URGENSI PERAN KELUARGA
DALAM MEMBANGUN
KARAKTER ANAK
Muhammadun
(Dosen Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon)
_____________________________
Abstrak
Anak merupakan awal dari
kehidupan manusia dewasa. Keadaan manusia dewasa pada saat ini banyak tergantung
pada keadaaannya semasa kanak-kanak. Para ahli menyebut bahwa masa kanak-kanak
adalah masa emas dalam membentuk pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dengan
demikian menjadi penting bagi seluruh orang tua untuk membentuk karakter anak
sehingga anak tersebut akan menjadi bibit unggul dalam perkembangan manusia
dewasa selanjutnya. Tulisan ini akan membahas tentang peran keluarga dalam
membangun karakter anak dengan menggunakan pendekatan psikologis, tepatnya
menggunakan teori psikologi prilaku Burrhus Frederic Skinner.
Key
words:
Karakter Anak,
Psikologi, Skinner
____________________________________
A.
Pendahuluan
Anak adalah anugerah
besar dari Allah SWT. Setiap orang tua pasti menginginkan anak yang saleh dan
salehah, taat pada orang tua dan taat kepada Allah SWT. Apa yang menjadi
kebaikan bagi anak senantiasa diusahakan dan diupayakan oleh orang tua, karena
kebahagiaan sang anak juga merupakan bagian dari kebahagiaan keluarga secara
keseluruhan.
Adapun keluarga
merupakan forum pendidikan yang pertama (al-madrasah al-ula) dan utama
dalam sejarah hidup sang anak, yang pada tahap selanjutnya, akan menjadi
pondasi penting dalam pembentukan karakter dirinya. Untuk menciptakan karakter
yang kuat dan perangai yang baik pada anak, diperlukan terciptanya suasana keluarga
yang harmonis dan dinamis, hal tersebut dapat tercipta jika terbangun
koordinasi dan komunikasi dua arah yang kuat antara orang tua dan anak demi
kebaikan bersama (Yusdani, 2015: 167).
Banyak orang tua yang
menghabiskan waktunya untuk berbagai urusan di luar rumah, rutinitas kantor,
janji dengan relasi atau mitra bisnis, aktivitas organisasi dan lain sebagainya
yang mengorbankan waktu untuk anak, sehingga anak merasa terabaikan. Ada juga
orang tua yang merasa cukup memberikan perhatian kepada anak dengan
pemenuhan-pemenuhan yang sifatnya materiil, namun kebutuhan dalam hal
pendidikan, terutama akhlak mulia, kasih sayang, cenderung dinomorduakan.
Hasilnya anak akan merasa kurang mendapat perhatian dan kasih sayang, dan
dampaknya tentu bisa membuat anak memililiki sikap yang tidak menyenangkan.
Pendidikan yang baik
dalam keluarga akan membentuk kepribadian anak yang baik, perkembangan
kepribadian anak dapat dikendalikan dan dibentuk dengan bimbingan dan
pengarahan dari orang tua, keluarga (dalam hal ini orang tua) merupakan tempat
pendidikan pertama bagi anak. Sehingga, keluarga memiliki peran penting dalam
membentuk karakter anak, sebab intensitas dan kedekatan bisa jadi faktor
penting untuk mewujudkan hal tersebut.
Tentu akan sangat
kentara perbedaannya, antara anak yang dididik dan dibina dengan kedekatan dan
kasih sayang dengan anak yang dibesarkan oleh keluarga yang kurang memiliki
perhatian. Hal ini sangat berpengaruh terhadap prestasi dan keberhasilan dari
si anak. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah bagi para orang tua untuk
mengetahui bagaimana cara mendidik anak dengan menciptakan suasana keluarga
yang sakinah dan sejahtera demi membentuk karakter anak yang baik dan positif.
Paper
ini hendak memotret peranan keluarga dalam membangun karakter anak sebagai
objek material, melalui tinjauan psikologis sebagai objek formalnya. Adapun
teori yang hendak digunakan adalah teori psikologi perilaku atau aliran
behaviour. Teori ini dipopulerkan oleh Burrhus Frederic Skinner (1904), bagi
Skinner psikologi harus dilihat sebagai suatu bidang ilmu dan dipelajari secara
ilmiah.
Psikologi perilaku
menaruh perhatian pada perilaku yang dapat diamati (observable behaviour)
dan dipelajari. Menurut Skinner, perilaku manusia adalah hasil dari pengaruh
lingkungan dan hal-hal di sekitarnya (Matt Jarvis, 2009: 15).� Lingkungan berperan sebagai stimulus dalam
mempengaruhi perilaku manusia, baik sifatnya yang fisik maupun non fisik.
Stimulus itu kemudian diolah dan dipahami dalam diri manusia, hasil dari olah
pemahaman itu kemudian muncullah respon sebagai perilaku yang tampak.
