:
يَا
دَاوُودُ
إِنَّا جَعَلْنَاكَ
خَلِيفَةً
فِي
الْأَرْضِ
فَاحْكُمْ
بَيْنَ
النَّاسِ
بِالْحَقِّ
وَلَا تَتَّبِعِ
الْهَوَى
فَيُضِلَّكَ
عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ
إِنَّ
الَّذِينَ
يَضِلُّونَ
عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ
لَهُمْ
عَذَابٌ
شَدِيدٌ
بِمَا نَسُوا
يَوْمَ
الْحِسَابِ �
Hai
Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
[9]
Q.S. Al an�am, 6:165
وَهُوَ
الَّذِي
جَعَلَكُمْ
خَلَائِفَ
الْأَرْضِ
وَرَفَعَ
بَعْضَكُمْ
فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَاتٍ
لِيَبْلُوَكُمْ
فِي مَا آَتَاكُمْ
إِنَّ
رَبَّكَ
سَرِيعُ
الْعِقَابِ
وَإِنَّهُ
لَغَفُورٌ
رَحِيمٌ
Dan Dia lah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu
atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[10]
b. Arti Kata Khalifah�
�������� Dalam
buku yang berjudul membumikan al Quran karya Quraish Shihab [11]
�keseluruhan kata (khalifah, khalaif dan
khulafa) berakar dari kata khulafa� yang pada mulanya berarti �di
belakang�. Dari sini, kata khalifah
seringkali diartikan sebagai �pengganti� (karena yang menggantikan selalu
berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya)�.
Kata khalifah dalam surat al Baqarah, 2:30 menurut Quraisy Shihab [12]menyatakan :
"Perlu dicatat bahwa kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.
Betapapun, ayat ini menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah swt., makhluk yang diserahi tugas, yakni Adam a.s. dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini.
Jika demikian kekhalifahan mengharuskan makhluk
yang diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang
memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan
kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.
Menurut Ar Raghib al
Asfahani dalam Quraish Shihab [13]dalam
mufradat-nya menjelaskan:
Menggantikan
yang lain berarti melaksanakan sesutau atas nama yang digantikan, baik bersama
yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut pakar bahasa al Quran itu
menuliskan bahwa khalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di
tempat, kematian, atau ketidakmampuan yang digantikan itu, dan dapat juga
karena yang digantikan itu memberi kepercayaan dan penghormatan kepada yang
menggantikannya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan
kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya tetapi bukan karena Allah
tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, melainkan
karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan. Adalagi yang
memahaninya dalam arti menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi.
Quraish Shihab [14]
menyatakan�tidak dapat disangkal oleh para mufasir bahwa perbedaan
bentuk-bentuk kata di atas (khalifah,
khalif, khulafa) masing �masing mempunyai konteks makna tersendiri, yang
sedikit atau banyak berbeda dengan yang lain�. Makna kata khalifah pada ayat-ayat surat Shad, 38:26 yang menguraikan sebagian
dari sejarah kehidupan Nabi Daud. Nabi Daud sebagaimana diceritakan oleh Alquran berhasil membunuh Jalut kemudian Allah memberinya
kekuasaan. Masih menurut Quraish Shihab menyatakan �kekhalifahan yang
dianugerahkan kepada Daud a.s. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah
tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya
al hikmah dan ilmu pengetahuan�.
Quraish Shihab[15]
menuturkan lebih lanjut :
Makna
�pengelolaan wilayah tertentu� atau katakanlah bahwa pengelolaan tersebut
berkaitan dengan kekuasaan politik, dipahami pula pada ayat-ayat yang
menggunakan bentuk khulafa�. Ini
berbeda dengan khala�if yang tidak
mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita dapat
berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik dinamai oleh
al Quran khalaif, tanpa menggunakan
bentuk mufrad. Tidak digunakannya
bentuk mufrad untuk makna tersebut
agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak
dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang politik tersebut. Hal
ini dapat mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk otoriter atau dictator.
Ulama Mesir Asy Sya�rawy �[16] mengemukakan kesannya tentang Q.S. al An�am, 6:165 melalui suatu analisis yang menarik �bertitik tolak dari makna kebahasaan kata khalifah, yakni yang menggantikan. Menurutnya yang menggantikan itu boleh jadi menyangkut waktu, dan boleh jadi juga tempat. Ayat ini dapat berarti pergantian antara sesama makhluk manusia dalam kehidupan dunia ini tetapi dapat juga berarti kekhalifahan manusia yang diterimanya dari Allah swt�.
