MENILIK RAHASIA BELAJAR
IMAM MADZHAB
Mohammad Ridwan
(Tenaga
Kependidikan IAI Bunga Bangsa Cirebon)
Abstrak
Imam madzhab merupakan pioner pembangunan peradaban Islam terutama dalam pengembangan hukum dan pemikiran islam. Selain itu, mereka pun dikenal sebagai imam besar dalam bidang ilmu Fiqh dan Hadits hingga ilmunya masih menjadi rujukan di masa kini. Imam madzhab tersebut adalah Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi�i, dan Imam Ahmad ibn Hambal. Di balik kebesaran ilmu yang mereka miliki, tersimpan sejumlah rahasia kesusksesan dalam memperoleh ilmu yang bisa Kita jadikan hari ini sebagai metode atau strategi dalam belajar. Di antara rahasia cara belajar yang dilalui oleh para imam madzhab dalam menuntut ilmu yaitu memurnikan niat, menentukan spesifikasi ilmu, memilih guru yang tepat, mencatat dan menghafal materi ilmu, belajar terus menerus dan berulang-ulang, mengoptimalkan waktu malam, belajar dalam waktu yang lama, melakukan pengembaraan ilmu/ perjalanan ilmiah, berbuat baik pada guru, mendatangi majelis ilmu, bermusyawarah dan berdiskusi, melakukan penelitian, dan mengamalkan ilmu
Key
Word:
Imam Madzhab, Islam, dan Cara
Belajar
A.
Pendahuluan
Di kalangan Aliran Ahlussunah wal
Jamaah atau sering juga disebut kaum Suni, terdapat empat imam madzhab
yang namanya sangat populer. Ke empat
imam madzhab tersebut adalah Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi�i, dan
Imam Ahmad bin Hambal. Keempatnya merupakan pioner peradaban Islam di masa
kejayaan Islam yang lalu sekaligus imam besar di bidang
ilmu Fiqh
dan Hadits
hingga masa sekarang.[1]
Mereka adalah sosok
imam yang hebat, kealiman mereka di
bidang
ilmu Fiqh
sangatlah mumpuni. Karya mereka menjadi rujukan utama para penggali ilmu bahkan
menjadi landasan utama dalam ibadah bagi jutaan umat islam di seluruh dunia.
Tak pelak, mereka juga menjadi teladan terbaik umat islam dalam memahami Alquran dan Hadits sebagai sumber pokok rujukan
ajaran islam.
Imam empat serangkai
adalah imam-imam mazhab Fiqih
dalam Islam. Mereka imam-imam bagi mazhab empat yang berkembang dalam Islam.
Mereka terkenal sampai kepada seluruh umat di zaman yang silam dan sampai
sekarang. Mereka itu adalah Abu Hanifah an-Nu�man, Malik bin Anas, Muhammad Idris Asy-Syafi�i,
Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Karena
pengorbanan dan bukti mereka yang besar terhadap agama Islam yang maha suci,
khususnya dalam bidang ilmu Fiqih
mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi
dalam Islam. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu Fiqih yang besar dan abadi yang
menjadi kemegahan bagi agama Islam dan kaum Muslimin umumnya.
Karena kesuburan dan
kemasyhurannya dalam ilmu Fiqih di samping usaha-usaha mereka yang
bermacam-macam terhadap agama Islam nama-nama mereka sangat dikenal pada zaman
kejayaannya Islam. Mereka bekerja keras untuk menjaga dan menyuburkan
ajaran-ajaran Islam dan menyiarkan kepada seluruh umat lebih-lebih dalam ilmu Fiqih
sejak terbitnya nur Islam.
Pengetahuan tentang ini
mendapat perhatian kita kepada sejarah perundangan atau perkembangan ilmu Fiqih dalam Islam. Agama Islam
disampaikan kepada seluruh manusia. Sumber-sumber atau pokok ajarannya ialah
Quranul-Karim, yaitu sebuah kitab yang tidak ada sedikitpun kebatilan,
diturunkan oleh Allah swt. Tuhan yang Maha bijak dan amat terpuji.
Alquran ialah sebuah
kitab �aqidah (kepercayaan) dan syariat (undang-undang), yang membicarakan
tentang amal ibadat dan juga membicarakan tentang perlembagaan atau sistem
hidup duniawi, seperti undang-undang keluarga (Family Law) hukum-hukum
jual-beli (Commercial Law) dan peraturan kebiasaan sehari-hari (Civil
Law) hukum yang berkaitan dengan jinayah (Criminal Law) dan
balasan-balasan, juga cara bergaul antara satu sama lain atau antara satu
kumpulan dengan kumpulan yang lain, dan juga cara hubungan antara bangsa (International
Relation).
Di samping Alquran
sebagai sumber utama, terdapat pula Hadits Rasulullah saw. yang dijadikan
sebagai penafsir atau penerang, pengkhusus atau penerap dan penganalisa.
Tiap-tiap bab atau dari hasil hukum Fiqih
kita dapat hadits-hadits yang dapat menerangkan atau mengaplikasikan tentang
kepentingan ini dapat sebagai bukti firman Allah swt. kepada Nabi-Nya.
....وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ
الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ
مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Bahwa Kami (Allah)
turunkan kepada engkau agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka mau berfikir.[2]
Rasulullah saw.
menerangkan ajaran-ajarannya dengan ucapan-ucapan, perbuatan dan dengan seruan
manakala orang-orang Islam menghadapi sesuatu masalah atau problem tentang
hukum-hukum mereka langsung menemui Rasulullah dan bertanya kepada Rasul.
