PENDIDIKAN ISLAM
DALAM PERSPEKTIF KULTURAL
Jajat Darojat
(Dosen
Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon)
Abstrak
Pada
dasarnya proses pendidikan merupakan bagian dari kegiatan untuk membentuk
konstruksi kultural masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
egalitarianisme, keadilan, demokratis, dan seterusnya. Pendidikan sebagai
institusi sosial memberikan peran terhadap trasformasi dan internalisasi
nilai-nilai kultural masyarakat. Sehingga proses konstruksi kultural masyarakat
tersebut menjadi bagian dari semangat untuk membentuk masyarakat pancasilais.
Maka, pendidikan tidak layaknya �menara gading� yang menjauhkan diri dari
realitasnya. Karena pendidikan sendiri tidak akan terlepas dari suatu fakta
sosial. Karena itu, menurut ahli sosiologi pendidikan, terdapat relasi
resiprokal (timbal balik) antara pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat
yaitu dapat menumbuhkan nalar kritisisme sosial. Pendidikan islam harus mampu
beradaptasi sekaligus bersinergi dengan social wisdom yang dalam
realitasnya memungkinkan sangat beragam. Beragam kultur
yang muncul di masyarakat diposisikan sebagai sumber sekaligus orientasi islam,
agar pendidikan islam terus eksis dan diterima oleh masyarakat.
Key Word:
Insan, Basyar, Pendidikan Islam, Kultural
A.
Pendahuluan
Dalam suatu perkembangan sosial, secara alamiah masyarakat akan mengalami perubahan. Namun, apakah perkembangan sosial tersebut akan mengarah kepada perubahan yang bersifat konstruktif atau pada yang bersifat destruktif. Arah perubahan sosial-masyarakat tidak terlepas dari adanya peran pendukung pendidikan yang merupakan bagian dari sub-sistem sosial. Apabila mencermati kondisi pendidikan di Indonesia, sebenarnya telah mengalami pembaharuan.Tujuan pembaharuan itu adalah untuk menjaga agar pendidikan tersebut tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi persoalan-persoalan sosialnya. Namun apakah dalam pembaharuan pendidikan tersebut pada wilayah kualitatif (mutu) ataukah pada wilayah kuntitatif, yakni hanya sebatas pemenuhan kebutuhan kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya. Sampai saat ini, pendidikan masih terkungkung di dalam paradigma-paradigma yang tunduk kepada kekuasaan yang otoriter. Karena sistem pendidikan pada saat ini masih dimiliki oleh golongan masyarakat tertentu. Patut diakui bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia secara kuantitatif mengalami kemajuan, tetapi pemberdayaan masyarakat secara luas dan merata sebagai cermin dari keberhasilan pendidikan belum nampak sampai hari ini.
Pendidikan merupakan suatu proses pemberian manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri.[1] Maka, pendidikan adalah bagian dari kegiatan sosial masyarakat yang tidak terpisahkan. Pendidikan merupakan faktor penting bagi kehidupan masyarakat. Pendidikan menjadi salah satu faktor perubahan pola kehidupan masyarakat. Namun, jika pendidikan sudah berada pada posisi sebagai alat hegemoni penguasa yaitu sebagai cara atau metode dalam mempertahankan status quo. Akibatnya sistem pendidikan kemudian dijadikan salah satu instrumen untuk menciptakan safety net bagi pelestarian kekuasaan. Sedangkan visi dan misi pelestarian kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket dan inilah penyembab kesenjangan terhadap pendidikan.[2] Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang holistic serta mampu membawa manusia pada keterbukaan dunia secara universal. Sehingga tahap akhir dari proses pendidikan adalah menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya baik internal (self) maupun lingkungannya (problem solving).
Kondisi pendidikan Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendidikan nasional, karena pendidikan Islam sendiri merupakan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan Islam mempunyai peran dan posisi yang sangat strategis dalam pola perubahan masyarakat. Pendidikan Islam setidaknya mengorientasikan �diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat sebagai konsekuensi logis dari perubahan. Menurut para ahli sosiologi pendidikan, terdapat relasi resiprokal (timbal-balik) antara dunia pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat. Relasi ini bermakna bahwa apa yang berlangsung dalam dunia pendidikan merupakan gambaran dari kondisi yang sesungguhnya di dalam kehidupan masyarakat yang kompleks. Demikian juga sebaliknya, kondisi masyarakat baik dalam aspek kemajuan, peradaban dan sejenisnya, tercermin dalam kondisi dunia pendidikannya. Oleh karena itu, majunya dunia pendidikan dapat dijadikan cermin majunya masyarakat, dan dunia pendidikan yang amburadul juga dapat menjadi cermin terhadap kondisi masyarakatnya yang juga penuh persoalan.[3]
Pada era reformasi ini, pendidikan nasional ditekankan untuk membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya Indonesia. Untuk mencapai cita-cita tersebut, pendidikan hendaknya didasarkan pada paradigma-paradigma baru yang bertujuan untuk membentuk suatu �masyarakat madani� yang demokratis. Pendidikan harus bertolak dari pengembangan manusia Indonesia yang berbudaya dan berperadaban, merdeka, bertakwa, bermoral dan berakhlak, berpengetahuan dan berketerampilan, inovatif dan kompetitif, sehingga dapat berkarya secara profesional dalam kehidupan global menuju masyarakat madani Indonesia.[4]
Pembicaraan mengenai pendidikan akan selalu hangat untuk diperbincangkan. Dalam kajiannya tidak akan menemukan titik final karena dalam setiap kondisi ataupun situasi akan selalu berubah. Oleh karena itu, pendidikan akan menjadi pembahasan yang selalu up to date untuk diperbincangkan. Sebagai respons terhadap perubahan-perubahan tersebut maka pendidikan dibutuhan penyegaran kembali dalam orientasi maupun tujuan dari pendidikan itu sendiri. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya untuk merekonstruksi, reorientasi, serta restrukturisasi pendidikan sehingga lebih realistik dan sesuai dengan konteks perkembangan dan perubahan masyarakat. Sebab, bagaimanapun sederhananya suatu proses pendidikan, ultimate goal-nya harus diarahkan pada tujuan yang lebih mulia, yakni membuat manusia benar-benar menjadi manusia. Berbagai persoalan dalam situasi sosial masyarakat saat ini, menjadi fakta bahwa pendidikan belum menemukan problem solver-nya. Oleh karena itu untuk menghasilkan suatu pandangan dan kesimpulan yang tersistematis, maka perlu adanya pembahasan yang sistematis pula dan terstruktur dalam merumuskan kembali orientasi dan tujuan pendidikan. Sebagai awal pembahasan dalam merumuskan suatu tujuan dan orientasi pendidikan maka terlebih dahulu diawali dengan menelaah si pelaku dari proses pendidikan tersebut. Pendidikan merupakan suatu yang inheren dalam kehidupan manusia. Karena itu manusia sebagai pelaku dari proses pendidikan menempatkan dirinya sebagai tujuan dari proses pelaksanaan pendidikan tersebut. Dengan demikian langkah awal yang ditempuh dalam merumuskan orientasi dan tujuan pendidikan adalah menelaah hakikat dari manusia itu sendiri.