Skinner membagi dua
jenis perilaku: pertama, respondent behaviour, yakni perilaku yang
didasarkan pada refleks yang tidak perlu dipelajari, seperti halnya ketika kita
menyentuh sesuatu yang panas tangan kita akan secepat mungkin menghindarinya. Kedua,
operant behaviour, yakni perilaku yang merupakan hasil belajar. Tiap
individu belajar tentang kemungkinan-kemungkinan yang menghasilkan kepuasan
atau kesakitan dalam situasi tertentu. Melalui belajar, individu menjadi
memiliki perilaku baru, menjadi lebih terampil, menjadi lebih tahu dan lain
sebagainya. Kehidupan terus-menerus dihadapkan dengan situasi eksternal yang
baru dan organisme harus belajar merespon situasi baru itu baik memakai respon
lama atau respon yang baru dipelajarinya.�
Skinner percaya bahwa kepribadian dapat dipahami dengan mempertimbangkan
perkembangan tingkah laku dalam hubungannya yang terus-menerus dengan
lingkungannya (Purwa Atmaja, 2012: 238-254).
B.
Pembahasan
a. Keluarga
Sakinah dan Manajemen Konflik Keluarga
Membangun kehidupan
rumah tangga sakinah memang menjadi dambaan setiap manusia, namun tentu saja
untuk mencapainya bukan persoalan yang mudah, butuh kesiapan dalam banyak hal.
Allah berfirman dalam surat al-Rum (30): 21:
وَمِنْ
ءَايَٰتِهِۦ
أَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِّنْ
أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَٰجًا
لِّتَسْكُنُواْ
إِلَيْهَا
وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ
مَّوَدَّةً
وَرَحْمَةً إِنَّ
فِيْ ذَٰلِكَ
لَأيَٰتٍ
لِّقَوْمٍ
يَّتَفَكَّرُونَ
�Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.�
Setiap orang pasti
mendambakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Keluarga yang penuh dengan
rasa aman, tenang, riang gembira dan saling menyayangi di antara anggota
keluarga (F. Ridjal, 1993, 25). Keluarga yang bahagia dapat memberikan dampak
positif bagi setiap anggotanya, mereka tidak akan memiliki beban psikologis
yang dapat mengganggu aktifitas keseharian yang dampaknya justru memperburuk
keadaan.
Dalam kenyataan
sehari-hari tentunya tidak semua keluarga dapat mencapai status keluarga yang
bahagia, banyak keluarga yang mengalami masalah dalam berkeluarga, seperti
masalah hubungan suami istri, pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan
dengan masyarakat dan lain sebagainya. Konflik dalam keluarga akan tetap ada
karena manusia tidak akan pernah lepas dari masalah keluarga (Wirawan, 1992:
17).
Secara spesifik, sangat
sulit sekali untuk merangkum penyebab-penyebab dari masalah keluarga, karena
setiap keluarga mempunyai masalah sendiri-sendiri. Namun Wirawan menyebutkan
beberapa faktor yang merupakan penyebab dari munculnya masalah keluarga
(Wirawan, 1992: 31), di antaranya adalah kurangnya kemampuan berinteraksi antar
pribadi di dalam menanggulangi masalah.
Banyak keluarga
kesulitan menanggulangi masalah karena kurangnya pengetahuan, kemampuan dan
fleksibilitas untuk menghadapi hal-hal baru, hal ini disebabkan karena
masing-masing anggota keluarga mengalami kesulitan beradaptasi terhadap
masalah-masalah baru yang hadir. Jenis masalah tersebut dapat muncul dengan
tipe yang berbeda-beda, yaitu:
1)
Masalah dalam
hal komunikasi. Hal ini bisa timbul jika masing-masing anggota keluarga tidak
tahu bagaimana mereka harus menyampaikan dan mengutarakan perasaan mereka
dengan jelas. Terkadang keengganan untuk mengkomunikasikan hal-hal yang bisa
dipecahkan bersama bisa menyebabkan hubungan dan komunikasi dalam keluarga
tidak menjadi efektif. Padahal, salah satu fungsi keluarga adalah untuk
membantu anggota keluarga memecahkan masalahnya dengan cara berkomunikasi.
2)
Masalah dalam
hal keakraban/kedekatan, merupakan ciri dari keluarga yang tidak mempunyai
hubungan erat satu sama lain. Mereka jarang meluangkan waktu untuk
bersama-sama, tidak saling percaya atau tidak saling menghormati di antara
anggota keluarga, jarang berbagi masalah, dan punya kesulitan dalam menangani
krisis karena mereka tidak pernah belajar untuk bekerjasama dengan akrab.
3)
Kurangnya
komitmen terhadap keluarga menjadikan keluarga sangat sulit untuk membangun
kebersamaan dan menangani masalah, lebih-lebih jika satu atau lebih dari
anggota keluarga tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk terlibat dalam
menyelesaikan masalah keluarga. Ketika sebagian anggota keluarga merasa tidak
peduli kepada sebagian yang lain, maka beban keluarga menjadi bertambah berat.
4)
Kurangnya
kestabilan menghadapi lingkungan. Masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga
kerap kali berasal dari luar rumah, adanya campur tangan dari keluarga besar
dan bisa saja dari orang lain yang dapat mengganggu kestabilan keluarga.