Rasulullah menjawab kepada mereka dengan wahyu yang diturunkan dari Allah swt.
وَمَا
يَنْطِقُ
عَنِ
الْهَوَى (3) إِنْ
هُوَ إِلَّا
وَحْيٌ
يُوحَى (4)
Dan Rasulullah tidak
berbicara menurut kehendak hatinya tetapi berdasarkan wahyu dari Allah swt.[3]
Rasulullah mengajarkan
kepada para sahabat-sahabatnya. Mereka adalah orang yang baik tanggapannya dan
halus paham-pahamnya dan betul-betul ikut dan ikhlas. Oleh karena itu ucapan
atau percakapan mereka diterima dan ternilai.
Rasulullah membenarkan
kepada mereka untuk berjihad sekiranya tidak ada nas atau
dasar sebelumnya, supaya mereka tidak hanya berpegang kepada nas al-kitab
dan al-hadits dengan syarat tidak menyimpang dari prinsip-prinsip atau
peraturan-peraturan agama.
Hukum-hukum Fiqih juga
kesimpulan-kesimpulannya zaman Rasulullah tidak hanya
berdasarkan kepada fardhu takdir atau khayalan tetapi berdasarkan
kepada perkara yang benar-benar terjadi, karena di zaman itu apabila suatu
perkara atau terjadi maka penetapan hukumnya akan diberitahu oleh Allah melalui
wahyu atau hadist Rasulullah.
Sudah menjadi kebiasaan
bahwa bidang ilmu Fiqih di zaman sesudah Rasulullah wafat lebih luas karena
ilmu Fiqih merupakan suatu perkara yang hidup dan subur menurut pekembangan
zaman, karena ada kaitannya dengan kehidupan manusia sehari-hari baik dalam
masalah umum maupun dalam masalah individu dan di dalam suatu masyarakat.
Perlu kita ingat bahwa
ilmu Fiqih
yang diajarkan para sahabat dan para tabi�in tidak dengan berpegang kepada
lafaz-lafaz nas. Tetapi ia mengambil atau berdasarkan ilmu
pengetahuan tentang,
hukum-hukum untuk menimbang sebab (Illat) sewaktu hendak memberikan
fatwa-fatwa. Sebagaimana yang telah kita ketahui pendapat para tabi�in
bermacam-macam, ini adalah disebabkan berlainan tempat atau keadaan negeri
masing-masing di samping mempunyai kekurangan dan kelebihan pula tentang
memahami maksud-maksud Alquran dan Hadits.
Sebagai hasil atau
petunjuk dari berlainan keadaan dan situasi, maka tiap-tiap orang alim ilmu Fiqih
dari golongan tabi�in mempunyai beberapa pendapat yang berlainan dan inilah
yang dinamakan mazhab. Di zaman sekarang nama imam-imam empat serangkai
telah masyhur dan terkenal. Mereka adalah bagaikan bulan purnama yang
dikelilingi oleh beberapa cakrawala bintang-bintang dan bulan-bulan.
B.
Pembahasan
1.
Biografi Imam Madzhab
Imam Abu Hanifah,
sebagai pendiri mazhab Hanafi adalah seorang ulama yang lahir dari kota Kuffah. Nama asli beliau Abu Hanifah
An-Nukman bin Tsabit bin Zufi�at At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian
hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah
berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika
kemudian dari keturunan Tsabit ini, muncul ulama besar seperti Abu Hanifah.
Dilahirkan di Kufah
pada tahun 150 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abdul Malik, Abu
Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di sana.
Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Alquran. Beliau
dengan tekun senantiasa mengulang-ulang bacaannya, sehingga ayat-ayat suci
tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya, sekaligus menjadikan
beliau mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Dalam hal memperdalam
pengetahuannya tentang Alquran, beliau
sempat berguru kepada Imam 'Ashim, seorang ulama terkenal pada masa
itu.
Selain memperdalam Alquran,
beliau juga aktif mempelajari ilmu Fiqh.
Dalam hal ini pun, beliau berguru kepada ulama-ulama yang sangat terkenal dari
kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Auf dan
Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka belau juga mendalami ilmu
hadis. Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri
sempat terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau
memusatkan perhatian pada soal-soal keilmuan.
Imam Madzhab yang kedua
adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Amir bin Al Haris, namun nama
beliau lebih populer oleh umat islam dengan nama Imam Maliki. Nasabnya
berpangkal dari Ya�rub bin Qahthan al Ashbahi.
Imam malik berasal dari Arab Yaman.
Sejak kecil Malik bin
Anas dikenal memiliki bakat keilmuan yang tinggi. Hal tersebut tidaklah aneh
mengingat ia dibesarkan di tengah keluarga ulama yang sangat cinta akan ilmu
pengetahuan. Meski demikian, sejak kecil Malik bin Anas sudah biasa hidup dalam
keprihatinan, sebab sang ayah yakni Anas bin Malik juga merupakan ulama dan
ahli hadits yang masyhur pada masa itu, hanya bekerja sebagai pembuat anak
panah untuk menghidupi keluarganya. [4]
Malik tumbuh
dilingkungan yang penuh dengan iklim belajar dan periwayatan hadits di Madinah kota yang menjadi pusat
sunnah dan fatwa-fatwa para sahabat nabi. Di kota inilah imam maliki mendapati
sumber kekayaan ilmu dan hadits, bakat dan potensinya mulai berkembang hingga
ia berhasil memetik buahnya. Di usia
yang sangat belia, imam malik telah menghafal Alquran dan banyak hadits.
