URGENSI PERAN KELUARGA

DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK

 

Muhammadun

(Dosen Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon)

 

_____________________________

Abstrak

Anak merupakan awal dari kehidupan manusia dewasa. Keadaan manusia dewasa pada saat ini banyak tergantung pada keadaaannya semasa kanak-kanak. Para ahli menyebut bahwa masa kanak-kanak adalah masa emas dalam membentuk pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dengan demikian menjadi penting bagi seluruh orang tua untuk membentuk karakter anak sehingga anak tersebut akan menjadi bibit unggul dalam perkembangan manusia dewasa selanjutnya. Tulisan ini akan membahas tentang peran keluarga dalam membangun karakter anak dengan menggunakan pendekatan psikologis, tepatnya menggunakan teori psikologi prilaku Burrhus Frederic Skinner.

 

Key words:

Karakter Anak, Psikologi, Skinner

____________________________________

 


A.    Pendahuluan

Anak adalah anugerah besar dari Allah SWT. Setiap orang tua pasti menginginkan anak yang saleh dan salehah, taat pada orang tua dan taat kepada Allah SWT. Apa yang menjadi kebaikan bagi anak senantiasa diusahakan dan diupayakan oleh orang tua, karena kebahagiaan sang anak juga merupakan bagian dari kebahagiaan keluarga secara keseluruhan.

Adapun keluarga merupakan forum pendidikan yang pertama (al-madrasah al-ula) dan utama dalam sejarah hidup sang anak, yang pada tahap selanjutnya, akan menjadi pondasi penting dalam pembentukan karakter dirinya. Untuk menciptakan karakter yang kuat dan perangai yang baik pada anak, diperlukan terciptanya suasana keluarga yang harmonis dan dinamis, hal tersebut dapat tercipta jika terbangun koordinasi dan komunikasi dua arah yang kuat antara orang tua dan anak demi kebaikan bersama (Yusdani, 2015: 167).

Banyak orang tua yang menghabiskan waktunya untuk berbagai urusan di luar rumah, rutinitas kantor, janji dengan relasi atau mitra bisnis, aktivitas organisasi dan lain sebagainya yang mengorbankan waktu untuk anak, sehingga anak merasa terabaikan. Ada juga orang tua yang merasa cukup memberikan perhatian kepada anak dengan pemenuhan-pemenuhan yang sifatnya materiil, namun kebutuhan dalam hal pendidikan, terutama akhlak mulia, kasih sayang, cenderung dinomorduakan. Hasilnya anak akan merasa kurang mendapat perhatian dan kasih sayang, dan dampaknya tentu bisa membuat anak memililiki sikap yang tidak menyenangkan.

Pendidikan yang baik dalam keluarga akan membentuk kepribadian anak yang baik, perkembangan kepribadian anak dapat dikendalikan dan dibentuk dengan bimbingan dan pengarahan dari orang tua, keluarga (dalam hal ini orang tua) merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Sehingga, keluarga memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak, sebab intensitas dan kedekatan bisa jadi faktor penting untuk mewujudkan hal tersebut.

Tentu akan sangat kentara perbedaannya, antara anak yang dididik dan dibina dengan kedekatan dan kasih sayang dengan anak yang dibesarkan oleh keluarga yang kurang memiliki perhatian. Hal ini sangat berpengaruh terhadap prestasi dan keberhasilan dari si anak. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah bagi para orang tua untuk mengetahui bagaimana cara mendidik anak dengan menciptakan suasana keluarga yang sakinah dan sejahtera demi membentuk karakter anak yang baik dan positif.

Paper ini hendak memotret peranan keluarga dalam membangun karakter anak sebagai objek material, melalui tinjauan psikologis sebagai objek formalnya. Adapun teori yang hendak digunakan adalah teori psikologi perilaku atau aliran behaviour. Teori ini dipopulerkan oleh Burrhus Frederic Skinner (1904), bagi Skinner psikologi harus dilihat sebagai suatu bidang ilmu dan dipelajari secara ilmiah.

Psikologi perilaku menaruh perhatian pada perilaku yang dapat diamati (observable behaviour) dan dipelajari. Menurut Skinner, perilaku manusia adalah hasil dari pengaruh lingkungan dan hal-hal di sekitarnya (Matt Jarvis, 2009: 15).Lingkungan berperan sebagai stimulus dalam mempengaruhi perilaku manusia, baik sifatnya yang fisik maupun non fisik. Stimulus itu kemudian diolah dan dipahami dalam diri manusia, hasil dari olah pemahaman itu kemudian muncullah respon sebagai perilaku yang tampak.