Para pihak dalam
keluarga, harus mampu memetakan masalah yang hadir dalam keluarga mereka, terutama
orang tua yang memiliki peran penting dalam pemecahan setiap masalah. Sebab
pada prinsipnya, keluarga harus mengetahui dan menyadari bahwa setiap masalah
yang ada akan sangat berpengaruh terhadap tingkat karakter anak: keluarga yang broken
home, keluarga yang kurang memiliki kebersamaan, kurang interaksi,
otoriter, dan sering melahirkan konflik cenderung menghasilkan karakter anak
yang bermasalah (M. Balsom, 1993: 12).
Ratna Megawangi
mengungkapkan hasil studi yang menunjukkan bahwa keluarga yang bahagia, yaitu
keluarga yang penuh kasih sayang dan memiliki hubungan baik antara orang tua
dan anak, maka sedikit sekali (5%) anak yang mengalami masalah gangguan
psikologis, sedangkan sisanya (95%) memiliki gangguan psikologis karena anak
berada pada keluarga yang tidak bahagia dan keluarga yang memiliki hubungan
buruk antara anak dan orang tuanya (Darosy Endah, 2011: 146).
Faktor sosial ekonomi
juga berperan dalam problematika keluarga. Tingkat tekanan dan stres yang
tinggi dalam keluarga dapat berpengaruh terhadap kualitas karakter anak.
Keadaan stres dan tekanan akan berpengaruh negatif terhadap kualitas pengasuhan
anak. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tindakan kekerasan yang dilakukan di
dalam keluarga, baik kekerasan suami terhadap istrinya, kekerasan istri
terhadap suaminya dan kekerasan orang tua terhadap anak-anaknya. Setiap kali
terjadi pertengkaran atau percekcokan di antara anggota keluarga, akan
berakibat pada kehidupan dalam keluarga itu sendiri, anak akan sulit menemukan
kedamaian dan ketentraman. Suasana yang demikian, akan berpengaruh negatif
terhadap perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Padahal Nabi mengajarkan kita
untuk senantiasa berbuat yang terbaik untuk keluarga, sebagaimana dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi (tt, 323) :
قال
رسول الله صلى
الله عليه
وسلم:
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِه
وَأَنَا
خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِيْ
وَإِذَا
مَاتَ
صَاحِبُكُمْ فَدَعُوْهُ
�Rasulullah SAW bersabda:
�Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku
(Rasulullah) adalah yang paling baik terhadap keluargaku. Dan jika sahabat
kalian meninggal, maka doakanlah.�� (HR. al-Tirmidzi)
Berkeluarga dan
mempunyai keturunan adalah salah satu tujuan hidup bagi setiap manusia guna
mencapai kebehagiaan dan melestarikan kehidupan manusia. Namun sayangnya, masih
banyak di antara para anggota keluarga yang melupakan hakekat dan makna
berkeluarga itu sendiri. Pembagian peran, hak dan kewajiban yang tidak
proporsional menyebabkan masalah baru dalam keluarga. Pada tahap selanjutnya
hal ini bisa menyebabkan kurangnya rasa saling pengertian dan kasih sayang,
kurangnya komunikasi, kebersamaan, senda gurau, bercengkerama, dan lain
sebagainya (F. Ridjal, 1993: 9). Proporsi waktu untuk keluarga juga sangatlah
penting. Orang tua tidak boleh menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk
bekerja, mengejar karir dan pundi-pundi duniawi saja, sehingga melupakan
waktunya untuk anak. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang tidak baik bagi si
anak dan keluarga secara keseluruhan (R. Saptari, dkk, 1997: 11).
Berbagai pedoman
tentang pendidikan anak menekankan agar orang tua dapat menjadi pendengar dan
komunikator yang baik, mampu menjadi teladan, menciptakan lingkungan belajar di
rumah, tidak mengembangkan pemikiran yang sempit dan dangkal pada anak, serta dapat
menanamkan kejujuran. Oleh karena itu, salah satu hal terpenting dalam
pembangunan kualitas keluarga yang utama adalah kualitas interaksi antara
anggota keluarga (M. Go Setiawan, 2000: 17).
Pembelajaran rasa
percaya diri anak harus dimulai dari rumah. Rumah harus diusahakan menjadi
tempat untuk memupuk rasa percaya diri anak dan membentuk kepribadian baik
lainnya. Sebab peran orang tua dalam mendidik anak sangat besar pengaruhnya
dalam proses perkembangan anak, meskipun perlu didukung oleh lembaga-lembaga
sosial seperti sekolah dan juga lingkungan. Begitu pun sikap suami terhadap
istri dan sebaliknya, sangat berpengaruh dalam pendidikan anak sebagai anggota
keluarga, karena setiap hari ia dapat menangkap semua perilaku ayahnya terhadap
ibunya dan sebaliknya. Hal ini tentu dapat mempengaruhi karakteristik atau
perilaku anak. Sehingga, keberhasilan seorang anak, sangat ditentukan oleh
keluarga, karena di situlah ia mendapat pendidikan pertama kali sebagai fondasi
(Akh. Minhaji, 2013: 309).