Asy Sya�rawy[17]
menuturkan lebih lanjut tentang
�kekhalifahan �manusia:
Tidak
memahaminya dalam arti bahwa manusia yang menggantikan Allah dalam menegakkan
kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya serta memakmurkan bumi
sesuai apa yang digariskan-Nya, tetapi makna kekhalifahan tersebut berkaitan
dengan reaksi dan ketundukan bumi kepada manusia. Segala sesuatu tunduk dan
bereaksi kepada Allah swt. Sekelumit kekuasan-Nya menundukkan dianugerahkan kepada manusia sehingga sebagian dari
ciptaan Allah pun tunduk dan berekasi kepada manusia. Jika Anda menyalakan api
maka ia akan menyala, jika anda menabur benih di tanah maka ia akan tumbuh,
jika Anda minum makan reaksinya rasa haus Anda hilang��..dan seterusnya.
Asy Sya�rawy[18]
dalam penjelasannya menanyakan kepada manusia dari mana kemampuan dan
ketundukan tersebut?. Jawabannya sebagai berikut:
Jelas
dari Allah swt. melalui perintah-Nya kepada benda-benda itu untuk bereaksi
terhadap Anda. Jika demikian Anda adalah khalifah
�Allah, yakni khalifah iradat (kehendak). Maksudnya Allah memberi Anda sebagian
dari kekuasaan-Nya sehingga sebagaimana apa yang dikehendaki Allah terjadi
melalui reaksi sesuatu, Anda pun-untuk batas-batas yang dianugerahkan-Nya-
dapat mewujudkan apa yang anda kehendaki melalui perintah Allah kepada
benda-benda itu untuk bereaksi terhadap tindakan Anda.
Dalam "membumikan al Quran" Quraish Shihab [19] mengambil kesimpulan sementara:
(1) kata khalifah digunakan oleh al Quran untuk
siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Daud
mengelola wilayah Palestina. Adam mengelola bumi keseluruhan pada awal sejarah
manusia.
(2) seorang khalifah berpotensi bahkan secara actual dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsunya. Karena itu baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu.
c. Sifat-Sifat
Terpuji Seorang Khalifah�
�������� Al Tabrasi [20] �mengemukakan �bahwa kata Imam
�mempunyai makna yang sama dengan �khalifah.
Kata Imam digunakan untuk keteladanan karena ia terambil dari kata yang
mengandung arti depan, yang berbeda dengan khalifah
yang terambil dari kata belakang. Ini berarti kita dapat menelusuri informasi
tentang sifat-sifat terpuji seorang khalifah
denngan menelusuri ayat-ayat yang menggunakan kata Imam. Ada dua ayat yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
persoalan mencari jawaban tersebut yaitu QS. Al Baqarah 124 dan QS. Al Furqan
74. sebagai berikut:
.....قَالَ
إِنِّي
جَاعِلُكَ
لِلنَّاسِ
إِمَامًا
قَالَ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِي
قَالَ لَا يَنَالُ
عَهْدِي
الظَّالِمِينَ
Allah
berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.
Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim".[21]
...
وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا
�.dan orang orang yang
berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan
keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.[22]
�������� Pada
ayat pertama menggaris bawahi suatu syarat pada kata dhalimin (berlaku aniaya). Keadilan adalah lawan dari penganiayaan.
Dengan demikian dapat ditarik satu sifat yaitu sifat adil, baik terhadap diri
sendiri, keluarga, manusia dan lingkungan maupun terhadap Allah.
�������� Quraish
Shihab, 2004:165 ada lima sifat pemimpin terpuji dalam surat al anbiya ayat 73
dan al Sajdah ayat 24 yaitu:
(1)
Yahduna bi amrina
(2)
Wa awhayna ilayhim fi�la al khayrat.
(3)
�Abidin (termasuk Iqam al Shalat dan Ita� al Zakat)
(4)
Yuqinun
(5)
Shabaru
�������� Dari
kelima sifat tersebut al shabr (ketekunan
dan ketabahan) dijadikan Tuhan sebagai konsideran
pengangkatan Wa ja�alnahum aimmat lamma
shabaru. Seakan-akan inilah sifat yang amat pokok bagi seorang khalifah, sedangkan sifat-sifat yang
lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat pada diri mereka dan
sifat-sifat yang mereka peragakan dalam kenyataan.[23]
�������� Menurut
Raghib al Asfahani [24] Yahduna bi amrina mengandung arti
memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa yang dikehendaki
oleh yang diberi petunjuk. Ini berarti seorang khalifah minimal mampu menunjukkan jalan kebahagiaan keda umatnya
dan lebih terpuji adalah mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke pintu
gerbang kebahagiaan. Atau, dengan kata lain seorang khalifah tidak sekedar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh
sosialisasinya. Hal tersebut mereka capai karena kebajikan telah mendarah
daging dalam diri mereka. Atau dengan kata lain mereka memiliki akhlak luhur
sebagaimana yang difahami dalam sifat kedua wa
awhayna ilayhim fi�al al khayrat.