Skinner membagi dua jenis perilaku: pertama, respondent behaviour, yakni perilaku yang didasarkan pada refleks yang tidak perlu dipelajari, seperti halnya ketika kita menyentuh sesuatu yang panas tangan kita akan secepat mungkin menghindarinya. Kedua, operant behaviour, yakni perilaku yang merupakan hasil belajar. Tiap individu belajar tentang kemungkinan-kemungkinan yang menghasilkan kepuasan atau kesakitan dalam situasi tertentu. Melalui belajar, individu menjadi memiliki perilaku baru, menjadi lebih terampil, menjadi lebih tahu dan lain sebagainya. Kehidupan terus-menerus dihadapkan dengan situasi eksternal yang baru dan organisme harus belajar merespon situasi baru itu baik memakai respon lama atau respon yang baru dipelajarinya.Skinner percaya bahwa kepribadian dapat dipahami dengan mempertimbangkan perkembangan tingkah laku dalam hubungannya yang terus-menerus dengan lingkungannya (Purwa Atmaja, 2012: 238-254).

 

B.     Pembahasan

a.      Keluarga Sakinah dan Manajemen Konflik Keluarga

Membangun kehidupan rumah tangga sakinah memang menjadi dambaan setiap manusia, namun tentu saja untuk mencapainya bukan persoalan yang mudah, butuh kesiapan dalam banyak hal. Allah berfirman dalam surat al-Rum (30): 21:

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُواْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِيْ ذَٰلِكَ لَأيَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُونَ

�Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.�

 

Setiap orang pasti mendambakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Keluarga yang penuh dengan rasa aman, tenang, riang gembira dan saling menyayangi di antara anggota keluarga (F. Ridjal, 1993, 25). Keluarga yang bahagia dapat memberikan dampak positif bagi setiap anggotanya, mereka tidak akan memiliki beban psikologis yang dapat mengganggu aktifitas keseharian yang dampaknya justru memperburuk keadaan.

Dalam kenyataan sehari-hari tentunya tidak semua keluarga dapat mencapai status keluarga yang bahagia, banyak keluarga yang mengalami masalah dalam berkeluarga, seperti masalah hubungan suami istri, pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan dengan masyarakat dan lain sebagainya. Konflik dalam keluarga akan tetap ada karena manusia tidak akan pernah lepas dari masalah keluarga (Wirawan, 1992: 17).

Secara spesifik, sangat sulit sekali untuk merangkum penyebab-penyebab dari masalah keluarga, karena setiap keluarga mempunyai masalah sendiri-sendiri. Namun Wirawan menyebutkan beberapa faktor yang merupakan penyebab dari munculnya masalah keluarga (Wirawan, 1992: 31), di antaranya adalah kurangnya kemampuan berinteraksi antar pribadi di dalam menanggulangi masalah.

Banyak keluarga kesulitan menanggulangi masalah karena kurangnya pengetahuan, kemampuan dan fleksibilitas untuk menghadapi hal-hal baru, hal ini disebabkan karena masing-masing anggota keluarga mengalami kesulitan beradaptasi terhadap masalah-masalah baru yang hadir. Jenis masalah tersebut dapat muncul dengan tipe yang berbeda-beda, yaitu:

1)        Masalah dalam hal komunikasi. Hal ini bisa timbul jika masing-masing anggota keluarga tidak tahu bagaimana mereka harus menyampaikan dan mengutarakan perasaan mereka dengan jelas. Terkadang keengganan untuk mengkomunikasikan hal-hal yang bisa dipecahkan bersama bisa menyebabkan hubungan dan komunikasi dalam keluarga tidak menjadi efektif. Padahal, salah satu fungsi keluarga adalah untuk membantu anggota keluarga memecahkan masalahnya dengan cara berkomunikasi.

2)        Masalah dalam hal keakraban/kedekatan, merupakan ciri dari keluarga yang tidak mempunyai hubungan erat satu sama lain. Mereka jarang meluangkan waktu untuk bersama-sama, tidak saling percaya atau tidak saling menghormati di antara anggota keluarga, jarang berbagi masalah, dan punya kesulitan dalam menangani krisis karena mereka tidak pernah belajar untuk bekerjasama dengan akrab.

3)        Kurangnya komitmen terhadap keluarga menjadikan keluarga sangat sulit untuk membangun kebersamaan dan menangani masalah, lebih-lebih jika satu atau lebih dari anggota keluarga tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk terlibat dalam menyelesaikan masalah keluarga. Ketika sebagian anggota keluarga merasa tidak peduli kepada sebagian yang lain, maka beban keluarga menjadi bertambah berat.

4)        Kurangnya kestabilan menghadapi lingkungan. Masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga kerap kali berasal dari luar rumah, adanya campur tangan dari keluarga besar dan bisa saja dari orang lain yang dapat mengganggu kestabilan keluarga.