Orang tua yang bijaksana,
akan mendidik anak- anaknya dengan rasa cinta kasih dan sayang, agar
menghasilkan anak-anak yang berprestasi dan dapat diandalkan. Anak adalah
investasi yang tiada nilainya bagi orang tua untuk kebahagiaan dunia maupun
akhirat. Orang tua manapun tentu mengharapkan agar anak-anaknya mewarisi
sifat-sifat atau kepribadian yang baik, disamping kecerdasan yang optimal. Oleh
karena itu, orang tua dituntut untuk belajar bagaimana membesarkan, mendidik
dan merawat anak agar si anak dapat menjadi �permata� dan bermanfaat bagi
agama, keluarga, bangsa dan negara.
b. Pentingnya Pendidikan Sejak Dini
Pendidikan anak dimulai
saat masih dalam kandungan ibu, dengan diberi asupan gizi yang baik dan halal
(Muhammad Solihin, 2010: 83), berkomunikasi secara baik, memperdengarkan
ayat-ayat suci al-Quran, musik klasik, atau hal-hal yang dapat membantu
perkembangan otak anak. Adapun beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk
membentuk watak dan kepribadian anak yang baik:
a)
Mengenalkan
Allah SWT sejak dini
Menurut Ery Soekresno,
bahwa pengenalan kepada Allah SWT seharusnya sudah harus dimulai sejak anak
masih berada di dalam kandungan. Pada saat itu, bayi sudah dapat mendengar.
Karenanya saat mengandung, seorang ibu disunnahkan untuk banyak berdzikir dan
menjauhi perkataan-perkataan yang tidak baik, tujuannya supaya anak hanya
mendengar yang baik-baik saja. Ayah dari calon bayi dapat berperan serta dengan
mengenalkan Allah SWT dengan cara menempelkan pipi pada perut sang bunda dan
mulai berbicara dengannya, atau dapat juga dilakukan dengan cara si istri
menyimak tilawah suami.
Pada saat kelahiran
seorang bayi disunnahkan untuk segera mengazankan bayi di telinga kanan dan
mengiqomatkan bayi ditelinga kiri (Wahbah al-Zuhaily, 1989: 561). Menurut
Abdullah Ulwan, upaya ini untuk menanamkan fondasi akidah, tauhid dan iman bagi
anak. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kalimat azan merupakan kalimat dakwah
yang sempurna. Isinya didominasi oleh kalimat tauhid dan dilengkapi dengan
ajaran shalat serta ajakan untuk meraih kejayaan hidup di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, sebelum bayi mendengar suara lain yang belum tentu baik dan
mendidik, alangkah baiknya jika terlebih dahulu yang diperdengarkan adalah
kalimat tauhid (Muhammad Solihin, 2010: 95). Biasakan bayi mendengar kata �Allah�
dan lafadz dzikir yang lain seperti �subhanallah� (Maha Suci Allah),
�alhamdulillah� (segala puji bagi Allah), �astaghfirullah� (aku memohon ampun
kepada Allah), �Allahu akbar� (Allah Maha Besar) dan kalimat dzikir atau doa
yang lainnya.
b)
Menjauhkan
kata-kata tidak baik di hadapan anak
Allah berfirman dalam
surat al-Nahl ayat 78:
وَٱللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ
مِّنْ
بُطُونِ
أُمَّهَٰتِكُمْ
لَا
تَعْلَمُوْنَ
شَيْئًا
وَجَعَلَ
لَكُمُ ٱلسَّمْعَ
وَٱلْأَبْصَٰرَ
وَٱلْأَفْئِدَةَ
لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
�Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.�
Setiap hari seorang
bayi menangkap kata-kata ibu dan ayahnya. Ibu adalah orang yang paling dekat
dengan si bayi dan yang paling sering memeluknya dalam sehari. Bayi lebih peka
terhadap keberadaan ibunya karena ia menyerap suara ibunya setiap kali bersama
dengannya. Sama seperti sebuah perekam, bayi akan menggunakan nalurinya untuk
menyerap setiap hal di lingkungannya ketika ia sedang belajar menjadi manusia.
Setiap kali terjadi sesuatu di sekelilingnya, perkembangan jiwanya akan
terpengaruh. Oleh karena itu, biasakanlah mengatakan hal-hal yang baik saja dan
hindari kata-kata yang buruk (umpatan, makian dan semacamnya) (Norman
Fairclough, 1995:35).