�������� Quraish Shihab �[25]menyatakan
kata Yuqinun dan �Abidin merupakan dua sifat yang berbeda.
Yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di dalam dada
mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan keadaan nyata mereka. Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang khalifah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat luhur yang telah
membudaya pada dirinya.
2.
Kewajiban Hidup Manusia
a. �Ayat yang berkaitan
dengan Kewajiban Hidup manusia
����������� Al
Quran diturunkan Allah kepada umat manusia sebagai pedoman dan tuntunan hidup
dan kehidupan. Ketaatan dan ketundukan manusia kepada Sang Khaliq merupakan
bukti penyerahan diri manusia atas penciptaannya sebagai makhluk yang diciptakan
untuk beribadah. Allah memberikan potensi dasar kepada manusia untuk memiliki
kecenderungan memelihara ibadah baik, ibadah yang langsung kepada Allah ataupun
melakukan kebaikan kepada sesama manusia dan alam sekitarnya. Adapun ayat yang
berkaitan dengan kewajiban hidup manusia sebagai berikut:
وَمَا
خَلَقْتُ
الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ
إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.[26]
وَعَدَ
اللَّهُ
الَّذِينَ
آَمَنُوا
مِنْكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ
فِي
الْأَرْضِ كَمَا
اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ
مِنْ
قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ
دِينَهُمُ الَّذِي
ارْتَضَى
لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ
خَوْفِهِمْ
أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي
لَا
يُشْرِكُونَ
بِي شَيْئًا وَمَنْ
كَفَرَ
بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ
هُمُ
الْفَاسِقُونَ
dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh -sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka
bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. Dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.[27]
وَإِلَى
ثَمُودَ
أَخَاهُمْ
صَالِحًا
قَالَ يَا
قَوْمِ
اعْبُدُوا
اللَّهَ مَا
لَكُمْ مِنْ
إِلَهٍ
غَيْرُهُ
هُوَ
أَنْشَأَكُمْ
مِنَ
الْأَرْضِ
وَاسْتَعْمَرَكُمْ
فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ
ثُمَّ
تُوبُوا
إِلَيْهِ
إِنَّ رَبِّي
قَرِيبٌ
مُجِيبٌ
Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka
shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak
ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian
bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya)."[28]
وَمَا
أُمِرُوا
إِلَّا
لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ
مُخْلِصِينَ
لَهُ
الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ
دِينُ
الْقَيِّمَةِ
!Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (jauh dari mempersekutukan Allah dan kesesatan), dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
Itulah agama yang lurus.[29]
b. Pengertian Ibadah
dalam Alquran
�������� Allah menciptakan jin dan
manusia untuk satu manfaat yang kembali kepada Allah, yaitu agar manusia
memiliki tujuan dan kesudahan aktivitas meraka adalah beribadah kepada Allah.
Pada QS. Adz Dzariyat, 51:56 Quraish [30]menyatakan:
Ayat di atas
menggunakan persona pertama (Aku) setelah sebelumnya menggunakan persona ketiga
(Dia/Allah). Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang dikandungnya tetapi
juga untuk mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah melibatkan malaikat
atau sebab-sebab lainnya. Penciptaan, pengutusan Rasul, turunnya siksa, rezeki
yang dibagikan-Nya melibatkan malaikat dan sebab-sebab lainnya, sedang di sini
karena penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang
digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi
kesan adanya keterlibatan selain Allah swt.
Pada QS. Adz Dzariyat, 51:56 dalam Quraish Shihab [31]
�kata �li ya�buduun� pada ayat di
atas dinamai oleh pakar-pakar bahasa lam
al �aqibah, yakni yang berarti kesudahan atau dampak dari akibat sesuatu�. Syekh
Muhammad Abduh dalam Quraish Shihab [32]
menjelaskan �ibadah bukan hanya sekedar ketaatan atau ketundukan tetapi ia
adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang puncaknya akibat adanya rasa
keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ia juga
merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang
memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya�.�
Thabathaba�I dalam Quraish
Shihab [33]
mengomentari pendapat yang menjadikan lam
pada kata li ya�budun bermakna agar supaya/ tujuan, maka itu berarti
tujuan ibadah adalah Allah menciptakan manusia dan tentu saja mustahil tujuan
yang dikehendaki-Nya tidak tercapai. Dalam kenyataan banyak sekali yang tidak
beribadah kepada-Nya. Menurut Thabathaba�I dalam Quraish Shihab �ini adalah
bukti yang sangat jelas bahwa huruf lam
pada ayat di atas bukan dalam arti agar
supaya atau mengandung makna tujuan atau
kalau pun ia mengandung makna tujuan maka yang dimaksud dengan ibadah adalah ibadah dari segi
penciptaan (bukan dari segi taklif/ pembebanan
tugas)�.