Meski bakat dan potensi keilmuannya terus berkembang, Malik kecil masih merasa kurang atas
ilmu yang dimilikinya. Di Madinah Malik mulai belajar kepada beberapa ulama
terkemuka, pada mulanya ia belajar pada Rabi�ah ar-Ra�yi seorang ulama fuqoha
dan ahli hadits. Kemudian ia juga memperdalam hadits kepada Ibnu Harmuz dan Ibnu
Syihab az-Zuhri, dua ulama yang keilmuannya diakui oleh kalangan ulama pada
masa itu.
Malik bin Anas lahir pada tahun 93 Hijriyah di
Madinah.
Karya terbesar dan fenomenal adalah bukunya Al Muwatha� yaitu kitab Fiqh yang
berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan
bahwa buku Al Muwatha� tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa
oleh Khalifah Al Mansur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke
Baghdad, dan sangsinya yaitu mengumpulkan hadits-hadits dan membukukannya. Awalnya
imam Malik enggan untuk melakukannya, namun setelah dipikir-pikir tidak ada
salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya lahirlah Al Muwatha� yang ditulis pada
masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah Al Mahdi
(775-785 M). �Semula kitab ini memuat 10 ribu hadits namun setelah diteliti ulang,
Imam Malik
hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang buku
Al Mudawwanah Al Kubra.
Imam Malik tidak hanya
meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab Fiqhnya di kalangan Sunni
yang disebut sebagai mazhab Maliki, Mazhab ini sangat mengutamakan aspek
kemaslahatan di dalam menetapkan hukum, sumber hukum yang menjadi pedoman dalam
mazhab Maliki ini adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, Amalan para sahabat,
Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan Al Maslahah al-Mursalah (kemaslahatan
yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Imam Madzhab yang ke tiga
di kalangan Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah Imam Syafi�i. Di Indonesia dan
negara-negara Asia Tenggara khususnya madzhab yang didirikan imam Syafi�i yakni
mdzhab Syafi�i menjadi madzhab utama yang mempunyai banyak pengikut. Imam
Syafi�i dilahirkan pada tahun 150 Hijriyah, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu
Hanifah. Mayoritas riwayat menyatakan bahwa Imam Syafi�i dilahirkan di Gaza
Palestina.
Nama lengkap Imam
Syafi�i adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al Abas bin Al Usman bin
syafi�i bin As Saib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Muthollib bin Abdi
Manaf. Dengan demikian, akar nasab imam Syafi�i bertemu dengan akar nasab
Nabi Muhammad SAW tepatnya dimoyangnya yang bernama Abdi Manaf.[5]
Imam Syafi'i hidup sebagai anak yatim dan
miskin, sebab ayahnya meninggal saat ia masih berada dalam buaian ibunya. Meski
demikian, nasabnya sangatlah mulia, ia juga dibesarkan dengan penuh kasih
sayang oleh ibunya. Tak pelak hal inilah yang menjadikan imam Syafii tumbuh
sebagai pemuda lurus, memiliki akhlak mulia dan berkepribadian baik. Pada usia
7 tahun beliau telah menghafal Alquran. Dan suatu sifat dari Imam Safi�i
adalah, jika beliau melihat temannya diberi pelajaran oleh gurunya, maka
pelajaran yang dipelajari oleh temannya itu dapat beliau pahami. Demikian pula
jika ada orang yang membacakan buku di
hadapan
Imam Syafi�i, lalu beliau mendengarkannya, secara spontan beliau dapat
menghafalnya. Sehingga gurunya pernah berkata kepadanya: �Engkau tak perlu
belajar lagi di sini (lantaran kecerdasan dan kemampuan beliau untuk menyerap ilmu
yang dipelajarinya). [6]
Tata cara imam Syafii belajar
dan menimba ilmu, dikisahkan oleh dirinya: "Setelah aku hafal Alquran, aku
masuk ke Masjidil Haram untuk berguru kepada para ulama. Dari merekalah aku
menimba ilmu, menghafal hadis, dan berbagai masalah ilmiah lainnya. Rumahku
berada di lereng bukit Khaif. Aku sering melihat potongan tulang yang putih
berkilauan, kemudian tulang itu kupungut dan kujadikan sarana menulis hadits
atau masalah ilmiah lainnya. Dahulu kami memiliki sebuah guci tua untuk
menyimpan potongan-potongan tulang itu. Tiap kali tulang yang kubawa telah
penuh berisi tulisan, aku menyimpannya dalam guci itu."
Untuk mempelajari
bahasa Arab dan seluk-beluknya, ia mengembara di pedusunan Arab Badui selama
dua puluh tahun. Ia ikut kabilah Hudzail karena bahasa mereka paling fasih.
Dirinya sering ikut ke mana pun mereka pergi karena saat itu masih banyak
kabilah-kabilah Arab yang hidup nomaden (berpindah-pindah).
Beliau mengatakan
tentang menuntut ilmu, �Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.�
Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Alquran adalah membaca
hadits. Beliau mengatakan, �Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.�
Karena itu, setelah hafal Alquran beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik
bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.