Bila ada pertengkaran
antara suami-istri jangan pernah kita melakukannya di hadapan anak, karena akan
menyebabkan trauma bagi si anak. Seorang anak akan berpikir bahwa ayah dan
ibunya tidak baik. Bila anak mendengar kata-kata kotor di luar, orang tua harus
mengatakan bahwa itu tidak baik dan tidak boleh ditiru serta beri alasan yang
benar mengapa hal tersebut tidak baik.
c)
Biasakan anak
untuk jujur
Berhati-hatilah
terhadap kata-kata yang kita ajarkan dan ucapkan, jangan sampai di dalamnya
terdapat benih-benih kebohongan. Orang tua adalah teladan bagi anak, maka sudah
seharusnya sejak dini orang tua mengajarkan nilai-nilai kejujuran kepada anak
dalam berucap maupun bertindak.
d)
Beri contoh
dalam menjaga amanah
Anak adalah seorang
peniru maka orang tua berkewajiban memberi contoh yang baik. Ajarilah anak
untuk memegang teguh amanah yang diberikan dan berlatih untuk bertanggungjawab.
Apabila anak waktunya belajar, maka orang tua wajib menyuruh anak untuk belajar
dan mendampinginya. Mendampingi anak belajar adalah salah satu bentuk
kepedulian orang tua untuk turut membantu kesulitan-kesulitan anak dalam
memahami pelajaran dan memecahkan permasalahan-permasalahannya.
e)
Berbuat adil
Anggaplah kita sebagai
hakim yang adil dalam menghadapi masalah yang dialami oleh anak-anak, baik
antara ia dengan kakak atau adiknya, ataupun antara anak kita dengan anak orang
lain, lihat dulu apa permasalahannya, mana yang salah, dan janganlah asal
menyalahkan. Pada posisi ini, peran orang tua adalah untuk mengajarkan anak
untuk adil dalam bersikap.
f)
Luangkan
waktu untuk anak
Luangkan waktu untuk
bermain bersama anak, mendengarkan keluh kesahnya sehingga anak akan merasa
lega dengan berkuranglah beban yang ada di hatinya.
g)
Ajaklah anak
untuk mengambil setiap ilmu di mana saja dia berada
Sediakan bacaan yang
bermutu bagi anak di rumah, kondisikan agar dia mau dan senang membaca. Ajarkan
bahwa mendapatkan ilmu bisa dari siapa saja, hal ini merupakan ajaran untuk
menghargai orang lain.
c.
Peran Pendidik
Banyak pendapat
mengatakan bahwa seorang ibu jauh lebih baik untuk mendidik anak dari pada
seorang ayah. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena ayahpun juga mempunyai
tugas dan peran penting untuk mendidik anak. Kebijaksanaan, kedisiplinan dan
sifat tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang ayah perlu diajarkan kepada
anak-anak (U. A. Anisah, 2004: 19). Ibu dan ayah memiliki peran yang sama
vitalnya dalam membina karakter anak. Keduanya memiliki tanggungjawab besar
sebagai orang tua yang sehari-hari berkumpul bersama di rumah.
Selain orang tua, guru
di sekolah juga memiliki peranan yang penting. Pembentukan akhlak yang baik
haruslah koheren antara apa yang diterima anak di rumah dan juga di sekolah,
jangan sampai terjadi ketimpangan pembinaan akhlak baik di rumah maupun sekolah
(Darosy Endah, 2011: 149).
Dalam hal minat
belajar, orang tua dan guru perlu menanamkan minat belajar walaupun anak masih
pada usia pra sekolah. Metode yang baik yang dianjurkan pada anak pra sekolah
adalah dengan menyesuaikan kebutuhan anak dan minatnya. Misalnya, melatih anak
untuk membaca, mengenali huruf, angka dan dengan memberikan bacaan-bacaan
bergambar warna-warni yang disukainya. Begitu pun dalam hal seni, anak
diajarkan untuk menggambar, bernyanyi dan mengahapal doa-doa keseharian yang
sederhana. Dengan begitu orang tua sudah mengajarkan niali-nilai positif kepada
anaknya (Darosy Endah, 2011: 150).
Salah satu cara
mendidik yang baik bagi orang tua ataupun guru adalah dengan mendidik anak
melalui berkomunikasi. Komunikasi yang dilandasi kasih sayang akan sangat
menyentuh dan mengena bagi anak. Komunikasi yang tepat akan memudahkan anak
ataupun orang tua untuk menyampaikan apa yang dirasakan. Dengan komunikasi
orang tua dapat mengenal setiap anaknya sebagai pribadi yang unik, dan dapat
menjalin hubungan yang akrab dengan anaknya (M. Go Setiawan, 2000: 31).
Ada tiga teknik
komunikasi yang paling penting untuk dapat membangun jenis hubungan yang penuh
kasih sayang dalam keluarga, yaitu: bercerita, mendengarkan dan berempati.
Pertama,
bercerita. Orang tua dapat mendidik anaknya dengan bercerita. Orang tua yang
bersedia membuka diri kepada anaknya akan mendorong keterbukaan diri anak.
Dengan memberikan kesempatan pada anak-anak untuk bercerita tentang apa yang
dialaminya maka akan membantu anak agar lebih membuka diri, dapat menerima
kritik dan saran, memperbaiki diri serta membantu anak untuk dapat lebih
mengemukakan apa keinginan mereka. Jadi anak lebih terbuka dengan orang tua
mereka. Anak yang tidak pernah berbagi pengalaman dengan orang tua, maka akan
menjadi anak yang cenderung menutup diri dan tidak dapat mengekspresikan diri.