B.
Pembahasan
1. Manusia dalam Perspektif Islam
Al-Qur�an memperkenalkan kata kunci untuk memahami
manusia secara komprehensif. Kata kunci tersebut adalah Insan, al-Basyar, dan bani
Adam. Kata Insan yang bentuk
jamaknya al-Nas dari segi sematik
atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari asal kata Anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui, dan meminta izin.
Atas dasar ini kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial
antara manusia dengan kemampuan penalaran.Yakni dengan penalaran itu manusia
dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui
apa yang benar dan apa yang salah. Adapun kata Basyar sendiri dimaknai sebagai penyebutan semua makhluk, baik
laki-laki maupun perempuan, baik secara individual maupun kolektif. Kata Basyar adalah jamak dari kata Basyarah yang artinya permukaan kulit
kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.[5] Kata basyar juga terjelaskan
dalam Q.S. al-Hijr yakni makhluk fisik-biologis. Jasad atau fisik manusia asal
mulanya dari tanah, dan setelah berproses lalu terbentuklah menjadi manusia.
Sebagai makhluk biologis kejadiannya hampir sama dengan makhluk biologis
lainnya terutama jenis binatang mamalia, yaitu dari nutfah, �alaqah kemudian
mudhghah (embrio) dan akhirnya terbentuklah janin, yang strukturnya
secara gradual lebih sempurna dari binatang (Q.S at-Tin: 4 dan al-Mukminun:
13-14).[6]
Imam al-Ghazali dalam karya yang monumentalnya �Ihya Ulumuddin� mengulas seputar
konsepsi manusia, berpendapat bahwa esensi manusia terdiri dari empat bagian,
yaitu; hati, ruh, jiwa dan akal.[7]
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal memungkinkan manusia untuk berpikir
dan selalu mencari kebenaran. Karena itu, menurut al-Ghazali, salah satu faktor
sifat kodrati manusia adalah tidak pernah berhenti bertanya dalam mencari
kebenaran. Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Semakin jauh rahasia
alam yang bisa diselidiki, semakin banyak pula daerah misteri yang tidak
diketahui, dan semakin tinggi kekagumannya kepada Allah, mysterium,
tremendum et fascinosum. Manusia sadar akan kodratnya sebagai makhluk yang
tidak mau berhenti mencari kebenaran.[8]
Maka, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang
menyejarah dan mampu belajar serta beradaptasi dengan lingkungannya. Karena
itu, manusia merupakan makluk sosial yang tidak bisa berdiri sendiri (makluk
individual). Manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi dalam kehidupan sosial. Kemudian selain itu juga manusia mempunyai tata
etnik, aturan, peradaban dan tentunya sebagai makhluk yang mempunyai
budaya.Inilah kemudian yang menjadi perbedaan manusia dengan makhluk lain,
diberikan kesempurnaan akal pikiran dan hati. Artinya dengan kedua anugrah yang
diberikan tersebut, manusia mempunyai kewajiban untuk mengembangkan potensi
positif sehingga berkembang secara optimal. Maka pengembangan potensi yang
dimiliki manusia tersebut tiada lain adalah melalui proses pendidikan.
Hasan Langgulung, sebagaimana ia menjelaskan dalam
bukunya yang berjudul �Manusia dan Pendidikan� bahwa potensi-potensi manusia
menurut pandangan Islam tersimpul dalam al-Asma� al-Husna, yaitu
sifat-sifat Allah yang berjumlah 99 itu. Pengembangan sifat-sifat ini pada diri
manusia itulah ibadat dalam arti kata yang luas, sebab tujuan manusia
diciptakan adalah untuk menyembah Allah. Untuk mencapai tingkat menyembah Allah
ini dengan sempurna, haruslah sifat-sifat Tuhan yang terkandung di dalam
al-Asma� al-Husna itu dikembangkan sebaik-baiknya pada diri manusia. Dan
itulah dia pendidikan menurut pandangan Islam. Misalnya, sifat suci (al-Qudus).