Beliau mengawali
mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka
adalah: Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah, Muhammad bin Syafi� paman
beliau sendiri, Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i, Sufyan bin Uyainah, Fudhail
bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain. Demikian juga beliau mengambil ilmu
dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah Malik bin Anas, Ibrahim bin
Abu Yahya Al Aslamy Al Madany, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid,
Ismail bin Ja�far dan Ibrahim bin Sa�ad serta para ulama yang berada pada
tingkatannya.
Beliau juga mengambil
ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin
Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya. Dan di Baghdad beliau mengambil
ilmu dari Muhammad bin Al Hasan, Ismail bin Ulayah, Abdulwahab Ats-Tsaqafy,
serta yang lainnya.
Beliau mewariskan
kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni
ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya
dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam
menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental yaitu Ar
Risalah. Dan dalam bidang Fiqih,
beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya.
Juga beliau menulis kitab Jima�ul Ilmi.
Meskipun Imam Syafi�i
menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli
Hadits dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu
tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari
Nashru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan
bahwa Imam Syafi�i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam
kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum
yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang
diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber
tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam
Syafi�i juga menggunakan Ijma�, Qiyas dan istidlal (penalaran)
sebagai dasar hukum islam.
Berkaitan dengan bid�ah,
Imam Syafi�i berpendapat bahwa bid�ah itu terbagi menjadi dua macam,
yaitu bid�ah terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid�ah tersebut
selaras dengan prinsip prinsip Alquran dan Sunnah dan sebaliknya. Dalam soal taklid,
beliau selalu memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima
begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Beliau tidak senang murid-muridnya
bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya. Sebaliknya malah menyuruh
untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat,
sebagaimana ungkapan beliau "Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan
ijtihad lain yang lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut�.
Imam syafii merupakan
salah satu imam madzhab yang kemasyhurannya dikenal dan ijtihadnya
digunakan oleh seluruh umat islam di dunia khususnya negara-negara di Asia. Beliau
wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya�ban tahun 204 H dan umur beliau sekita
54 tahun. Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut
anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian,
keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di belahan dunia, hingga para
ulama mengatakan�Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan
kecerdasannya dengan umurnya yang pendek".
Imam madzhab yang
terakhir adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad
bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin �Auf bin Qasith bin
Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa�labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma�d bin �Adnan. Yang
berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih
dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang
ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan
Rabi�ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad
meninggal dalam usia muda 30 tahun ketika beliau baru berumur tiga tahun. Ayah
imam Ahmad
bukanlah seorang ulama maupun pejabat tinggi negara namun ia hanyalah seorang
komandan perang pasukan militer. Kakek beliau, Hambal berpindah ke wilayah
Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah,
kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani �Abbasiyah dan karenanya
ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya
adalah seorang panglima.
Imam Ahmad tumbuh
dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti
�Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan
beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota
Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka
sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama
dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi�i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap
mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar
mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan
pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi
pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan
beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di
sana tinggal para qari�, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan
sebagainya.
Setamatnya menghafal
Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14
tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Perhatian beliau saat itu
memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya.
Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits
adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik
untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada
di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga
tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin
Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183.
Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar
tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau
mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz,
Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan
mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana
adalah Imam Syafi�i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya.
Imam Syafi�i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan
beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi
sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin �Uyainah, Ismail bin �Ulayyah,
Waki� bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau
berkata, �Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah
menggantikannya untukku dengan Sufyan bin �Uyainah. Dan saya tidak sempat pula
bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin
�Ulayyah.�
Demikianlah, beliau
amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari
hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah
setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, �Wahai Abu
Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.� Beliau menjawab, �Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga
ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang
kubur.� Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni
hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada
kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya,
mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang
pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah
dan Shalih, Abu Zur �ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun
kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam
puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali
beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir,
tentang an-nasikh dan al-mansukh,
tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhir dalam
Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun
kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir,
kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd �ala al-Jahmiyah wa
az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah,
kitab as-Sunnah, kitab al-Wara� wa al-Iman, kitab al-�Ilal
wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul
as-Sittah, Fadha�il ash-Shahabah.
Imam Syafi�i pernah
mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup
khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi Qadhi di Yaman,
tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi�i, �Saya datang
kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya
menjadi Qadhi untuk mereka.�Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi�i
mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad
menolaknya.
Suatu hari, Imam
Syafi�i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, �Engkau lebih tahu tentang hadits
dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri
tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi
mendatanginya jika memang shahih.� Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan
akal Imam Syafi�i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi�i juga
berkata, �Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku
tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara�, lebih faqih, dan lebih
bertakwa daripada Ahmad bin Hambal.�
Abdul Wahhab al-Warraq
berkata, �Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hambal.� Orang-orang
bertanya kepadanya, �Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang
engkau pandang dia melebihi yang lain?� Al-Warraq menjawab, �Dia
seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan
berkata, �Telah dikabarkan kepada kami,� atau, �Telah disampaikan hadits kepada
kami�.� Ahmad bin Syaiban berkata, �Aku tidak pernah melihat Yazid
bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada
kepada Ahmad bin Hambal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika
menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau
berkelakar dengannya.� Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun
bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang
imam huffazh.
Keteguhan di masa penuh
cobaan, telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan
lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas
jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau
mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu
16 tahun.
Pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa
menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan
mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan
pendukungnya, sedangkan al-Mu�tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya,
justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa
itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani,
Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya,
dengan cepat berbagai bentuk bid�ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah
kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah
mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy�ariyah, Rafidhah, Mu�tazilah, dan
lain-lain.