Kedua,
mendengarkan. Kemampuan untuk mendengarkan orang lain, merupakan suatu hal yang
penting untuk membina hubungan dalam keluarga terutama dengan anak. Pada
hakikatnya mendengar adalah menerima sampai suatu cerita berakhir, serta berusaha
untuk menyusun kembali dalam pikiran kita peristiwa-peristiwa dan
pengalaman-pengalaman orang lain. Pada saat anak menghadapai suatu masalah,
orang tua hendaknya mendengarkan cerita anak sampai selesai, kemudian orang tua
bisa memberikan masukan dan solusi.
Ketiga,
berempati. Berempati berarti mau merasakan apa yang dirasakan dan dialami oleh
orang lain. Menurut James Dobson, seorang ahli jiwa, mengatakan bahwa kunci
untuk membesarkan anak yang sehat dan bertanggung jawab adalah dengan berusaha
untuk merasa di balik mata si anak, artinya orang tua berusaha untuk melihat
apa yang dilihat anak, memikirkan apa yang dipikirkan, dan merasakan apa yang
dirasakan. Dengan berempati kita akan lebih dapat memahami keinginan dan
kebutuhan anak. Pada saat besar nanti, anak sudah terlatih untuk memiliki
empati terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya (Darosy Endah, 2011: 150).
d.
Posisi Anak Dalam Keluarga
Al-Quran menempatkan
anak pada posisi yang sangat penting dan diberikan perhatian yang sangat
serius. sebagaimana ditegaskan oleh al-Ghazali, anak adalah amanah Allah SWT
yang dianugerahkan kepada umat manusia, dan hatinya yang suci adalah permata
yang masih murni dan sama sekali tidak terdapat pahatan serta gambar. Ia dapat
menerima apa saja yang dipahatkan, dan dapat condong ke mana saja dicondongkan.
Jika ia dibiasakan dan diajarkan kebaikan maka ia akan tumbuh dan berkembang
menjadi baik dan bahagia di dunia dan akhirat. Tapi sebaliknya apabila dia
dibiasakan jelek maka ia akan celaka dan liar, dan orang tualah yang
bertanggung jawab atas anak itu (Hamdan Rajih, 2002: 60).
Seorang anak kelak akan menjadi tumpuan harapan kedua orang tua untuk
membebaskan mereka dari siksa neraka dan memasukkan mereka ke dalam surga.
Memang anak bisa menjadi kebanggaan orang tua, karena anak salah satu sebab
datangnya kebahagiaan, bilamana anak dapat memenuhi harapan Allah dan orang
tuanya (Umar Hasim, 1985: 22). Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa
anak adalah termasuk dari tiga hal atau perkara yang senantiasa dapat
memberikan kontribusi pahala bagi orang tua sekalipun mereka sudah meninggal,
hadis tersebut berbunyi:
إِذَا
مَاتَ
الإِنْسَانُ
اِنْقَطَعَ
عَمَلُهُ
إِلاَّ مِنْ
ثَلاَثٍ
صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ
أَوِعِلْمٍ
يُنْتَفَعُ
بِهِ أَوْ
وَلَدٍ
صَالِحٍ
يَدْعُوْ
لَهُ
�Ketika seseorang mati, maka amalnya akan terputus kecuali tiga
hal: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.�
(Jalal al-Din al-Suyuti, tt: 251)
Dari hadis ini dapat
dipahami betapa pentingnya anak dalam sebuah keluarga, apalagi bila anak tersebut
adalah anak yang saleh yang tidak pernah lupa bagaimana dia harus bersikap dan
selalu mendoakan orang tuanya. Sebab doa seorang anak saleh merupakan investasi
pahala yang tidak akan pernah putus walaupun mereka sudah meninggal.
Akan tetapi anak juga bisa
menjadi cobaan bagi orang tua �fitnah� seperti firman Allah dalam surat
at-Taghabun ayat 15:
إِنَّمَا
أَمْوَا
لُكُمْ وَ
أَوْلاَدُ
كُمْ فِتْنَة
�Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah cobaan...�
Bahwa anak sebagai
cobaan atau fitnah dari Allah ini maksudnya untuk menguji keimanan manusia
sejauh mana manusia dapat memelihara amanah Allah. Anak dianugerahakan kepada
manusia agar dapat dididik ke jalan yang benar dan menjadi manusia yang berguna
baik bagi sesamanya, maupun bagi agama dan bangsa (Musdah Mulia, 2005: 405).
Sesungguhnya
merawat anak, melindungi, memelihara dan mengasuh pada dasarnya merupakan
tanggung jawab bersama kedua orang tua (Musdah Mulia, 2005:160). Tanggungjawab
keduanya dapat dibaca dalam pembagian tanggungjawab dan peran yang diambil
masing-masing dalam memelihara anak dalam rangka membentuk kepribadian anak,
mengembangkan potensi akademik melalui olah rasio, potensi relegius, dan moral
(Fuaduddin, 1999: 19-24).