Untuk mengembangkan kesucian, manusia diperintahkan untuk mengerjakan ibadat
formal yang terdiri dari rukun Islam yang lima; Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa,
dan Haji. Syahadat bertujuan mensucikan niat dan pikiran manusia dari segala
syirik. Shalat, hendaklah didahului oleh kesucian badan, dan seterusnya. Hati
juga harus suci dari riya� atau sifat pura-pura, supaya jangan termasuk
golongan munafiq. Zakat adalah usaha mensucikan harta dari segala yang tidak
halal. Begitu juga dengan puasa dan haji. Pendeknya untuk mengembangkan sifat
suci itu pada diri manusia, dia harus mengerjakan ibadat formal. Menurut
pandangan filosof-filosof Islam, sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99 itu
merupakan potensi-potensi manusia yang harus dikembangkan dengan wajar dan
sempurna. Oleh
karena itu bukan hanya kekuatan jasmani saja yang dikembangkan dalam proses
pendidikan akan tetapi sifat-sifat kerohaniannya juga perlu diperhatian.[9]Lebih
lanjut lagi, menurut Azyumardi Azra, pada dasarnya manusia merupakan makhluk
teomorfis, artinya dibalik keterbatasan dan kelemahannya ia memiliki sesuatu
yang ada di dalam dirinya, yaitu sifat-sifat ke-Tuhanan. Tetapi dengan kerangka
berpikir demikian, tidaklah mengisyaratkan pemanusiaan Tuhan (antromorfisasi),
karena bagaimanapun juga zat Tuhan tetap abadi dan kekal, lain halnya dengan
manusia yang zatnya berubah serta zatnya tidak abadi.[10]
Kaitan mengenai potensi manusia yang disebutkan
tersebut, maka penciptaan manusia mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu salah
satunya adalah khalifah. Oleh karena itu potensi tersebut merupakan
modal dasar untuk berperan sebagai khalifah (wakil Allah) di bumi.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai wakil Allah, kemampuan dan kewenangan yang
diperoleh sebagai akibat dari potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut harus
dipertanggungjawabkan kepada-Nya.[11]Oleh
karena itu, salah satu dimensi kemanusiaan yang penting dikaji dalam
hubungannya dengan proses pendidikan adalah fitrah. Sebab pendidikan pada
hakikatnya merupakan aktifitas dan usaha manusia untuk membina dan
mengembangkan potensi-potensi pribadinya agar berkembang seoptimal mungkin.
Secara etimologis, fitrah berarti bersih dan suci. Sebagaimana disinggung
sebelumnya, Hasan Langgulung mengartikan fitrah sebagai potensi yang baik. Hal
ini berdasarkan analisis terhadap hadits Nabi berikut;
�Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci (dari
segala dosa dan noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga jelas bicaranya.
Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau
Majusi.� (HR.
Abu Ya�la, al-Thabrani, dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari).[12]
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan
bentuk raga yang sebaik-baiknya, dan berbagai kesempurnaan anugrah lain seperti
akal pikiran dan hati. Dalam al-Qur�an dinyatakan bahwa Allah menciptakan
manusia dengan suatu tujuan dan fungsi yaitu, manusia sebagai Khalifah dan Abd (pengabdi Allah). Menurut Musthafa al-Maraghi, kata Khalifah
memiliki dua makna yaitu, Pertama,
adalah pengganti Allah untuk melaksanakan titah-Nya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang
kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya dan
memakmurkan alam bagi kepentingan manusia secara keseluruhan. Sedangkan arti Abd sendiri adalah mengacu pada
tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah.[13]Tugas
yang kedua ini lebih pada hubungan manusia dengan sang penciptanya. Maka,
pendapat tersebut dapat asumsikan bahwa manusia sebagai makhluk yang diciptakan
mempunyai tugas dan fungsi menjalin hubungan hablum min Allah dalam hal ini hubungan manusia dengan Tuhannya
(vertikal), dan hablum min an-nas (horizontal)
yaitu sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan hubungan antara manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam. Tentunya tugas manusia sebagai Khalifah dan Abd adalah sebuah isyarat agar manusia tidak memutuskan kedua
hubungan tersebut.
Pendidikan Islam pada dasarnya berangkat dan
berorientasi pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik dan realistik.
Sebab, bagaimanapun sederhananya suatu proses pendidikan, ultimate goal-nya� haruslah
diarahkan pada tujuan yang lebih mulia.Yakni membuat manusia benar-benar
menjadi manusia dengan melaksanakan proses pendidikan yang memanusiakan
manusia. Untuk mengoptimalkan serta mengaktualisasikan potensi dasar kemanusian
itu menjadi inti kegiatan tarbiyah
Islamiyah. Menurut Marwah Daud Ibrahim, pendidikan yang baik dan yang
paling benar adalah upaya paling strategis serta efektif untuk membantu
mengoptimalkan dan mengaktualkan potensi kemanusiaan. Potensi dasar manusia
merupakan suatu yang given, dan semua
makhluk manusia diberi potensi dasar yang sama oleh Allah.[14]Karena
itu untuk mencari serta menemukan paradigma baru pendidikan Islam yang
humanistik, pekerjaan paling awalnya adalah menelaah manusia itu sendiri. Baru
kemudian menelaah konstelasi pendidikan Islam agar bisa menemukan hubungan
keduannya. Hal inilah yang mendasari mengapa pembahasannya dimulai dengan
menelaah konsep manusia. Oleh karena itu, secara garis besar tujuan diciptakan
manusia adalah;
a.