Kelompok Mu�tazilah,
secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah
al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi
al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di
antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam
(berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah
al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk
meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun
ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang
kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani
menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, �Aku
pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, �Telah sampai berita kepadaku bahwa
Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku,
jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.�� Tatkala
Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok
Mu�tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum
muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan
ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang
telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah
menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah
menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di
negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan
ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten
memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Sepeninggal
al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu�tashim. Dia telah
mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan
menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
teman-temannya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan
Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat
mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu
dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 atau
30 bulan menurut yang lain Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan
kaki terbelenggu.
Sampai pada akhirnya, imam
madzhab dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan
tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat,
beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai
al-Mu�tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq
diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu�tashim,
al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia pun masih
menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan teman-temannya. Akibatnya, penduduk
Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar
berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya,
tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat
jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai
al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq
wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa
pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan.
Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke
seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran
dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga
memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang
sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira dengan adanya
pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan
kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya
disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul
Aziz.
Menjelang wafatnya,
Imam Ahmad jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang
pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu
rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu.
Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi�ul Awwal tahun 241, beliau
menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah ditentukan kepadanya. Kaum
muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut
mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700
ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan
sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa
sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan
dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, �Katakan
kepada ahlu bid�ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak
pada) hari kematian kami.�
2.
Rahasia Belajar Imam Madzhab
����������� Di antara kalangan umat Islam baik
ulama maupun orang awam nama imam madzhab mungkin tidaklah asing dan banyak
diperbincangkan dalam topik-topik pembelajaran formal maupun non formal tetapi
sangat sedikit yang menerangkan bagaimana cara belajar imam madzhab sehingga
kemanfaatan ilmunya dapat dirasakan hingga sekarang bahkan sampai hari kiamat
nanti.
Di bawah ini, beberapa
rahasia metode belajar yang ditempuh ke empat imam madzhab dalam menuntut ilmu
sehingga kemanfaatan ilmunya selalu menjadi rujukan oleh seluruh umat Islam di
dunia yaitu [7]:
1. Memurnikan
Niat
Di antara
hal yang tidak boleh dilupakan oleh seseorang yang hendak belajar adalah niat.
Niat pada permulaan aktivitas belajar akan sangat mempengaruhi proses
selanjutnya. Allah SWT juga memandang segala perbuatan manusia dari niatnya.
Niat akan menumbuhkan kemauan yang kuat dalam diri seseorang untuk menuntut
ilmu sekaligus menyehatkan jiwa agar nantinya mudah menangkap pengetahuan yang
dianugerahkan Allah SWT.
Pemahaman tersebut tampaknya dipahami secara
mendalam oleh imam madzhab dalam menuntut ilmu. Sebagai intelektual yang
berfokus dijalan ilmu mereka sangat fokus menata niatnya dalam belajar. Baginya
niat yang paling utama dalam belajar adalah mencari ridho Allah SWT dan
menghilangkan kebodohan. Tak ada niat baginya untuk memperoleh kedudukan,
kemasyhuran, maupun kekayaan harta benda karena segala hal yang bersifat
duniawi tidaklah berarti baginya.
Para imam madzhab memahami bahwa niat seorang muslim
dalam belajar harus sepenuhnya diarahkan hanya untuk memperoleh keridhoan Allah
SWT. Sebab dengan niat semacam inilah seorang muslim akan mampu menjalankan apa
yang diperintahkan tuhannya. Karena dengan niat yang suci seorang muslim akan
mudah untuk berbuat kebajikan, kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Sebagaimana Firman Allah:
اقْرَأْ
بِاسْمِ
رَبِّكَ
الَّذِي
خَلَقَ (1) خَلَقَ
الْإِنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ (2)
�Bacalah
atas nama tuhan yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah�.
[8]
Dalil Alquran ini memberikan pemahaman bahwa ketika
membaca (belajar), seorang muslim hendaknya mempunyai niat yang tulus yakni
hanya mengharap ridho Allah SWT, bukan semata-mata untuk memperoleh kedudukan
duniawi berupa popularitas, harta benda, dan kekuasaan. Sebab segala sesuatu yang sifatnya
duniawi pasti tidaklah kekal semuanya pasti sirna pada akhirnya. Oleh karena
itu, memurnikan dan meluruskan niat dalam belajar dan menuntut ilmu sangatlah
penting.
2.
Menentukan Spesifikasi Ilmu
Dalam belajar menentukan spesifikasi cabang ilmu
yang akan dipelajari sangatlah penting agar belajar bisa memperoleh hasil yang
maksimal. Pasalnya, seseorang yang ingin belajar suatu hal haruslah memiliki
kecintaan pada ilmu yang akan dipelajarinya.
Hal inilah yang menjadi perhatian besar para imam
madzhab dalam menuntut ilmu, mereka mempelajari ilmu dengan sangat fokus dan
teliti dengan menentukan spesifikasi ilmu mana dulu yang akan dipelajari.
Seperti contoh imam Malik beliau pertama kali memfokuskan diri mempelajari Fiqih
dan Hadits dalam pengembaraannya menuntut ilmu, beliau mencari seluruh ulama
yang alim dan berwawasan luas dalam Fiqh dan Hadits sehingga imam Malik sangat
fokus dalam mempelajari ilmu tersebut, baru kemudian setelah mempelajari Fiqh
dan hadits beliau memperdalam ilmu-ilmu Alquran dan ilmu yang lainnya. Begitu
juga yang dilakukan dengan para imam madzhab yang lainnya seperti imam Abu Hanifah, imam Syafi�i, dan imam Ahmad bin Hambal.