Para pihak dalam keluarga, harus mampu memetakan masalah yang hadir dalam keluarga mereka, terutama orang tua yang memiliki peran penting dalam pemecahan setiap masalah. Sebab pada prinsipnya, keluarga harus mengetahui dan menyadari bahwa setiap masalah yang ada akan sangat berpengaruh terhadap tingkat karakter anak: keluarga yang broken home, keluarga yang kurang memiliki kebersamaan, kurang interaksi, otoriter, dan sering melahirkan konflik cenderung menghasilkan karakter anak yang bermasalah (M. Balsom, 1993: 12).

Ratna Megawangi mengungkapkan hasil studi yang menunjukkan bahwa keluarga yang bahagia, yaitu keluarga yang penuh kasih sayang dan memiliki hubungan baik antara orang tua dan anak, maka sedikit sekali (5%) anak yang mengalami masalah gangguan psikologis, sedangkan sisanya (95%) memiliki gangguan psikologis karena anak berada pada keluarga yang tidak bahagia dan keluarga yang memiliki hubungan buruk antara anak dan orang tuanya (Darosy Endah, 2011: 146).

Faktor sosial ekonomi juga berperan dalam problematika keluarga. Tingkat tekanan dan stres yang tinggi dalam keluarga dapat berpengaruh terhadap kualitas karakter anak. Keadaan stres dan tekanan akan berpengaruh negatif terhadap kualitas pengasuhan anak. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tindakan kekerasan yang dilakukan di dalam keluarga, baik kekerasan suami terhadap istrinya, kekerasan istri terhadap suaminya dan kekerasan orang tua terhadap anak-anaknya. Setiap kali terjadi pertengkaran atau percekcokan di antara anggota keluarga, akan berakibat pada kehidupan dalam keluarga itu sendiri, anak akan sulit menemukan kedamaian dan ketentraman. Suasana yang demikian, akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Padahal Nabi mengajarkan kita untuk senantiasa berbuat yang terbaik untuk keluarga, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi (tt, 323) :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِه وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ وَإِذَا مَاتَ صَاحِبُكُمْ فَدَعُوْهُ

�Rasulullah SAW bersabda: �Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku (Rasulullah) adalah yang paling baik terhadap keluargaku. Dan jika sahabat kalian meninggal, maka doakanlah.�� (HR. al-Tirmidzi)

 

Berkeluarga dan mempunyai keturunan adalah salah satu tujuan hidup bagi setiap manusia guna mencapai kebehagiaan dan melestarikan kehidupan manusia. Namun sayangnya, masih banyak di antara para anggota keluarga yang melupakan hakekat dan makna berkeluarga itu sendiri. Pembagian peran, hak dan kewajiban yang tidak proporsional menyebabkan masalah baru dalam keluarga. Pada tahap selanjutnya hal ini bisa menyebabkan kurangnya rasa saling pengertian dan kasih sayang, kurangnya komunikasi, kebersamaan, senda gurau, bercengkerama, dan lain sebagainya (F. Ridjal, 1993: 9). Proporsi waktu untuk keluarga juga sangatlah penting. Orang tua tidak boleh menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk bekerja, mengejar karir dan pundi-pundi duniawi saja, sehingga melupakan waktunya untuk anak. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang tidak baik bagi si anak dan keluarga secara keseluruhan (R. Saptari, dkk, 1997: 11).

Berbagai pedoman tentang pendidikan anak menekankan agar orang tua dapat menjadi pendengar dan komunikator yang baik, mampu menjadi teladan, menciptakan lingkungan belajar di rumah, tidak mengembangkan pemikiran yang sempit dan dangkal pada anak, serta dapat menanamkan kejujuran. Oleh karena itu, salah satu hal terpenting dalam pembangunan kualitas keluarga yang utama adalah kualitas interaksi antara anggota keluarga (M. Go Setiawan, 2000: 17).

Pembelajaran rasa percaya diri anak harus dimulai dari rumah. Rumah harus diusahakan menjadi tempat untuk memupuk rasa percaya diri anak dan membentuk kepribadian baik lainnya. Sebab peran orang tua dalam mendidik anak sangat besar pengaruhnya dalam proses perkembangan anak, meskipun perlu didukung oleh lembaga-lembaga sosial seperti sekolah dan juga lingkungan. Begitu pun sikap suami terhadap istri dan sebaliknya, sangat berpengaruh dalam pendidikan anak sebagai anggota keluarga, karena setiap hari ia dapat menangkap semua perilaku ayahnya terhadap ibunya dan sebaliknya. Hal ini tentu dapat mempengaruhi karakteristik atau perilaku anak. Sehingga, keberhasilan seorang anak, sangat ditentukan oleh keluarga, karena di situlah ia mendapat pendidikan pertama kali sebagai fondasi (Akh. Minhaji, 2013: 309).