Keberatan yang diungkap
Thabathaba�I atas nama penolak pendapatnya pun ditangkis oleh ulama itu. Dia
menulis bahwa :
Keberatan
di atas-yakni dalam kenyataan banyak sekali yang tidak beribadah kepada-Nya-
dapat dibenarkan bila yang dimaksud dengan alif
dan lam pada kedua kata al jinn wa al ins adalah alif dan lam yang berarti istighraq
tetapi lil jins sehingga adanya
sebagian dalam kedua jenis makhluk itu yang beribadah sudah cukup untuk
menjadikan tujuan penciptaan mereka adalah beribadah, walau sebagian yang lain
tidak beribadah. Memang kalau semua jenis manusia dan jin -kesemuanya- tidak
beribadah maka tujuan tersebut tidak tercapai. Allah swt. Mempunyai tujuan
dalam penciptaan-Nya bagi jenis manusia sebagaimana Dia pun mempunyai tujuan
bagi setiap anggota jenis itu.
Selanjutnya Thabathaba�I
berpendapat bahwa menjadikan makna ibadah pada ayat di atas dalam arti ibadahtakwiniyah (bukan dari segi taklif) maka ini pun tidak tepat karena
itu adalah sikap semua makhluk. Dengan demikian tidak ada alasan untuk
menjadikan ayat di atas menetapkan tujuan tersebut hanya bagi jin dan manusia, apalagi konteks ayat ini adalah kecaman kepada kaum
musyrikin yang enggan beribadah kepada Allah dengan mematuhi syariat-Nya. Ayat
ini dikemukakan dalam konteks ancaman kepada mereka atas penolakan mereka
terhadap keniscayaan Kiamat, hisab/perhitungan
Allah serta balasan dan ganjaran-Nya, dan itu semua berkaitan dengan ibadah taklifiyah yang di syariatkan bukan takwiniyah.
Akhirnya Thabathaba�I
menyampaikan pendapatnya:
Bahwa
yang dimaksud dengan menciptakan mereka untuk beribadah adalah menciptakan
mereka memiliki potensi beribadah. Ibadah
yang dimaksud adalah kehadiran dihadapan Allah Rabbul �Alamin dengan kerendahan
diri dan penghambaan kepada-Nya serta kebutuhan sepenuhnya kepada Tuhan Pemilik
Kemuliaan Mutlak dan Kekayaan Murni sebagaimana �boleh jadi- difahami dari
fiman-Nya QS. Al Furqan, 25:77 :
قُلْ مَا
يَعْبَأُ
بِكُمْ
رَبِّي
لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ
فَقَدْ
كَذَّبْتُمْ
فَسَوْفَ يَكُونُ
لِزَامًا
Katakanlah (kepada orang-orang musyrik):
"Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu.
Hakikat ibadah adalah menempatkan diri seseorang dalam kedudukan kerendahan
dan ketundukan serta mengarahkannya ke arah maqam Tuhannya. Inilah yang
dimaksud oleh mereka yang menafsirkan kata ibadah
dengan ma�rifat yang dihasilkan
oleh ibadah. Yang dimaksud dengan tujuan
yakni bertujuan memberi kesempurnaan bagi ciptaan bukan bagi sang pencipta.
Sayyid Quthub[34]
menegaskan ayat tersebut walaupun sangat singkat namun mengandung hakikat yang
besar dan agung. Ibadah bukan hanya terbatas pada pelaksanaan tuntunan ritual,
karena jin dan manusia tidak menghabiskan waktunya untuk kegiatan tersebut.
Mereka diwajibkan melaksanakan aneka
kegiatan yang lain yang menyita sebagain besar hidup mereka. Memang kita tidak
dapat mengetahui persis batas-batas dari aktivitas yang bebankan kepada jin.
Tetapi kita dapat mengetahui batas-batas yang diwajibkan kepada manusia yaitu
memakmurkan bumi, mengenal potensinya dan perbendaharaan yang terpendam di
dalamnya. Sayyid Quthub menyimpulkan hakikat ibadah mencakup dua hal pokok:
Pertama:
Kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan.
Kemantapan perasaan bahwa ada hamba ada Tuhan, hamba yang patuh dan Tuhan yang
disembah (dipatuhi). Tidak selainnya. Tidak ada dalam wujud ini kecuali satu
Tuhan dan selain-Nya adalah hamba-hamba-Nya.
Kedua: Mengarah
kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan
setiap gerak dalam hidup. Semuanya hanya mengarah kepada Allah secara tulus.