3. Memilih
Guru Yang Tepat
Memilih guru yang tepat dalam menuntut ilmu menjadi
salah satu rahasia belajar yang ditekuni para imam madzhab terutama para ulama
yang masyhur dizamannya dan membidangi cabang ilmu yang sesuai dengan
kompetensi yang dimilikinya.
Belajar yang baik, haruslah dengan cara mendengar
langsung dengan gurunya, duduk bersama mereka dan mendengarkan langsung dari
mulut mereka (para guru) bukan belajar sendiri dari buku atau kitab tanpa ada
yang membimbing ilmu yang dipelajarinya. Sebab belajar yang langsung dari guru
adalah mengambil nasab ilmu dari pembawa nasab ilmu yang berakal yakni sang
guru. Sementara belajar sendiri dari buku atau kitab yang merupakan benda mati
tidak akan memungkinkan terjalinnya nasab keilmuan antara guru dengan murid.
Oleh karena itu, bimbingan dari seorang guru dalam belajar menjadi sangat
penting agar kemanfaatan ilmunya memiliki nasab yang jelas dan terarah. Dan
memilih guru yang tepat merupakan salah satu rahasia belajar para imam madzhab
yang belum banyak diketahui banyak orang.
�
4.
Mencatat dan Menghafal Materi Ilmu
Dalam hal belajar, seseorang tidak sekedar
membutuhkan daya ingatnya untuk menghafalkan materi ilmu yang sedang
dipelajari. Sebab daya ingat seseorang untuk menghafal sangatlah terbatas. Karena
itu daya ingat seorang sangat mungkin akan menjadi lemah seiring dengan
berjalannya waktu atau bertambah usia. Maka mencatat materi ilmu yang sedang
dipelajari merupakan cara belajar yang tidak boleh ditinggalkan.
Mengandalkan hafalan, pemahaman dan daya ingat dalam
mencari ilmu merupakan salah satu pemahaman yang keliru, karena keraguan bisa
menyusup kapan saja dan sifat lupa bisa datang secara tiba-tiba. Anas bin malik
meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda �ikatlah ilmu dengan buku�.
Suatu ketika, seorang laki-laki mengadu kepada Nabi SAW,� tentang sifat-sifat lupanya lalu Nabi SAW
berkata �Gunakanlah tanganmu (maksudnya tulislah) sehingga ketika lupa,
engkau dapat merujuk pada apa yang telah engkau tulis�. Dengan hadits
tersebut, Nabi SAW menghendaki agar orang yang mencari ilmu mau menulis atau
mencatat agar ilmu yang dipelajarinya tidak terlupa atau hilang.�
Hal inilah, yang dilakukan oleh para imam madzhab
dalam mencari ilmu, selain mengandalkan hafalan materi ilmu yang dihafalkan.
Para imam madzhab juga mencatat seluruh ilmu yang dipelajarinya dari berbagai
guru dan majelis ta�lim yang mereka datangi. Selain menulis catatan dalam
mencari ilmu, tulisan yang ditulis juga harus bagus dan rapi agar ketika lupa
kita bisa bersemangat untuk membuka kembali catatan yang kita tulis waktu masih
belajar dan menuntut ilmu.
Cara inilah yang dilakukan oleh para imam madzhab
dalam belajar dan menuntut ilmu. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal sewaktu menuntut
ilmu, beliau sangat konsen dan tidak sembarangan dalam menulis catatan. Sebisa
mungkin apa yang ditulisnya diupayakan bagus dan rapi dan tidak jarang catatan
yang beliau tulis disusun kembali serapih mungkin untuk dijadikan sebagai kitab
khusus yang layak dipublikasikan.
5.
Belajar Terus Menerus dan Berulang-ulang
Kebanyakan orang menganggap bahwa tugas belajar atau
menuntut ilmu berakhir setelah menyelesaikan pendidikan formal kemudian mereka
beralih pada berbagai aktivitas pekerjaan dan kehidupan sehari-hari yang sangat
menyibukan. Mereka cenderung mengabaikan aktivitas belajar bahkan menganggap
bahwa belajar adalah aktivitas yang sudah tidak pelu lagi.
Belajar adalah aktivitas yang berkaitan dengan upaya
untuk meningkatkan potensi
diri. Dengan potensi diri itulah seseorang bisa memperoleh kecemerlangan hidup,
ia juga bisa menjalankan pekerjaan atau tugas lainnya� secara baik. Maka belajar semestinya
dilakukan secara terus menerus selama hayat masih dikandung badan, dan dari
sejak lahir hingga ke liang lahat. Cara belajar seperti itulah yang dilakukan
oleh para imam madzhab, mereka belajar tanpa kenal lelah, belajar terus menerus
hingga ajal menjemput dan belajar secara berulang-ulang jika ilmu yang
dipelajarinya belum dapat dipahami.
6.
Mengoptimalkan Waktu Malam
Hukum natural kehidupan yang diajarkan tuhan menyatakan
bahwa waktu siang adalah untuk bekerja sementara malam adalah waktu untuk
istirahat. Namun seorang pembelajar yang baik hendaknya memahami bahwa waktu
malam bukanlah untuk istirahat semata apalagi untuk tidur saja. Sebab di waktu
ini merupakan saat yang paling tepat untuk belajar secara sungguh-sungguh
apalagi membaca dan menulis.