Orang tua yang bijaksana, akan mendidik anak- anaknya dengan rasa cinta kasih dan sayang, agar menghasilkan anak-anak yang berprestasi dan dapat diandalkan. Anak adalah investasi yang tiada nilainya bagi orang tua untuk kebahagiaan dunia maupun akhirat. Orang tua manapun tentu mengharapkan agar anak-anaknya mewarisi sifat-sifat atau kepribadian yang baik, disamping kecerdasan yang optimal. Oleh karena itu, orang tua dituntut untuk belajar bagaimana membesarkan, mendidik dan merawat anak agar si anak dapat menjadi �permata� dan bermanfaat bagi agama, keluarga, bangsa dan negara.

 

b. Pentingnya Pendidikan Sejak Dini

Pendidikan anak dimulai saat masih dalam kandungan ibu, dengan diberi asupan gizi yang baik dan halal (Muhammad Solihin, 2010: 83), berkomunikasi secara baik, memperdengarkan ayat-ayat suci al-Quran, musik klasik, atau hal-hal yang dapat membantu perkembangan otak anak. Adapun beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk membentuk watak dan kepribadian anak yang baik:

a)        Mengenalkan Allah SWT sejak dini

Menurut Ery Soekresno, bahwa pengenalan kepada Allah SWT seharusnya sudah harus dimulai sejak anak masih berada di dalam kandungan. Pada saat itu, bayi sudah dapat mendengar. Karenanya saat mengandung, seorang ibu disunnahkan untuk banyak berdzikir dan menjauhi perkataan-perkataan yang tidak baik, tujuannya supaya anak hanya mendengar yang baik-baik saja. Ayah dari calon bayi dapat berperan serta dengan mengenalkan Allah SWT dengan cara menempelkan pipi pada perut sang bunda dan mulai berbicara dengannya, atau dapat juga dilakukan dengan cara si istri menyimak tilawah suami.

Pada saat kelahiran seorang bayi disunnahkan untuk segera mengazankan bayi di telinga kanan dan mengiqomatkan bayi ditelinga kiri (Wahbah al-Zuhaily, 1989: 561). Menurut Abdullah Ulwan, upaya ini untuk menanamkan fondasi akidah, tauhid dan iman bagi anak. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kalimat azan merupakan kalimat dakwah yang sempurna. Isinya didominasi oleh kalimat tauhid dan dilengkapi dengan ajaran shalat serta ajakan untuk meraih kejayaan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, sebelum bayi mendengar suara lain yang belum tentu baik dan mendidik, alangkah baiknya jika terlebih dahulu yang diperdengarkan adalah kalimat tauhid (Muhammad Solihin, 2010: 95). Biasakan bayi mendengar kata �Allah� dan lafadz dzikir yang lain seperti �subhanallah� (Maha Suci Allah), �alhamdulillah� (segala puji bagi Allah), �astaghfirullah� (aku memohon ampun kepada Allah), �Allahu akbar� (Allah Maha Besar) dan kalimat dzikir atau doa yang lainnya.

b)        Menjauhkan kata-kata tidak baik di hadapan anak

Allah berfirman dalam surat al-Nahl ayat 78:

وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِّنْ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

�Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.�

Setiap hari seorang bayi menangkap kata-kata ibu dan ayahnya. Ibu adalah orang yang paling dekat dengan si bayi dan yang paling sering memeluknya dalam sehari. Bayi lebih peka terhadap keberadaan ibunya karena ia menyerap suara ibunya setiap kali bersama dengannya. Sama seperti sebuah perekam, bayi akan menggunakan nalurinya untuk menyerap setiap hal di lingkungannya ketika ia sedang belajar menjadi manusia. Setiap kali terjadi sesuatu di sekelilingnya, perkembangan jiwanya akan terpengaruh. Oleh karena itu, biasakanlah mengatakan hal-hal yang baik saja dan hindari kata-kata yang buruk (umpatan, makian dan semacamnya) (Norman Fairclough, 1995:35).