���� Dan menjadikan setiap amal bagaikan ibadah
ritual dan setiap ibadah ritual
serupa dengan memakmurkan bumi, memakmurkan bumi serupa dengan jihad di jalan Allah dan jihad seperti kesabaran menghadapi
kesulitan dan ridla menerima ketetapan-Nya semua itu adalah ibadah.
Berdasarkan pendapat para mufasir, ibadah bukan
hanya sekedar melaksanakan aktivitas maghdhah
dan ghair maghdhah tapi bisa lebih
jauh dari itu, yaitu menghadirkan Allah dengan kerendahan diri karena kita
butuh terhadap-Nya dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia.
c. Tujuan Ibadah Bagi Manusia
�������� Menurut
Khairullah� menyatakan Ibadah pada
hakikatnya dalam rangka tiga hal yaitu membina diri, mensucikan diri, dan
mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, perbuatan baik, dan perbuatan
berpahala. Yang dimaksud dengan membina diri adalah mendidik dirinya untuk
membina hubungan dengan sesama, lingkungan dan penciptanya. Sedangkan yang
dimaksud dengan mensucikan diri adalah mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan
kotor, mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor, dan membersihkan diri
dari perbuatan dosa. Yang di maksud dengan mengisi diri dengan sifat-sifat
terpuji, perbuatan baik, dan perbuatan berpahala adalah menjaga husbungan baik
dengan diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan Allah.
3.
Implikasi Tugas Dan Kewajiban Hidup Manusia
Terhadap Pendidikan
Quraish Shihab[35]
menyatakan bahwa manusia merupakan kesatuan dua unsur pokok, yang tidak dapat
dipisahkan karena bila dipisahkan maka bukan manusia lagi. Sebagaimana air yang
merupakan perpaduan antara oksigen dan hydrogen dalam kadar-kadar tertentu.
Bila kadar oksigen dan hydrogen dipisahkan maka ia tidak akan menjadi air lagi.
Adapun manusia adalah kesatuan antara jasmani dan Ruh Ilahi (akal dan
Ruhani).
Berkenaan pandangan di atas maka pendidikan harus dibangun atas landasan
yang benar dari pandangan dunia tauhid. Moh Irfan [36]
menyatakan �pendidikan dalam pandangan tauhid adalah pendidikan yang
berlandaskan nilai-nilai Ilahiah (teologis)
sebagai landasan etis-normatif dan nilia-nilai insaniah (antropo-sosiogis) dan alamiah
(kosmologis) sebagai basis praksis-operasional�. Berdasarkan perspektif
tersebut dapat diambil formulasi bahwa pendidikan berfungsi untuk
mentransformasikan setiap individu anak didik menjadi manusia tauhid, yaitu
memiliki sifat-sifat mulia dan komitmen kepada penegakan kebenaran dan
keadilan.� Manusia tauhid manusia yang
memiliki jiwa Laa ilaaha illa Allah, �sebagai inti tauhid. Moh Irfan[37]
menyatakan berbagai atribut manusia tauhid yang diharapkan lahir dari rahim
pendidikan adalah:
Pertama, memiliki komitmen utuh, tunduk, dan patuh pada Allah. Ia berusaha secara
maksimal mejalankan pesan dan perintah Tuhan sesuai dengan kadar kemampuannya.Kedua, menolak segala pedoman dan
pandangan hidup yang bukan datang dari Allah.Ketiga, bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian
terhadap kualitas hidupnya, adat istiadat, tradisi, dan faham hidupnya.Keempat, tujuan hidupnya amat jelas.
Ibadahnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya selalu ditujukan untuk dan demi
Allah semata. Kelima, manusia tauhid memiliki visi dan misi yang jelas
tentang kehidupan yang harus dibangun bersama-sama manusia lainnya, yaitu suatu
kehidupan yang baldatun thayyibatun wa
rabbun ghaffur.
Berdasarkan pandangan di atas pendidikan dalam kerangka tauhid harus
melahirkan dua kemestian strategis sekaligus, yaitu menjaga keharmonisan untuk
meraih kehidupan yang abadi dalam hubungannya dengan Allah serta melestarikan
dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan dalam hubungannya dengan alam
lingkungan dan sesamanya. Dengan kata lain pendidikan diarahkan pada dua
dimensi yaitu dimensi ketundukan vertical dan dialektika horizontal. Pada
dimensi pertama pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran dan
mengembangkan pengertian tentang asal-usul, tujuan, tugas dan kewajiban manusia
dalam mencapai hubungan dengan Allah. Sedangkan dimensi berikutnya pendidikan
hendaknya mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkrit yaitu kehidupan
manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan sosialnya. Pada dimensi
ini manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia riil dengan
seperangkat kemampuan yang dimiliki (pengetahuan, keterampilan, moral dan
kepribadian). Kemampuan-kemampuan ini tidak lain hanya bisa diperoleh dari proses
pendidikan.