Dalam fikih
Islam, orang tua mempunyai wewenang atau kekuasaan atas anak-anaknya. Masalah
ini dibahas dalam kajian tersendiri dan dinamakan al-Wilayah. Menurut
Abu Zahrah ada tiga wewenang yang harus dijalankan oleh orang tua dengan penuh
tanggungjawab dan adil, karena itu termasuk kewajiban mereka, dan hak-hak itu tetap
akan melekat pada orang tua sampai anak dewasa atau belum memasuki dunia
perkawinan. Wewenang itu tetap akan melekat apabila anak dalam kondisi tidak
memungkinkan untuk dilepas, misalnya anak dalam kondisi gila atau karena adanya
cacat mental sehingga tidak dapat hidup mandiri. Wewenang itu ada tiga: pertama,
kekuasaan pada tahap pendidikan. Kedua, kekuasaan untuk menjaga jiwa
anak, dan ketiga, kekuasaan terhadap harta anak jika ada (Abu Zahrah,
tt: 474).
Sebuah
hadis, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (t.t, 458), menyatakan:
Dalam konsep
Islam setiap anak yang terlahir dalam keadaan fitri, yaitu memiliki potensi
bawaan yang dibawa sejak lahir (Imam Muslim, tt:458). Potensi tersebut meliputi
religius dan rasional (akal). Kedua orang tua memiliki peran sangat strategis
bagi masa depan anak, yaitu kemampuan membina dan mengembangkan potensi dasar
(fitrah) anak. Karena penafsiran kata abawaih (kedua orang tua anak
dalam teks itu adalah konteks di luar diri anak atau faktor eksternal, yang
berarti disamping orang tua, ada lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan
masyarakat.
Di antara
berbagai tanggung jawab besar yang diwajibkan oleh Islam kepada bapak, ibu, dan
para guru adalah tanggungjawab pendidikan, baik fisik maupun intelektualnya
agar anak-anak tumbuh seiring dengan baiknya pertumbuhan fisik, gairah dan
semangatnya (Abdullah Nashih Ulwan, 1990:1). Selain itu, orang tua juga mempunyai
tanggungjawab untuk menerapkan prinsip tidak boleh membahayakan dirinya sendiri
dan juga membahayakan orang lain.
Soerjono Soekanto� (1982: 62) pernah menulis:
��Kingsley Davis pernah menelaah perihal seoarang
anak usia lima tahun (namanya Anna) yang selama hampir semua usianya disekap
dalam sebuah kamar yang kecil di atas loteng disebuah rumah petani di
Penssylvania. Anak yang bernama Anna tersebut menunjukkan sifat-sifat yang
berlainan sama sekali dengan anak lain yang seusia; dia tidak dapat jalan, tak
dapat mendengar dengan sempurna, tak dapat makan seperti manusia dan
seterusnya�.
Seorang ibu
berkewajiban merawat anak mulai dari menyusui, memelihara, menimang dan
seterusnya. Dalam hal menyusui, Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat
233:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ
حَوْلَيْنِ
كَامِلَيْنِ
لِمَنْ أَرَادَ
أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَة
�Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.�
Dari ayat di atas
mempunyai makna bahwa tugas ibu adalah menyusui anaknya sejak dia lahir sampai
pada masa yang telah ditentukan oleh syari�, yaitu selama dua tahun. Selain itu
selama masa hadanah seorang ibu harus mengasuh dan menjaga anaknya,
karena seorang anak dalam masa pertumbuhannya lebih membutuhkan kehadiran dan
kehangatan seorang ibu. Dalam hal ini ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya,
karena secara alamiah seorang anak lebih dahulu dekat dengan ibu dari pada ayah
sebab ibulah yang mengandung (Abu Zahrah, tt: 474).
Selain menyusukan,
memberi pakaian, mengobati jika sakit, menyediakan obat-obatan yang diperlukan
dan kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat lahiriyah (jasmaniah), perawatan
harus dilengkapi pula dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat
rohaniah, seperti bimbingan keagamaan, hiburan, dan lain-lain, sehingga anak
dapat berkembang secara wajar dan tumbuh dewasa secara seimbang antara fisik
dan mentalnya.
Pertumbuhan fisiknya
menjadi seimbang dengan perkembangan akal dan perasaannya. Sejak dini
perkembangan mentalnya mulai diarahkan pada pembentukan pribadi muslim, agar
kelak ia dapat tumbuh dewasa menjadi insan yang benar-benar berpribadi muslim,
menjadi insan saleh yang kuat akidahnya, tekun beribadah dan berakhlak karimah.
Mendidik anak dengan
baik dan benar berarti menumbuhkembangkan totalitas potensi anak secara wajar.
Potensi jasmaniah dan potensi rohaniah anak diupayakan tumbuh- kembangnya
secara selaras, serasi dan seimbang. Potensi jasmaniah anak diupayakan
pertumbuhannya secara wajar melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah
anak. Seperti pemenuhan kebutuhan makan, sandang dan papan. Sedangkan potensi
rohaniah diupayakan pengembangan secara wajar melalui usaha pendewasaan akal,
perasaan dan budi pekerti Zakaria Ahmad, tt: 51).