Bila ada pertengkaran antara suami-istri jangan pernah kita melakukannya di hadapan anak, karena akan menyebabkan trauma bagi si anak. Seorang anak akan berpikir bahwa ayah dan ibunya tidak baik. Bila anak mendengar kata-kata kotor di luar, orang tua harus mengatakan bahwa itu tidak baik dan tidak boleh ditiru serta beri alasan yang benar mengapa hal tersebut tidak baik.

c)        Biasakan anak untuk jujur

Berhati-hatilah terhadap kata-kata yang kita ajarkan dan ucapkan, jangan sampai di dalamnya terdapat benih-benih kebohongan. Orang tua adalah teladan bagi anak, maka sudah seharusnya sejak dini orang tua mengajarkan nilai-nilai kejujuran kepada anak dalam berucap maupun bertindak.

d)       Beri contoh dalam menjaga amanah

Anak adalah seorang peniru maka orang tua berkewajiban memberi contoh yang baik. Ajarilah anak untuk memegang teguh amanah yang diberikan dan berlatih untuk bertanggungjawab. Apabila anak waktunya belajar, maka orang tua wajib menyuruh anak untuk belajar dan mendampinginya. Mendampingi anak belajar adalah salah satu bentuk kepedulian orang tua untuk turut membantu kesulitan-kesulitan anak dalam memahami pelajaran dan memecahkan permasalahan-permasalahannya.

e)        Berbuat adil

Anggaplah kita sebagai hakim yang adil dalam menghadapi masalah yang dialami oleh anak-anak, baik antara ia dengan kakak atau adiknya, ataupun antara anak kita dengan anak orang lain, lihat dulu apa permasalahannya, mana yang salah, dan janganlah asal menyalahkan. Pada posisi ini, peran orang tua adalah untuk mengajarkan anak untuk adil dalam bersikap.

f)         Luangkan waktu untuk anak

Luangkan waktu untuk bermain bersama anak, mendengarkan keluh kesahnya sehingga anak akan merasa lega dengan berkuranglah beban yang ada di hatinya.

g)        Ajaklah anak untuk mengambil setiap ilmu di mana saja dia berada

Sediakan bacaan yang bermutu bagi anak di rumah, kondisikan agar dia mau dan senang membaca. Ajarkan bahwa mendapatkan ilmu bisa dari siapa saja, hal ini merupakan ajaran untuk menghargai orang lain.

 

c.       Peran Pendidik

Banyak pendapat mengatakan bahwa seorang ibu jauh lebih baik untuk mendidik anak dari pada seorang ayah. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena ayahpun juga mempunyai tugas dan peran penting untuk mendidik anak. Kebijaksanaan, kedisiplinan dan sifat tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang ayah perlu diajarkan kepada anak-anak (U. A. Anisah, 2004: 19). Ibu dan ayah memiliki peran yang sama vitalnya dalam membina karakter anak. Keduanya memiliki tanggungjawab besar sebagai orang tua yang sehari-hari berkumpul bersama di rumah.

Selain orang tua, guru di sekolah juga memiliki peranan yang penting. Pembentukan akhlak yang baik haruslah koheren antara apa yang diterima anak di rumah dan juga di sekolah, jangan sampai terjadi ketimpangan pembinaan akhlak baik di rumah maupun sekolah (Darosy Endah, 2011: 149).

Dalam hal minat belajar, orang tua dan guru perlu menanamkan minat belajar walaupun anak masih pada usia pra sekolah. Metode yang baik yang dianjurkan pada anak pra sekolah adalah dengan menyesuaikan kebutuhan anak dan minatnya. Misalnya, melatih anak untuk membaca, mengenali huruf, angka dan dengan memberikan bacaan-bacaan bergambar warna-warni yang disukainya. Begitu pun dalam hal seni, anak diajarkan untuk menggambar, bernyanyi dan mengahapal doa-doa keseharian yang sederhana. Dengan begitu orang tua sudah mengajarkan niali-nilai positif kepada anaknya (Darosy Endah, 2011: 150).

Salah satu cara mendidik yang baik bagi orang tua ataupun guru adalah dengan mendidik anak melalui berkomunikasi. Komunikasi yang dilandasi kasih sayang akan sangat menyentuh dan mengena bagi anak. Komunikasi yang tepat akan memudahkan anak ataupun orang tua untuk menyampaikan apa yang dirasakan. Dengan komunikasi orang tua dapat mengenal setiap anaknya sebagai pribadi yang unik, dan dapat menjalin hubungan yang akrab dengan anaknya (M. Go Setiawan, 2000: 31).

Ada tiga teknik komunikasi yang paling penting untuk dapat membangun jenis hubungan yang penuh kasih sayang dalam keluarga, yaitu: bercerita, mendengarkan dan berempati.