Tujuan utama diciptakan manusia adalah agar manusia beribadah kepada
Allah (Q.S. az-Zariyah: 56)
Pengertian ibadah disini sangatlah luas,
namun kepatuhan sepenuh hati untuk taat kepada Allah adalah sebagai tolak
ukurnya. Meliputi berbagai amal perbuatan yang ditujukan karena Allah untuk
mencari ke-ridlaan Allah, garisnya amal saleh. Menurut
Abdul A�la Maududi mengemukakan tentang luasnya lapangan ibadah dalam Islam.
Ia menjelaskan bahwa segala perbuatan manusia dalam
interaksi sosialnya yang bentuknya tolong menolong, saling membantu, saling
menghargai, serta perbuatan lain yang sifatnya positif atas dasar taat kepada
Allah, maka perbuatan itu termasuk dengan ibadah.
b.
Manusia dicipta untuk berperan sebagai wakil Tuhan dimuka bumi (Q.S.
al-Baqarah: 30, Yunus: 14, al-An�am: 165)
Karena Allah Zat menguasai dan memelihara
alam semesta (Rabbul
�alamin), maka
tugas utama manusia sebagai wakil Tuhan adalah menata dan memelihara serta melestarikan
dan menggunakan alam sebaik-baiknya untuk kesejahteraan hidupnya. (Q.S. Hud:
61) Jabatan sebagai Khalifatullah
ini merupakan anugrah tetapi sekaligus sebagai amanat. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam kaitannya kekhalifahan ini
harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
c.
Manusia diciptakan untuk membentuk masyarakat manusia yang saling
kenal-mengenal, hormat-menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang
lain (Q.S. al-Hujarat: 13). Jika tujuan penciptaan pertama dan kedua difokuskan
pada tanggungjawab individu, tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan
perlunya tanggungjawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang
damai.[15]
Dalam pandangannya A. Malik Fadjar menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk pengemban amanah kekhalifahan mempunyai potensi yang luar biasa besarnya, sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaban berdasarkan nilai-nilai ilahiyah.[16]Sedangkan menurut Jalaluddin, potensi bawaan (fitrah) tersebut memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.[17]Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan dan mengoptimalkan potensi yang ada pada diri manusia maka hal ini membutuhkan suatu proses humanisasi yaitu melalui proses pendidikan.Manusia adalah makhluk sosial (social human) yang memiliki kemampuan, keinginan, akal pikiran, rasio, dan segala potensi lainnya yang meliputi kemampuan skill. Dalam kategori lain, manusia juga dapat dikatakan sebagai makhluk sosial yaitu makhluk yang memiliki sejarah masa lalu, masa kini, dan akan memiliki masa yang akan datang. Maka, dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk pendidikan (the create education), karena ia senantiasa memiliki pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang didapatkan tersebut akan berpengaruh terhadap segala potensi yang disebutkan di atas tadi, seperti pemikiran, keinginan, kemampuan, bahkan pada karakter manusia itu sendiri.
2. Pendidikan Menurut Pandangan Islam
Berbicara mengenai pendidikan, adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan adalah penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan prilaku.[18] Maka, dapat dikatakan bahwa manusia adalah sebagai subyek dari proses pendidikan. Hal ini dilandasi bahwa proses pendidikan adalah proses untuk memberikan kemampuan kepada individu untuk memberikan makna terhadap diri dan lingkungannya.[19]Dari sudut pandang epistemologi, pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.[20]Pendidikan merupakan proses atau upaya manusia dalam meningkatkan taraf derajat dan martabat manusia dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain bahwa pendidikan adalah salah satu bagian dari kegiatan manusia yang tidak dapat terpisahkan dalam interaksi sosial masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan suatu yang inheren dalam kegiatan manusia sehingga menjadi suatu alat (problem solver) bagi persoalan-persoalan manusia dan kemanusiaan. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan manusia dan realitasnya. Karena manusia adalah sebagai subyek dari proses pendidikan dan realitas merupakan obyek dari proses pendidikan itu sendiri.
Pendidikan merupakan upaya pemberian situasi pada peserta didik. Dalam bahasa Islam sendiri pendidikan memiliki berbagai istilah, seperti
a. Kata kerja rabba yang masdarnya tarbiyyatan memiliki beberapa arti yaitu mengasuh, mendidik dan memelihara.
b. Kata kerja �allama yang masdarnya ta�liman berarti mengajar yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan.
c. Kata kerja addaba yang masdarnya ta�diban dapat diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan peradaban.[21]
Terlepas dari berbagai istilah yang diberikan dalam
memahami dan mengartikan pendidikan. Syed Naquib al-Attas sendiri berpendapat
bahwa dari hasil kajiannya ditemukan istilah ta�dib lebih tepat digunakan dalam konteks pendidikan Islam, dan
kurang setuju terhadap penggunaan istilah tarbiyah
dan ta�lim.[22]Karena
dalam proses pendidikan Islam yang menjadi subyek dari prosesnya adalah
manusia. Oleh karena itu, istilah ta�dib
(membimbing) lebih humanis jika menggunakan istilah pendidikan Islam. Kemudian
selain itu juga, sebagaimana dijelaskan di awal bahwa sifat dasar manusia
adalah sebagai makhluk sosial. Maka tujuan untuk mengembangkan dan
memberdayakan potensi dasar yang dimiliki manusia perlu bimbingan
sertapembinaan sehingga unsur potensi yang dimiliki manusia baik itu jasmani,
intelektual, maupun rohaniah tersebut menjadi berkembang.