C.
Penutup
Berdasarkan pembahasan
di atas, maka bisa disimpulkan bahwa urgensitas peran keluarga di dalam
membentuk karakter anak sangatlah vital. Melalui teori perilaku atau
behaviourisme yang dianut oleh B.F Skinner, maka bisa disimpulkan bahwa
setiap manusia (dalam hal ini khususnya anak) mampu diarahkan dan diajari untuk
menjadi manusia yang baik dan bermanfaat. Sejak masa bayi inilah, seorang anak
sudah dididik melalui lantunan ayat-ayat suci al-Qur�an yang dibacakan oleh
kedua orang tuanya. Pendidikan karakter untuk berlaku jujur, percaya diri,
adil, tidak berbohong, disiplin, giat belajar dan lain sebagainya merupakan
bentuk kepedulian orang tua yang wajib dilaksanakan. Selain itu, orang tua juga
harus pandai membagi waktu untuk anak, agar anak senantiasa merasa bahwa orang
tuanya selalu hadir untuk dirinya, berkenan mendengarkan keluh kesahnya, bisa
berbagi, dan belajar untuk saling berempati. Anak juga harus dikenalkan siapa
Tuhannya, agar sejak dini ia sudah memiliki akar iman, akidah dan pemahaman
keagamaan sebagai pendidikan terhadap sisi rohaniahnya. Sehingga, anak tidak
hanya mendapat perhatian dari sisi jasmaniahnya saja, melainkan rohaniahnya
juga. Pada intinya, anak akan menjadi harta orang tua yang paling berharga.
Ketika nantinya orang tua tiada, anak lah yang akan senantiasa mengirimkan
untaian doa tulus kepada mereka. �Wallahu a�lam. ***
DAFTAR PUSTAKA
Anisah, U. A,. 2004. Kado Cinta Ayah Bunda.Yogyakarta:
Oase Media.
Balsom, M.. 1993. Menjadi Orang Tua yang Lebih
Baik. Jakarta: Binarupa Aksara.
Barri, Zakariyya Ahmad al-, tt. Hukum Anak-anak
dalam Islam, terj. Imam Fakhrudin.
Jakarta: Bulan Bintang,
Fairclough, Norman. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis,
terj. Hartoyo. Semarang: IKIP Semarang Press,.
Fuaduddin. 1999. Pengasuhan Anak dalam Islam. Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Gender..
Hasim, Umar. 1985. Anak Saleh: Cara Mendidik Anak
dalam Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Hyoscyamina, Darosy Endah. 2011 . �Peran Keluarga
dalam Membangun Karakter Anak,� dalam Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10,
No. 2.
Jarvis, Matt. 2009.�
Teori-teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku,
Perasaan dan Pikiran Manusia, terj. SPA-Teamwork. Bandung: Nusamedia.
Minhaji, Akh. 2013. Sejarah Sosial dalam Studi
Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi (Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press.
Mulia, Musdah. 2005. Muslimah Reformis
(Perempuan Pembaru Keagamaan. Bandung: Mizan.
Muslim. t.t. Sahih Muslim, Beirut: Dar
al-Fikr.
Prawira, Purwa Atmaja. 2012. Psikologi Umum:
Dengan Perspektif Baru. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Rajih, Hamdan. 2002. Mengakrabkan Anak dengan
Tuhan. Yogyakarta: Diva Press.
Ridjal, F. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di
Indonesia. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Saptari, R. & Holzner. 1997. Perempuan Kerja
dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT Anem Kosong.
Setiawan, M. Go. 2000. Menerobos Dunia Anak.
Bandung: Yayasan Kalam Hidup.
Sholikhin, Muhammad. 2010.
Ritual & Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi: Suatu
Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Suyuti, Jalal al-Din al-. t.t. Syarh Sunan
al-Nasa�i. Beirut: Dar al-Fikr.
Tirmidzi, Muhammad bin Isa bin Surah Al-. t.t. Sunan
al-Tirmidzi, vol. 2. t.tp: t.p.
Ulwan, Abdullah Nashih. 1990. Pendidikan Anak
menurut Islam Mengembangkan Kepribadian Anak, alih bahasa: Khalilullah
Ahmas Masjkur Hakim. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Wirawan, S. 1992. Menuju Keluarga Bahagia.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Yusdani. 2015. Menuju Fiqih Keluarga Progresif,
cet. II. Yogyakarta: KAUKABA DIPANTARA.
Zahrah, Abu. t.t. Al-Ahwal al-Syakhsiyyah.
Kairo: Dar al- Fikr al -`Araby.
Zuhaily, Wahbah al-. 1989. Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, Vol. 1. Beirut: Dar al-Fikr.
http://print.kompas.com/ baca/ 2015/ 04/ 27/
Laporan- KDRT- Meningkat%2c-Penanganan-Belum-Optimal diakses 15 November 2015.