Pertama, bercerita. Orang tua dapat mendidik anaknya dengan bercerita. Orang tua yang bersedia membuka diri kepada anaknya akan mendorong keterbukaan diri anak. Dengan memberikan kesempatan pada anak-anak untuk bercerita tentang apa yang dialaminya maka akan membantu anak agar lebih membuka diri, dapat menerima kritik dan saran, memperbaiki diri serta membantu anak untuk dapat lebih mengemukakan apa keinginan mereka. Jadi anak lebih terbuka dengan orang tua mereka. Anak yang tidak pernah berbagi pengalaman dengan orang tua, maka akan menjadi anak yang cenderung menutup diri dan tidak dapat mengekspresikan diri.

Kedua, mendengarkan. Kemampuan untuk mendengarkan orang lain, merupakan suatu hal yang penting untuk membina hubungan dalam keluarga terutama dengan anak. Pada hakikatnya mendengar adalah menerima sampai suatu cerita berakhir, serta berusaha untuk menyusun kembali dalam pikiran kita peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman orang lain. Pada saat anak menghadapai suatu masalah, orang tua hendaknya mendengarkan cerita anak sampai selesai, kemudian orang tua bisa memberikan masukan dan solusi.

Ketiga, berempati. Berempati berarti mau merasakan apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain. Menurut James Dobson, seorang ahli jiwa, mengatakan bahwa kunci untuk membesarkan anak yang sehat dan bertanggung jawab adalah dengan berusaha untuk merasa di balik mata si anak, artinya orang tua berusaha untuk melihat apa yang dilihat anak, memikirkan apa yang dipikirkan, dan merasakan apa yang dirasakan. Dengan berempati kita akan lebih dapat memahami keinginan dan kebutuhan anak. Pada saat besar nanti, anak sudah terlatih untuk memiliki empati terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya (Darosy Endah, 2011: 150).

 

d.      Posisi Anak Dalam Keluarga

Al-Quran menempatkan anak pada posisi yang sangat penting dan diberikan perhatian yang sangat serius. sebagaimana ditegaskan oleh al-Ghazali, anak adalah amanah Allah SWT yang dianugerahkan kepada umat manusia, dan hatinya yang suci adalah permata yang masih murni dan sama sekali tidak terdapat pahatan serta gambar. Ia dapat menerima apa saja yang dipahatkan, dan dapat condong ke mana saja dicondongkan. Jika ia dibiasakan dan diajarkan kebaikan maka ia akan tumbuh dan berkembang menjadi baik dan bahagia di dunia dan akhirat. Tapi sebaliknya apabila dia dibiasakan jelek maka ia akan celaka dan liar, dan orang tualah yang bertanggung jawab atas anak itu (Hamdan Rajih, 2002: 60).

Seorang anak kelak akan menjadi tumpuan harapan kedua orang tua untuk membebaskan mereka dari siksa neraka dan memasukkan mereka ke dalam surga. Memang anak bisa menjadi kebanggaan orang tua, karena anak salah satu sebab datangnya kebahagiaan, bilamana anak dapat memenuhi harapan Allah dan orang tuanya (Umar Hasim, 1985: 22). Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa anak adalah termasuk dari tiga hal atau perkara yang senantiasa dapat memberikan kontribusi pahala bagi orang tua sekalipun mereka sudah meninggal, hadis tersebut berbunyi:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوِعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

�Ketika seseorang mati, maka amalnya akan terputus kecuali tiga hal: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.� (Jalal al-Din al-Suyuti, tt: 251)

 

Dari hadis ini dapat dipahami betapa pentingnya anak dalam sebuah keluarga, apalagi bila anak tersebut adalah anak yang saleh yang tidak pernah lupa bagaimana dia harus bersikap dan selalu mendoakan orang tuanya. Sebab doa seorang anak saleh merupakan investasi pahala yang tidak akan pernah putus walaupun mereka sudah meninggal.

Akan tetapi anak juga bisa menjadi cobaan bagi orang tua �fitnah� seperti firman Allah dalam surat at-Taghabun ayat 15:

إِنَّمَا أَمْوَا لُكُمْ وَ أَوْلاَدُ كُمْ فِتْنَة

�Sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu adalah cobaan...�

 

Bahwa anak sebagai cobaan atau fitnah dari Allah ini maksudnya untuk menguji keimanan manusia sejauh mana manusia dapat memelihara amanah Allah. Anak dianugerahakan kepada manusia agar dapat dididik ke jalan yang benar dan menjadi manusia yang berguna baik bagi sesamanya, maupun bagi agama dan bangsa (Musdah Mulia, 2005: 405).

Sesungguhnya merawat anak, melindungi, memelihara dan mengasuh pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama kedua orang tua (Musdah Mulia, 2005:160). Tanggungjawab keduanya dapat dibaca dalam pembagian tanggungjawab dan peran yang diambil masing-masing dalam memelihara anak dalam rangka membentuk kepribadian anak, mengembangkan potensi akademik melalui olah rasio, potensi relegius, dan moral (Fuaduddin, 1999: 19-24).