Untuk mengembangkan potensi dasar yang dimiliki,
maka manusia membutuhkan adanya bantuan orang lain untuk mengembangkan,
membimbing, mendorong, dan mengarahkan agar potensi tersebut sehingga tumbuh
dan berkembang secara optimal. Dengan begitu mereka akan memenuhi kebutuhan
hidupnya serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik maupun
sosialnya. Pendidikan Islam memandang manusia sebagai struktur organik yang
terdiri dari berbagai dimensi ruhaniah maupun jasmaniah. Dari sudut pandang
ini, pendidikan Islam berperan sebagai wadah pengembangan kedua dimensi
tersebut. Dengan pengertian pendidikan Islam seperti yang dijelaskan di atas
fungsi pendidikan sudah cukup jelas, yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah
dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)
yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.[23]
Menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan umum pendidikan
Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Ia mengatakan bahwa
tujuan ini akan mewujudkan tujuan-tujuan khusus. Dengan mengutip surat
al-Takwir ayat 27,Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia
(Al Qur'an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta Alam). Jadi, menurut
Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia menjadi manusia yang
menghambakan diri kepada Allah. Oleh karena itu menurut Jalal ibadah itu tidak
terbatas pada menunaikan shalat, saum di bulan Ramadhan, zakat, haji, akan
tetapi semua yang mencakup amal, fikiran, dan perasaan yang disandarkan kepada
Allah juga disebut dengan ibadah.[24]Artinya,
jika mengacu pada pengertian atau hakikat dari pada pendidikan adalah suatu
proses yang inheren dalam kehidupan manusia.Maka pendidikan merupakan pengalaman
hidup manusia. Untuk membentuk suatu institusi pengalaman pendidikan yang lebih
konstruktif maka pendidikan tersebut diarahkan pada kepentingan manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan dan manusia sebagai makhluk sosial.
Usaha untuk mencari ketinggian spiritual, moral,
sosial, dan intelektual merupakan inti dari pendidikan Islam. Karena
pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan Islam.[25]Sehingga
muara dari tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia sempurna dimata
Tuhannya (insan kamil) dan manusia
sempurna dimata manusia (insan paripurna) atau �muslim paripurna�.
Karena itu, jika melihat kembali mengenai pengertian-pengertian pendidikan
Islam di atas baik secara etimologi maupun terminologi. Bahwa keberadaan pendidikan Islam
bukan sebatas menyangkut persoalan ciri khas, atau pendidikan yang diberikan
imbuhan kata Islam.Akan tetapi pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan
yang menggunakan nilai-nilai normatif Islam, dengan tujuan, metode, kurikulum,
dasar, dan lainnya berlandaskan dan berpedoman pada al-Qur�an dan al-Sunnah.
Melihat kebutuhan akan suatu� proses pendidikan, manusia dituntut untuk
selalu menjadi subyek yang mampu mengubah realitas dan eksistensialnya, bahkan
menjadi makhluk yang lebih manusiawi. Dalam bahasa filsafat pendidikan Paulo
Freire bertumpu pada keyakinan manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk
mengubah nasibnya dan seluruh alam semesta yang dalam pendidikan Islam
dikatakan bahwa manusia sebagai khalifah
fil ard (wakil Tuhan di muka bumi).[26]Untuk
memenuhi tugas tersebut, maka manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal
senantiasa berproses untuk mencari eksistensinya menuju kesempurnaan (insan kamil dan insan paripurna).
Artinya pada kawasan tersebut, proses pendidikan merupakan proses pengembangan
dan sekaligus proses rekonstruksi manusia sehingga terjadi perubahan diri dan
lingkungannya.
Melihat peran dan fungsi
pendidikan Islam, maka dengan mengembangkan kajian antropologi dan sosiologi ke
dalam perspektif al-Qur�an dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Islam
adalah;
a.
Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia,
alam sekitarnya dan mengenai kebesaran Ilahi, sehingga tumbuh kemampuan membaca
(analisis) fenomena alam dan kehidupan, serta memahami hukum-hukum yang terkandung
di dalamnya. Dengan
kemampuan ini akan menumbuhkan kreativitas dan
produktivitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan �Pencipta�.
b.
Membebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat
manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun
dari luar. Yang dari dalam antara lain kejumudan,
taklid, kultus individu, khurafat dan yang terbesar adalah syirik. Terhadap
anasir dari dalam ini, manusia harus terus melakukan penyucian diri (tazkiyah an-nafsi). Sedangkan yang datang dari
luar adalah situasi dan kondisi, baik yang bersifat kultural maupun struktural
yang dapat memasung kebebasan manusia dalam mengembangkan realisasi dan
aktualisasi diri. Untuk menghilangkan dan meminimalkan anasir dari luar harus ada
upaya sistematis dan strategis dari seluruh elemen masyarakat, terutama
pemerintah. Dengan semakin minimalnya anasir-anasir tersebut terbukalah jalan
untuk optimalisasi realisasi diri dan aktualisasi diri sehingga menuntun hidup
individu dan masyarakat lebih arif dan bertanggungjawab.