Pendidikan pada dasarnya adalah proses rekayasa atau rancang bangun
kepribadian manusia. Maka kedudukan manusia dalam proses pendidikan menjadi
sangat sentral. Begitu sentralnya kedudukan manusia dalam proses pendidikan
maka fungsi pendidikan terutama berkepentingan mengarahkan manusia pada
tujuan-tujuan tertentu dan menemukan tujuan hidup, tugas hidup dan kewajiban
hidupnya.
Moh. Irfan[38]
menyatakan, Islam menawarkan konsep positif-optimistik tentang manusia.
Pertama, al Quran secara kategorikal mendudukan manusia ke dalam dua fungsi
pokok yaitu sebagai �Abd Allah (hamba
Tuhan) dan khalifat Allah fi al ardh
(duta Tuhan di muka bumi). Konsep �Abd
Allah mengacu pada tugas-tugas manusia sebagai hamba Allah. Ini diwujudkan
dengan bentuk pengabdian yang bersifat ritual kepada Allah (ibadah). Sementara predikat khalifah Allah yang diberikan kepada
manusia seolah-olah Allah mempercayakan kekuasaan-Nya kepada manusia untuk
mengatur bumi ini. Dengan demikian manusia harus mempertanggung jawabkan segala
tugas dan kewajibannya hanya kepada Allah swt.
Menggunakan kerangka pandang tersebut, konsep khalifah menjadi relevan
untuk pemberdayaan fungsi kemanusiaan manusia sebagai makhluk historis.
Berdasarkan kerangka pemikiran ini juga maka pendidikan dapat diartikan sebagai
proses penyadaran akan fungsi-fungsi, tugas dan kewajiban manusia sebagai �Abd Allah dan khalifah Allah. Pelaksanaan fungsi manusia sebagai hamba dan
khalifah tidak boleh dipertentangkan tetapi ditempatkan sebagai satu kesatuan
dalam paradigma tauhid. Keduanya memerlukan hubungan dialektika yang akan
mengantarkan manusia pada puncak eksistensi manusia.
Dengan demikian bangunan pendidikan semestinya dilandasi dan sekaligus
hendak mengarahkan manusia pada tiga pola hubungan fungsional, yaitu manusia
dengan Allah (hablun min Allah, �aspek teologis), hubungan manusia dengan
sesamanya (hablun min al nas, aspek
antropo-sosiologis), dan hubungan manusia dengan alam (hablun min al alam, aspek kosmologis). Dalam bahasa yang mudah
dimengerti hubungan pertama disebut keberagamaan, hubungan kedua disebut
kebersamaan, dan hubungan ketiga disebut kemitraan.
Rasulullah saw.
bertindak sebagai penerima Al Quran dan bertugas untuk menyampaikan
petunjuk-petunjuk tersebut, yaitu menyucikan dan mengajarkan manusia.
Menyucikan dapat diidentikan dengan mendidik sedangkan mengajar tidak lain
kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan
jasmani, akal dan ruhani.� Tujuan yang
ingin dicapai dari penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada
Allah sejalan dengan kewajiban hidup manusia yang ditegaskan oleh Al Quran
dalam surat Al Dzariyat 56: Aku tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk
menjadikan tujuan akhir segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepada-Ku.
Aktivitas yang dimaksud
adalah yang terkandung dalam QS. Al Baqarah ayat 30: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan khalifah di muka bumi, dan QS Hud 61: Dan dia menciptakan kamu dari
tanah dan menugaskan kamu untuk memakmurkannya. Artinya manusia yang dijadikan
khalifah oleh Allah bertugas untuk memakmurkan atau membangun bumi sesuai
dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan-Nya, yaitu Allah.
Atas dasar inilah, tujuan pendidikan
dalam al Quran merancang manusia dengan cara membina secara pribadi dan
kelompok agar mampu menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai khalifah dan
hamba Allah guna membangun dunia sesuai dengan yang ditetapkan Allah. Manusia
yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani). Pembinaan ruhani menghasilkan kesucian
dan etika, pembinaan akal menghasilkan ilmu, dan pembinaan jasmani menghasilkan
keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut terciptalah makhluk yang
seimbang dunia dan akhirat, ilmu dan iman.