Menentukan waktu yang tepat dalam belajar akan
membantu keberhasilan seseorang. Hal ini juga membantu seseorang memperoleh
hasil atau informasi yang maksimal dari sebuah bacaan dan mempermudah seseorang
dari isinya. Ada batas waktu tertentu agar seorang mampu mengoptimalkan
pikirannya untuk memahami sesuatu yaitu belajar diwaktu malam.
7.
Belajar Dalam Waktu yang lama
Belajar bukanlah sekedar bertujuan untuk mendapatkan
ijazah, yang dengannya ia mendapatkan harta yang banyak untuk kemudian ia
berhenti untuk menelaah sumber-sumber ilmu pengetahuan, sebaliknya proses
belajar itu berlangsung terus-menerus, dengan terus membaca dan bertambahnya
ilmu pengetahuan.
....وَقُلْ
رَبِّ
زِدْنِي
عِلْمًا
��.... Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan�. [9]
Kalangan ulama terdahulu meskipun kedudukan keilmuan
mereka sedemikian tinggi, namun mereka tidak pernah berhenti menambah ilmu
dengan belajar hingga akhir kehidupan mereka. Malik bin Anas bahkan sampai
berkata �orang yang memiliki ilmu tak seharusnya ia berhenti belajar�. Ini
menunjukan betapa pentingnya orang yang berjalan di jalan ilmu untuk senantiasa
belajar di sepanjang hidupnya.
8.
Melakukan Pengembaraan Ilmu/ Ekspedisi Ilmiah
Salah satu kebiasaan orang terdahulu dalam menuntut
ilmu adalah melakukan suatu perjalanan ilmiah atau pengembaraan ilmu yang jauh
dari tempat asalnya. Bahkan mereka rela menyebrangi lautan atau padang gurun
yang luas untuk sekedar berjumpa dengan seorang ulama kemudian berguru padanya.
Kebiasaan ini merupakan salah satu cara yang wajib ditempuh bagi mereka yang
ingin memperoleh ilmu pengetahuan.�
Pengembaraan ilmu merupakan salah satu metode yang
wajib ditempuh oleh seorang yang ingin menuntut ilmu. Dan cara ini telah
dilakukan oleh para imam madzhab dalam menuntut ilmu. Bahkan imam Syafi�i
pernah menasihati murid-muridnya dalam mencari ilmu, beliau berkata �pergilah dari
negerimu untuk mencari ketinggian, mengembaralah! Sebab dalam pengembaraan itu
terkandung lima faedah yaitu menghilangkan kesedihan, mencari penghidupan,
menuntut ilmu dan adab serta menemani yang mulia.
9.
Berbuat Baik pada Guru
Di antara
hal-hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh seorang yang sedang belajar/
pencari ilmu adalah berbuat baik pada gurunya. Sebab berbuat baik pada guru
dalam artian menghormati guru dan berlaku sopan padanya adalah jalan bagi
seorang pencari ilmu untuk memperoleh keberkahan ilmu dari Allah SWT.
Hal inilah yang dilakukan oleh para imam madzhab
dalam menimba ilmu sehingga kemanfaatan ilmunya bisa dirasakan hingga sekarang.
Mereka sangat menghormati dan senantiasa berbuat baik dengan gurunya. Apapun
yang diminta selalu dilaksanakan, bahkan mereka selalu mendoakan gurunya
walaupun gurunya telah wafat. Hal tersebut membuktikan pengabdian dan
penghormatan para imam madzhab perlu diteladani sehingga ilmu yang didapat
bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.
10. Mendatangi
Majelis Ilmu
Mendatangi majlis ilmu merupakan hal yang penting
dalam menuntut ilmu, hal ini hendaknya dipahami oleh para pencari ilmu sebab
dengan mendatangi majelis ilmu ia akan memperoleh pengetahuan baru yang tidak
pernah ia dapatkan dengan belajar mandiri. Seorang pelajar yang mendatangi
majelis ilmu dapat berjumpa dengan para ulama dan mendapatkan curahan ilmu dari
mereka. Hanya dengan majelis ilmu pula, dimungkinkan terjadinya musyawarah
persoalan ilmu pengetahuan. Mendatangi majelis ilmu juga menjadi salah satu
metode belajar dan tradisi para ulama salaf dalam menuntut ilmu di antaranya adalah para imam madzhab.
Majelis ilmu banyak diadakan dimasjid-masjid, rumah ulama, maupun lembaga
pendidikan.
�
11. Bermusyawarah
dan Berdiskusi
Diskusi dan musyawarah menjadi salah satu metode
yang juga diterapkan oleh para ulama terdahulu. Bahkan tak jarang, mereka
terlibat dalam diskusi yang serius dalam membahas permasalahan yang dihadapi
pada masa itu. Namun dari perdebatan dalam musyawarah dan diskusi tersebut
lahirlah pemikiran-pemikiran yang brilian dan bermanfaat untuk umat. Musyawarah
dan diskusi dapat menjadi kebutuhan bagi pelajar agar mereka mengetahui apa
yang tidak dipahami dalam pelajaran menjadi mengerti dengan adanya diskusi dan
musyawarah.