Mengembangkan
ilmu pengetahuan untuk menopang dan memakukan kehidupan baik individu maupun
sosial. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menurut sinyal yang diberikan
al-Qur�an, sebagaimana tersebut pada butir pertama, hendaknya dimulai dengan
memahami fenomena alam dan kehidupan dengan pendekatan empirik, sehingga
mengetahui hukum-hukumnya (Sunnah Allah).[27]
3. Pendidikan Dalam Perspektif Kultural
Menurut Mastuhu pendidikan pada dasarnya hanya satu yaitu memanusiakan manusia. Dengan kata lain mengangkat harkat dan martabat manusia (human dignity), yaitu mengangkat manusia menjadi pemimpin di muka bumi. Dengan perkataan lain, menurut istilah agama menjadi khalifah di bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan.[28] Salah satu upaya preventif yang kemudian direkomendasikan adalah membangun kesadaran dan pemahaman akan pentingnya untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemanusiaan dan pluralisme dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar dan terdidik. Namun jauh lebih penting lagi adalah pendidikan mewujudkan manusia yang terdidik dan juga memiliki kepekaan terhadap budaya (educated and civilized human being) juga berdasarkan pada peserta didik, pasar, atau bahkan tuntutan perkembangan zaman. Idealnya sistem pendidikan itu diarahkan pada pemahaman kebudayaan Indonesia yang Bhineka dengan menanggalkan sistem pendidikan yang berorientasi pada kepentingan pemerintah yang sudah terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan golongan.[29] Pendidikan menciptaka manusia yang berbudaya, yang memiliki tata etik dalam kehidupan sosial sehingga memunculkan keharmonisan hubungan di antara individu masyarakat. Dengan demikian, pendidikan memberikan stimulasi terhadap peradaban menuju masyarakat yang beradab dan bersusila.
Pada dasarnya antara pendidikan dan kebudayaan memiliki hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup kebudayaan yang konkret. Pendidikan akan vakum tanpa proses pembudayaan, begitupula kebudayaan akan stagnan tanpa proses pendidikan. Pendidikan akan selalu membutuhkan proses pembudayaan dan kebudayaan akan selalu membutuhkan proses pendidikan. Tujuan untuk membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis multidimensi maka pendidikan dalam perspektif kultural merupakan suatu kebutuhan yang sudah mendesak. Hal tersebut akan nampak pada proses pendidikan yang selama ini belum menunjukan progresivitasnya terhadap pembentukan karakter bangsa yang menuju masyarakat Pancasilais. Proses pendidikan belum dimaknai sebagai proses pemberdayaan diri dan sekaligus sebagai pembangunan budipekerti menjadi cermin bahwa pendidikan pada hari ini sedang mengalami krisis multidimensi. Generasi muda yang sampai hari ini sudah �dininabobkan� oleh kebudayaan dan perkembangan kemodernan peradaban menyebabkan hilangnya jati diri bangsa. Akibatnya, kebesaran bangsa sebagai negara yang multi etnik dan multikultural telah hilang dari dalam diri generasi para penerus bangsa. Sudah bisa dipastikan, ketika para generasi penerusnya sendiri tidak memiliki kebanggaan terhadap kebesaran bangsanya maka bangsa tersebut sudah tercerabut dari kebudayaannya sendiri. Karena itu, untuk menjawab persoalan tersebut dibutuhkan suatu konsep pendidikan dalam perspektif kultural.
Sebagai titik tolak analisis mengenai hakikat kebudayaan yang dapat digunakan untuk memahami hakikat pendidikan. Dalam hal ini mengambil rumusan pelopor antropologi yaitu Edward B. Tylor dalam bukunya "Primitive Culture" yang terbit pada Tahun 1871 mendefinisikan atau menjelaskan bahwa;
"Kebudayaan atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks
dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta
kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat".[30]
Kultur yang dimiliki oleh masyarakat adalah sebagai
indentitas bangsa yang kemudian menjadi modal utama dalam menciptakan
pendidikan yang bersifat egaliter, demokratis, adil serta mampu bersaing dalam
kancah dunia
internasional. Dengan ini masyarakat mampu menjadi warga global dengan
tidak akan lagi ada kekawatiran akan kehilangan jati diri atau bahkan tercerabut
dari akarnya sebagai bangsa Indonesia.
Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam Bab I Pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaknya, masyarakat, bangsa dan negera.[31] Walaupun secara definisi para tokoh pendidikan mempunyai banyak versi dalam mempersepsikan pendidikan. Namun makna dan tujuannya tidak keluar dari hakikat pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan yang diselenggarakan bukan hanya semata-mata untuk membentuk suatu kecerdasan intelektual semata. Pengertian pendidikan yang dijelaskan dalam UU Sisdiknas tersebut adalah selain membentuk kecerdasan secara intelektual, juga membentuk kecerdasan emosional maupun spiritual. Jadi secara garis besar dapat terlihat komponen-komponen yang akan dituju dalam membentuk manusia pancasilais yang beradab dan bersusila yaitu kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan intelektual. Karena pada dasarnya manusia hendaknya memiliki kesadaran terhadap lingkungan (sebagai kecerdasan emosional). Artinya, keberadaannya sebagai makhluk, memiliki tata peradaban dan berakhlak terhadap alam dan lingkungannya. Begitulah sebagai tujuan pendidikan Nasional dengan dasar tujuan asas Pancasila. Harapannya pendidikan tersebut dapat membentuk masyarakat Pancasilais yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, dan seterusnya.