Dalam fikih Islam, orang tua mempunyai wewenang atau kekuasaan atas anak-anaknya. Masalah ini dibahas dalam kajian tersendiri dan dinamakan al-Wilayah. Menurut Abu Zahrah ada tiga wewenang yang harus dijalankan oleh orang tua dengan penuh tanggungjawab dan adil, karena itu termasuk kewajiban mereka, dan hak-hak itu tetap akan melekat pada orang tua sampai anak dewasa atau belum memasuki dunia perkawinan. Wewenang itu tetap akan melekat apabila anak dalam kondisi tidak memungkinkan untuk dilepas, misalnya anak dalam kondisi gila atau karena adanya cacat mental sehingga tidak dapat hidup mandiri. Wewenang itu ada tiga: pertama, kekuasaan pada tahap pendidikan. Kedua, kekuasaan untuk menjaga jiwa anak, dan ketiga, kekuasaan terhadap harta anak jika ada (Abu Zahrah, tt: 474).

Sebuah hadis, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (t.t, 458), menyatakan:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ أَنْ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Dalam konsep Islam setiap anak yang terlahir dalam keadaan fitri, yaitu memiliki potensi bawaan yang dibawa sejak lahir (Imam Muslim, tt:458). Potensi tersebut meliputi religius dan rasional (akal). Kedua orang tua memiliki peran sangat strategis bagi masa depan anak, yaitu kemampuan membina dan mengembangkan potensi dasar (fitrah) anak. Karena penafsiran kata abawaih (kedua orang tua anak dalam teks itu adalah konteks di luar diri anak atau faktor eksternal, yang berarti disamping orang tua, ada lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.

Di antara berbagai tanggung jawab besar yang diwajibkan oleh Islam kepada bapak, ibu, dan para guru adalah tanggungjawab pendidikan, baik fisik maupun intelektualnya agar anak-anak tumbuh seiring dengan baiknya pertumbuhan fisik, gairah dan semangatnya (Abdullah Nashih Ulwan, 1990:1). Selain itu, orang tua juga mempunyai tanggungjawab untuk menerapkan prinsip tidak boleh membahayakan dirinya sendiri dan juga membahayakan orang lain.

Soerjono Soekanto(1982: 62) pernah menulis:

��Kingsley Davis pernah menelaah perihal seoarang anak usia lima tahun (namanya Anna) yang selama hampir semua usianya disekap dalam sebuah kamar yang kecil di atas loteng disebuah rumah petani di Penssylvania. Anak yang bernama Anna tersebut menunjukkan sifat-sifat yang berlainan sama sekali dengan anak lain yang seusia; dia tidak dapat jalan, tak dapat mendengar dengan sempurna, tak dapat makan seperti manusia dan seterusnya�.

Seorang ibu berkewajiban merawat anak mulai dari menyusui, memelihara, menimang dan seterusnya. Dalam hal menyusui, Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 233:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة

�Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.�

 

Dari ayat di atas mempunyai makna bahwa tugas ibu adalah menyusui anaknya sejak dia lahir sampai pada masa yang telah ditentukan oleh syari�, yaitu selama dua tahun. Selain itu selama masa hadanah seorang ibu harus mengasuh dan menjaga anaknya, karena seorang anak dalam masa pertumbuhannya lebih membutuhkan kehadiran dan kehangatan seorang ibu. Dalam hal ini ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya, karena secara alamiah seorang anak lebih dahulu dekat dengan ibu dari pada ayah sebab ibulah yang mengandung (Abu Zahrah, tt: 474).

Selain menyusukan, memberi pakaian, mengobati jika sakit, menyediakan obat-obatan yang diperlukan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat lahiriyah (jasmaniah), perawatan harus dilengkapi pula dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat rohaniah, seperti bimbingan keagamaan, hiburan, dan lain-lain, sehingga anak dapat berkembang secara wajar dan tumbuh dewasa secara seimbang antara fisik dan mentalnya.

Pertumbuhan fisiknya menjadi seimbang dengan perkembangan akal dan perasaannya. Sejak dini perkembangan mentalnya mulai diarahkan pada pembentukan pribadi muslim, agar kelak ia dapat tumbuh dewasa menjadi insan yang benar-benar berpribadi muslim, menjadi insan saleh yang kuat akidahnya, tekun beribadah dan berakhlak karimah.