Berdasarkan pandangan di atas, sesungguhnya pendidikan merupakan basis yang
kokoh bagi pengembangan pendidikan yang lebih manusiawi. Dalam konteks makro
pendidikan, pandangan manusia setidaknya mengandung empat implikasi mendasar,
yaitu:
Pertama, implikasi yang berkaitan dengan visi dan orientasi pendidikan di masa depan. Berdasarkan konsep fitrah, pendidikan menurut pandang Islam adalah pendidikan yang diarahkan pada upaya optimalisasi dasar manusia secara keseluruhan. Pendidikan bukan hanya diarahkan semata-mata untuk pengembangan manusia pada materi yang menekankan aspek akal dan jasmani. Demikian juga pendidikan bukan hanya pengayaan aspek ruhani demi tercapainya manusia yang shaleh. Islam menolak pendidikan yang sifatnya dualism dikotomik yang melihat manusia secara parsial. Karena muatan pendidikan yang mementingkan salah satu aspek akan menghasilkan kepribadian yang pecah (split of personality). Kecenderungan ini akan mengakibatkan kepribadian yang hampa, pintar secara akal tetapi kering secara ruhani. Siswa akan tumbuh menjadi pribadi yang objektif dan terlepas dari nilai-nilai moralitas, spiritual dan religiusitas. Karena itu pendidikan merupakan upaya rekayasa manusia atau merancang bangun manusia maka harus berjalan secara simultan, sistemik dan relasional dalam rangka keutuhan manusia sesuai dengan fitrahnya.
Implikasi kedua terletak pada tujuan (ultimate goal) pendidikan. Tujuan pendidikan hendaknya diarahkan
pada ketercapaian tujuan, kewajiban dan tugas hidup manusia dalam al Quran,
yaitu mardhotillah, Abd Allah, dan
Khalifah fi al ardh. Banyak para ahli khususnya para ahli pendidikan Islam
merumuskan tujuan pendidikan, misalnya Syeh Naquib al Attas menghendaki tujuan
pendidikan Islam adalah manusia yang baik (shaleh). Sementara menurut Munir�
Mursyi melahirkan manusia yang sempurna (insan kamil). Athiyah al Abrasyi menghendaki manusia yang berakhlak
mulia (akhlak al karimah). Abdul
Fattah Jalal menghendaki terwujudnya manusia sebagai hamba Allah (�abd Allah) sebagai hasil proses
pendidikan. Ahmad D. Marimba menghendaki manusia yang berkepribadian muslim.
Tujuan pendidikan yang dihekendaki para ahli pendidikan Islam sangat ideal
dan memiliki makna yang luas dan mendalam. Oleh karena itu kalimat yang
digunakan oleh mereka bersifat abstrak maka harus diturunkan pada kata-kata
operasional yang mendekati tujuan yang dikehendaki. Apapun kalimatnya, tujuan
pendidikan diorientasikan pada proses pengembangan kepribadian yang utuh dan
seimbang sebagaimana tujuan pendidikan bukan hanya sekedar konsep abstrak
tetapi menemukan keberartian yang konkrit dalam kehidupan manusia. Dalam
konteks pendidikan, kepribadian yang seimbang akan tercapai bila terpenuhinya
aspek-aspek secara seimbang yaitu jasmani
dan Ruh Ilahi atau� fisik-biologis
dan mental-moral-spiritual.
Implikasi ketiga dari pandangan kemanusiaan di atas adalah muatan
materi. Materi pendidikan yang merupakan bagian dari kurikulum merupakan suatu
sistem nilai
yang seharusnya diberikan dan disosialisasikan serta ditransformasikan sehingga
menjadi hak milik anak didik. Materi pendidikan secara garis besar hendaknya di
desain untuk membentuk manusia yang sadar akan tujuan, kewajiban dan tugas
hidupnya sebagai manusia, yaitu fungsi ibadah dan khalifah. Dengan demikian
materi pendidikan materi yang sifatnya utuh untuk faham tauhid.
�Implikasi keempat, metodologi pendidikan. Metode yang digunakan
harus dipilih dan ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik manusia yang
bertauhid. Yaitu metode yang dapat membimbing anak didik mengembangkan potensi
dirinya (fitrah) untuk memenuhi
kodratnya sebagai �abd Allah dan
khalifat Allah fi al ardh. Bimbingan
artinya kesediaan berdialog dengan anak didik dengan penuh kesabaran dan
ketelatenan. Oleh karena itu bimbingan sebagai aplikasi metodologis harus
memberikan alternative, selain memberi keleluasaan kepada anak didik untuk memilih yang
lurus untuk kehidupan masa depan.�
Implikasi
kelima, guru yang bertauhid. Guru merupakan ujung tombak
pendidikan. Sehebat apapun materi pendidikan harus diimbang oleh guru yang
memiliki ruh tauhid. Guru yang hidup dan matinya hanya untuk Allah. Guru yang
tujuan hidupnya untuk mendapatkan keridhoan Allah. Ini menjadi modal yang
sangat utama karena menjadi guru merupakan panggilan jiwa. Dia tidak berfikir
pada sisi financial, adapun yang ia peroleh adalah efek dari yang sudah dia
kerjakan.