Pendidikan dituntut untuk selalu relevan dengan kontinuitas perubahan. Ini adalah landasan epistemologi dan prinsip-prinsip umum dari pendidikan atau terminologi al-Syaibany dikatakan sebagai �prinsip perubahan yang diingini�. Dalam realitas kehidupan, sebagai kondisi riil pendidikan dapat dilihat dari adanya perubahan sosial yang begitu cepat. Pendidikan harus senantiasa toleran dan tunduk terhadap perubahan normatif dan kultural yang terjadi. Pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah institusi sosial yang berfungsi sebagai pembentuk insan yang berbudaya dan melakukan proses pembudayaan nilai-nilai. Dengan demikian, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal penting yang saling terkait satu sama lain dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Disatu sisi, pengembangan dan pelestarian budaya berlangsung dalam suatu proses pendidikan, hal ini tentunya memerlukan rekayasa pendidikan. Sementara itu, pengembangan pendidikan juga membutuhkan sistem kebudayaan sebagai akar dan pendukung berlangsungnya pendidikan tersebut. Pengembangan kebudayaan juga membutuhkan kebebasan kreatif sementara pendidikan memerlukan stabilitas budaya yang mapan.[32] Jika fungsi utama pendidikan adalah pelestari kebudayaan dan ilmu sekaligus mengembangkannya, maka filsafat sebagai ilmu dan bagan konseptual kebudayaan akan menjadi basis intelektual bagi penyusun konsep pendidikan dan juga penyelenggaraan proses belajar mengajar.[33]
Secara kontekstual, pendidikan harus sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan manusia sehingga dapat menjawab kebutuhan dan tantangan jaman. Dalam memahami perubahan-perubahan sosial yang terjadi, tentunya harus melihat bagaimana pendidikan dipandang tersebut sebagai sebuah proses yang tidak terpisahkan dari manusia. Artinya, orientasi dan tujuan pendidikan harus dikembalikan kepada semangat kemanusiaan dengan membentuk masyarakat yang konstruktif positif. Pendidikan dalam studi kultural adalah sebagai upaya untuk mengembalikan tujuan dasar dari proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri (individual). Ia merupakan makhluk kolektif yang hidup secara komunal untuk membentuk suatu interaksi sosial. Karena itu, pendidikan di sini dimaksudkan untuk mempersiapkan manusia pada perubahan lingkungan yang sifatnya membangun masyarakat yang konstruktif-positif. Walaupun secara formal proses pendidikan itu terjadi di sekolah, akan tetapi pendidikan perlu dukungan dari berbagai wilayah lain seperti pendidikan dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini tidak dapat ditinggalkan begitu saja, karena proses penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan prilaku akan terjadi jika seluruh komponen seperti sekolah, keluarga, dan masyarakat mampu berperan secara aktif di dalamnya.
Ki Hadjar Dewantara
sendiri mendefinisikan pendidikan sebagai upaya untuk mengembangkan tumbuhnya
budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran (intellect) dan tubuh
anak.[34] Sedangkan menurut Romo Mangun Wijaya, pendidikan adalah proses awal
usaha untuk menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku
sejarah. Kesadaran sosial hanya bisa tercapai apabila
seseorang telah berhasil membaca realitas perantaraan dunia di sekitar
mereka.Karena itu, menurut ahli sosiologi pendidikan, terdapat relasi resiprokal
(timbal balik) antara pendidikan dengan kondisi sosial masyarakat, yang jelas
pendidikan itu menumbuhkan nalar kritisisme sosial.[35]
Pendidikan sebagai institusi sosial memberikan peran terhadap
trasformasi dan internalisasi nilai-nilai kultural masyarakat. Pada
dasarnya proses pendidikan merupakan bagian dari kegiatan untuk membentuk
konstruksi kultural masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
egalitarianisme, keadilan, demokratis, dan seterusnya. Sehingga proses
konstruksi kultural masyarakat tersebut menjadi bagian dari semangat untuk
membentuk masyarakat pancasilais.Maka, pendidikan tidak layaknya �menara
gading� yang menjauhkan diri dari realitasnya. Karena pendidikan sendiri tidak akan terlepas dari suatu fakta sosial. Dengan memperhatikan
pengembangan budipekerti, kecerdasan emosional, kesadaran sosial dan lain
sebagainya, akan mengembalikan proses pendidikan pada
hakikat dan tujuannya. Pendidikan berfungsi untuk melakukan proses penyadaran
terhadap manusia sehingga mampu mengenal, mengerti dan memahami realitas
kehidupan yang ada disekitarnya.
C. Penutup
Sebagai makhluk yang menyejarah, manusia dikatakan sebagai makhluk pendidikan (the create eduation). Makhluk yang memiliki potensi akal, rasio, hati, serta jasad yang dilengkapi dengan panca indera sebagai media untuk merekam seluruh pengalaman dalam hidupnya. Modal potensi yang dimilikinya tersebut memungkinkan manusia untuk selalu belajar dan mencari kebenaran dalam hidupnya. Karena itu, manusia senantiasa untuk berinteraksi dalam kehidupan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, hanya melalui pendidikan manusia dapat dimanusiakan. Dengan modal potensi serta pengalaman sejarah yang dimilikinya, manusia dapat dikembangkan serta dioptimalkan sehingga menjadi manusia sempurna (insan kamil dan insan paripurna). Melalui proses pendidikan Islam yang berbasis pada perspektif kultural, pengembangan dan pengoptimalan potensi diri manusia akan disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Pendidikan merupakan institusi sosial yang berperan sebagai proses transformasi serta internalisasi nilai-nilai kultural, karena itu institusi ini merupakan hasil rekayasa sosial. Karena menjadi bagian dari pendidikan nasional, pendidikan Islam pun berperan untuk membentuk manusia yang beradab dan bersusila. Inti dari kegiatan pendidikan Islam adalah untuk mencari ketinggian spiritual, moral, sosial, dan intelektual. Pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan Islam. Maka tujuan untuk membentuk masyarakat Pancasilais merupakan bagian dari semangat pendidikan Islam. Sebab, muara akhir dari pendidikan Islam adalah masyarakat yang egalitarian, berke-Tuhanan, demokratis, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia (masyarakat madani) yang berkeadilan. Artinya, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia sempurna dimata Tuhannya (insan kamil/ al-�Abd) dan manusia sempurna dimata manusia (insan paripurna/ khalifatullah) atau �muslim paripurna�.