Mendidik anak dengan baik dan benar berarti menumbuhkembangkan totalitas potensi anak secara wajar. Potensi jasmaniah dan potensi rohaniah anak diupayakan tumbuh- kembangnya secara selaras, serasi dan seimbang. Potensi jasmaniah anak diupayakan pertumbuhannya secara wajar melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah anak. Seperti pemenuhan kebutuhan makan, sandang dan papan. Sedangkan potensi rohaniah diupayakan pengembangan secara wajar melalui usaha pendewasaan akal, perasaan dan budi pekerti Zakaria Ahmad, tt: 51).

 

 

C.    Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa urgensitas peran keluarga di dalam membentuk karakter anak sangatlah vital. Melalui teori perilaku atau behaviourisme yang dianut oleh B.F Skinner, maka bisa disimpulkan bahwa setiap manusia (dalam hal ini khususnya anak) mampu diarahkan dan diajari untuk menjadi manusia yang baik dan bermanfaat. Sejak masa bayi inilah, seorang anak sudah dididik melalui lantunan ayat-ayat suci al-Qur�an yang dibacakan oleh kedua orang tuanya. Pendidikan karakter untuk berlaku jujur, percaya diri, adil, tidak berbohong, disiplin, giat belajar dan lain sebagainya merupakan bentuk kepedulian orang tua yang wajib dilaksanakan. Selain itu, orang tua juga harus pandai membagi waktu untuk anak, agar anak senantiasa merasa bahwa orang tuanya selalu hadir untuk dirinya, berkenan mendengarkan keluh kesahnya, bisa berbagi, dan belajar untuk saling berempati. Anak juga harus dikenalkan siapa Tuhannya, agar sejak dini ia sudah memiliki akar iman, akidah dan pemahaman keagamaan sebagai pendidikan terhadap sisi rohaniahnya. Sehingga, anak tidak hanya mendapat perhatian dari sisi jasmaniahnya saja, melainkan rohaniahnya juga. Pada intinya, anak akan menjadi harta orang tua yang paling berharga. Ketika nantinya orang tua tiada, anak lah yang akan senantiasa mengirimkan untaian doa tulus kepada mereka. Wallahu a�lam. ***

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anisah, U. A,. 2004. Kado Cinta Ayah Bunda.Yogyakarta: Oase Media.

Balsom, M.. 1993. Menjadi Orang Tua yang Lebih Baik. Jakarta: Binarupa Aksara.

Barri, Zakariyya Ahmad al-, tt. Hukum Anak-anak dalam Islam, terj. Imam Fakhrudin. Jakarta: Bulan Bintang,

Fairclough, Norman. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis, terj. Hartoyo. Semarang: IKIP Semarang Press,.

Fuaduddin. 1999. Pengasuhan Anak dalam Islam. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender..

Hasim, Umar. 1985. Anak Saleh: Cara Mendidik Anak dalam Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Hyoscyamina, Darosy Endah. 2011 . �Peran Keluarga dalam Membangun Karakter Anak,� dalam Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10, No. 2.

Jarvis, Matt. 2009.Teori-teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku, Perasaan dan Pikiran Manusia, terj. SPA-Teamwork. Bandung: Nusamedia.

Minhaji, Akh. 2013. Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press.

Mulia, Musdah. 2005. Muslimah Reformis (Perempuan Pembaru Keagamaan. Bandung: Mizan.

Muslim. t.t. Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr.

Prawira, Purwa Atmaja. 2012. Psikologi Umum: Dengan Perspektif Baru. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.

Rajih, Hamdan. 2002. Mengakrabkan Anak dengan Tuhan. Yogyakarta: Diva Press.

Ridjal, F. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Saptari, R. & Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT Anem Kosong.

Setiawan, M. Go. 2000. Menerobos Dunia Anak. Bandung: Yayasan Kalam Hidup.

Sholikhin, Muhammad. 2010. Ritual & Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Suyuti, Jalal al-Din al-. t.t. Syarh Sunan al-Nasa�i. Beirut: Dar al-Fikr.

Tirmidzi, Muhammad bin Isa bin Surah Al-. t.t. Sunan al-Tirmidzi, vol. 2. t.tp: t.p.

Ulwan, Abdullah Nashih. 1990. Pendidikan Anak menurut Islam Mengembangkan Kepribadian Anak, alih bahasa: Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Wirawan, S. 1992. Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Yusdani. 2015. Menuju Fiqih Keluarga Progresif, cet. II. Yogyakarta: KAUKABA DIPANTARA.

Zahrah, Abu. t.t. Al-Ahwal al-Syakhsiyyah. Kairo: Dar al- Fikr al -`Araby.

Zuhaily, Wahbah al-. 1989. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Vol. 1. Beirut: Dar al-Fikr.

http://print.kompas.com/ baca/ 2015/ 04/ 27/ Laporan- KDRT- Meningkat%2c-Penanganan-Belum-Optimal diakses 15 November 2015.