C.
Penutup
Pendidikan
merupakan rekayasa insaniah yang
harus berjalan secara simultan, sistemik dan relasional dalam kerangka keutuhan
manusia sesuai dengan fitrahnya. Dengan demikian pendidikan merupakan proses
penyadaran akan fungsi-fungsi kemanusiaan manusia yang memiliki tugas dan
kewajiban sebagai �bd Allah dan khalifah Allah.� Oleh karena itu pendidikan diorientasikan
pada proses pengembangan kepribadian yang utuh dan seimbang sebagaimana tujuan
pendidikan bukan hanya sekedar konsep abstrak tetapi menemukan keberartian yang
konkrit dalam kehidupan manusia. Konsep tugas dan kewajiban manusia harus
berimplikasi terhadap proses pendidikan, yaitu visi dan orientasi pendidikan,
tujuan, materi atau kurikulum, dan metodologi yang diterapkan. Sehingga akan
memperoleh kepribadian yang seimbang yaitu terpenuhinya domain-domain secara
seimbang yaitu fisik-biologis dan mental-moral-spiritual.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir Al Quranul Majid An Nuur.
Semarang: Pustaka Rizki Putra. Vol I. III.
Depag, RI.2011.Al
Quran Tajwid Dan Terjemah.. Bandung: Diponegoro.
Irfan, Mohammad. 2003. Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam.
tanpa kota: Friska Agung Insani. cet. II.
Khairullah. 2011. Peran Manusia. Artikel.
Nazir, M. 2003. Metode
Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Cet.ke-5.
Shihab, Quraish. 1995. Membumikan Al Quran: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat.
Bandung: Mizan. Cet. III
Shihab, Quraish. 2004. Membumikan Al Quran: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat.
Bandung: Mizan. Cet. XXVIII
Shihab, Quraish. 2008. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al Quran. Jakarta:
Lentera Hati. Cet. X. Vol. I, IV, V, VI, IX, XIII, XV.
Shihab, Quraish. 2013. Wawasan Al Quran, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan
[1] Depag RI,2011 :478
[2] Depag RI,2011 :279
[3] Quraish Shihab.
Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al Quran. (Jakarta: Lentera
Hati, 2008) hlm. 270
[4]� Depag RI, 2011: 341
[5] Quraisy
Sihab��.hlm.267
[6] Mohammad Irfan,� Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam. (tanpa kota: Friska Agung Insani, 2003), hlm. 65.
[7] Shihab, Quraish. Membumikan
Al Quran: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: Mizan. Cet. III, 1995), hlm. 156-157.
[8] Depag
RI.,2011:6
[9] Depag
RI.,2011:363
[10] (Depag
RI.,2011:165)
[11] Quraisy
Shihab, membumikan� �hlm.157
[12] Quraish Shihab, Tafsir
Al Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al Quran. (Jakarta: Lentera Hati, 2008), hlm. 142
[13] Quraisy Shihab,
Tafsir Al-misbah�.hlm. 373
[14] Quraisy Sihab, Membumikan�.hlm.
157
[15] Quraisy Sihab, Membumikan
�hlm. 157-158
[16] Quraisy Shihab, tafsir al misbah�hlm. 373-374.
[17] Quraisy Shihab, tafsie al-misbah�hlm.374
[18] Quraisy Shihab, Tafsir al-misbah�hlm379.
[19] Qraisy Sihab, Membumikan�hlm.
158�
[20] Quraisy Shihab, Membumikan�hlm.163.
[21] Q.S. Al Baqarah, ayat 124.
[22] .Q.S. �Al Furqan, ayat 74.
[23] Quraish Shihab, Membumikan�hlm. 165.
[24] Quraish Shihab, Membumikan�hal. 1635
[25] Quraish Shihab , Membumikan,�.hal. 166.
[26] QS. Adz dzariyat 51: 56
[27] QS. An Nuur, 24:55
[28] QS. Huud, 11:61
[29] QS. al Bayinah, 98:5
[30] Shihab , Tafsir Al-Misbah�hlm. 355
[31] Quraisy Sihab,
Tasfsir�.hlm 356.
[32] Quraisy Sihab,
Tasfsir�.hlm 356.
[33] Quraish Shihab, TAfsir�..hlm. 357.
[34] Quraish Shihab, Tafsir�.hlm. 360
[35] Quraish
Shihab, Wawasan
Al Quran, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 372-373)
[36] Mohammad Irfan, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam. (tanpa kota: Friska Agung Insani. cet.
II. 2003) hlm.109
[37] Muhammad Irfan,
Teologi�hlm. 109.
[38] Nohammad Irfan,
Teologi�hlm. 133.