Melihat kebutuhan akan suatu� proses pendidikan, manusia dituntut untuk selalu menjadi subyek yang mampu mengubah realitas dan eksistensinya, bahkan menjadi makhluk yang lebih manusiawi. Dasarnya adalah manusia hendaknya memiliki kesadaran terhadap lingkungan (sebagai kecerdasan emosional). Artinya, keberadaannya sebagai makhluk memiliki tata peradaban dan berakhlak terhadap alam dan lingkungannya. Maka berangkat dari asumsi tersebut, pendidikan dituntut untuk selalu relevan dengan kontinuitas perubahan. Pendidikan harus senantiasa toleran dan tunduk terhadap perubahan normatif dan kultural yang terjadi dalam kehidupan sosial. Karena pendidikan sesungguhnya merupakan suatu institusi sosial yang berfungsi sebagai pembentuk insan yang berbudaya dan melakukan proses pembudayaan nilai-nilai kultural. Dari sinilah pendidikan berperan sebagai proses penyadaran kesadaran sosial sebagai pelaku sejarah dan pelaku perubahan.Alhasil, manusia sebagai makhluk kolektif (makhluk sosial) yang hidup secara komunal membentuk suatu interaksi sosial dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, untuk menghasilkan pendidikan yang mampu menjawab persoalan-persoalan manusia dan kemanusiaan (problem solving). Maka, dibutuhkan suatu proses pendidikan yang ilmiah dengan membentuk situasi atau menciptakan kebudayaan ilmiah dalam rangka membangun intelektulitas sosial manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baharuddin dan Moh. Makin. 2009. Pendidikan Humanistik (konsep, teori, dan aplikasi praksis dalam dunia pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Dewantara, Ki Hadjar. 1977.Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Djohar & Abd. Rochman
assegaf. 2010.Pendidikan Transformatif. Sukses Offset,
Yogyakarta.
H.A.R Tilaar. 2002.Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan (pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan., Jakarta: Al-Husna Zikra.
Mastuhu. 1999.Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Mas�ud, Abdurrahman. 2001.Paradigma Pendidikan Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Mulkan, Abdul Munir. 1994.Paradigma Intelektual Muslim (pengantar filsafat pendidikan Islam dan dakwah). Yogyakarta; Sipress.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural (konsep dan aplikasi).Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam (pendekatan teoritis dan praksis). Jakarta: Ciputat Press.
Nata, Abuddin. 1997.Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Sanaky, Hujair Ah. 2003.Paradigma Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani Indonesia). Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Soyomukti, Nurani. 2010.Teori-teori Pendidikan (tradisional, neo liberal, marxis-sosialis, post modern). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Umiarso dan Zamroni. 2011.Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif Barat dan Timur).Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. 2005. Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dan Penjelasannya. Yogyakarta: Media Wacana.
Yamin, Moh. 2009.Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar Dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
[1]Nurani Soyomukti, Teori-teori
Pendidikan(tradisional, neo liberal, marxis-sosialis,
post modern), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal. 27.
[2]Hujair Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam (membangun masyarakat madani Indonesia), Cet. I, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 8.
[3] Ngainun Naim dan
Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural (konsep dan aplikasi), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 13.
[4] Hujair
Ah. Sanaky, Paradigma Pendidikan..., hal. 9.
[5] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), hal. 29.
[6] Achmadi,Ideologi Pendidikan Islam, Cet. II,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 45.
[7] Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan (dalam perspektif
Barat dan Timur), Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), hal. 70.
[8] Mastuhu, Memberdayakan
Sistem Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.
23.
[9] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Cet. III,
(Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hal. 262.
[10] Baharuddin
dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Cet.
I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009),
hal. 62.
[11] Achmadi, Ideologi
Pendidikan..., hal. 47.
[12] Baharddin
dan Moh. Makin, Pendidikan
Humanistik..., hal. 38.
[13] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (pendekatan
teoritis dan praksis), Cet. I, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), hal. 17.
[14] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
Cet. VI, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 26.
[15] Achmadi, Ideologi
Pendidikan..., hal. 64-66.
[16] Hujair
Ah. Sanaky, Paradigma
Pendidikan..., hal. 232.
[17] Abdurrahman Mas�ud, Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hal.
220.
[18] Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan..., hal. 27.
[19] H.A.R. Tilaar dan Riant
Nugroho, Kebijakan Pendidikan (pengantar
untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan
publik), Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 21.
[20] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani
Indonesia, Cet. III, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 17.
[21] Achmadi, Ideologi
Pendidikan..., hal. 27.
[22] Umiarso
dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan..., hal. 91.
[23] Achmadi, Ideologi
Pendidikan..., hal. 32.
[24] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hal. 46.
[25]Ibid., hal. 48.
[26] Umiarso
dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan...,
hal. 27.
[27] Achmadi, Ideologi
Pendidikan..., hal. 38.
[28] Djohar
& Abd. Rochman assegaf, Pendidikan Transformatif, Sukses Offset,
[29]
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran�.,
hal. 33.
[30] H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan... hal. 39.
[31]Undang-Undang No. 20
Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dan
Penjelasannya, (Yogyakarta: Media Wacana, 2005), hal. 3.
[32] Baharuddin
dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik..., hal.
12.
[33] Abdul
Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim (pengantar filsafat pendidikan
Islam dan dakwah), (Yogyakarta; Sipress, 1994), hal 65.
[34]Ki Hadjar Dewantara, Bagian
Pertama: Pendidikan, Cet. II, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman
Siswa, 1977), hal. 14.
[35] Moh.
Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar Dari Paulo Freire dan Ki
Hadjar Dewantara, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009), hal. 15.