Metode belajar ini, disamping dapat memahamkan ilmu
pada pelajar juga dapat menjadi salah satu metode dalam memupuk mental untuk
berbicara dalam forum ilmiah. Metode ini juga menjadi salah satu cara belajar
yang diterapkan oleh para imam madzhab dalam menuntut ilmu sehingga ilmu yang
dimiliki dapat dibagi dengan sesama pencari ilmu dalam musyawarah.
12. Melakukan
Penelitian
Tidak dapat dipungkiri bahwa melakukan penelitian
adalah salah satu cara yang efektif dalam belajar, meneliti kembali apa yang
dipelajari, dibaca, dan dipahami menjadi hal yang sangat perlu dilakukan oleh
seorang pembelajar. Sebab proses ini sesungguhnya sangatlah berguna untuk
menemukan kekurangan dan kelemahan diri sendiri dalam mempelajari ilmu
pengetahuan. Dengan penelitian, mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan
pemahaman akan suatu hal, menjadi tahu dan paham, bahkan melalui penelitian
pula seorang pembelajar memperoleh jawaban atas semua kegelisahan intelektual
yang selama ini dirasakannya. Tak pelak, penelitian menjadi suatu cara yang
acap kali ditempuh oleh para pembelajar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan
cara ini banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu atau intelektual muslim
dalam menemukan kebenaran atas ajaran agama yang dianutnya. Salah satu contoh
imam malik sebagai intelektual muslim terkemuka dimasanya, ia banyak melakukan
penelitian sebelum meriwayatkan banyak hadits dan mengarang kitab-kitab tentang
ilmu hadits.
13. Mengamalkan
Ilmu
Cara belajar yang terakhir yang banyak dilakukan
oleh para imam madzhab dan ulama terdahulu adalah dengan mengamalkan ilmu yang
didapat. Sekecil apapun ilmu yang diperoleh, mereka amalkan dan aplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari sehingga ilmunya bermanfaat dan tidak lupa pula
untuk membagi dan menyampaikannya pada yang lain.
C.
Penutup
Di kalangan Aliran Ahlussunah wal
Jamaah atau sering juga disebut kaum Suni, terdapat empat imam madzhab
yang namanya sangat populer. Keempat imam madzhab tersebut adalah Imam Abu
Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi�i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Keempatnya
merupakan pioner peradaban Islam di masa kejayaan Islam yang lalu sekaligus
imam besar di bidang
ilmu Fiqih dan Hadits hingga masa kini. Dan di balik kebesaran ilmu yang dimiliki
para imam madzhab tersebut tersimpan rahasia proses pembelajaran yang luar bisa
yang patut diteladani dan dicontoh. Berikut rahasia cara belajar yang dilalui
oleh para imam madzhab dalam menuntut ilmu yaitu memurnikan niat, menentukan
spesifikasi ilmu, memilih guru yang tepat, mencatat dan menghafal materi ilmu,
belajar terus menerus dan berulang-ulang, mengoptimalkan waktu malam, belajar
dalam waktu yang lama, melakukan pengembaraan ilmu/ perjalanan ilmiah, berbuat
baik pada guru, mendatangi majelis ilmu, bermusyawarah dan berdiskusi,
melakukan penelitian, dan mengamalkan ilmu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash Shafti, Ali Muhammad Khalil. 2003. Iltizam :
Membangun Komitmen Seorang Muslim. Jakarta : Gema Insani Press.
Alaydrus, Habib Syarif Muhammad. 2009. Agar Hidup
Selalu Berkah Meraih Ketentraman Hati Dengan Hidup Penuh Berkah. Bandung :
Mizania.
Al Mawardi Imam. 2009. Jalan Meraih Kebahagiaan
Dunia dan Akhirat Jakarta : Sahara intisain.
Tarik Suwaidan. 2012. Biografi Imam Abu Hanifah:
Kisah Perjalanan Dan Pelajaran Hidup Sang Pengusung Kebebasan Berpikir.
Jakarta : Penerbit Zaman.
Tarik Suwaidan. 2012. Biografi Imam Ahmad bin
Hambal: Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Pembela Sunah. Jakarta :
Penerbit Zaman.
Tarik Suwaidan. 2015. Biografi Imam Syafi�i:
Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid. Jakarta : Penerbit
Zaman
Yanuar Arifin. 2015. Mengungkap Rahasia Cara
Belajar Para Imam Madzhab. Yogyakarta : Diva Press.
Sumber Internet : Diakses pada tanggal
30 Maret 2016.
https://www.islampos.com/imam-abu-hanifah-tekun-belajar-ilmu-sepanjang-hayat-59517/
[1] Yanuar Arifin. Mengungkap
Rahasia Cara Belajar Para Imam Madzhab. (Yogyakarta
: Diva Press. 2015), hlm. 5
[2] Q..S.
An-nahl: 44
[3] Q.S.
An-Najm: 3-4
[4] Tarik Suwaidan.
Biografi Imam Abu Hanifah: Kisah Perjalanan Dan Pelajaran Hidup Sang
Pengusung Kebebasan Berpikir. (Jakarta :
Penerbit Zaman. 2012.), hlm. 36
[5] Tarik
Suwaidan�����.hlm. 55
[6] Yanuar Arifin. Mengungkap
Rahasia Cara Belajar Para Imam Madzhab. (Yogyakarta
: Diva Press. 2015. ), hlm. 67
[7] Yanuar��..hlm
87
[8] Q.S Al Alaq, ayat 1-2
[9] Q.S.Thaha, ayat 114.