KECERDASAN
SPIRITUAL
(KEKUATAN
BARU DALAM PSIKOLOGI)
Cucum
Novianti
(Dosen Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon)
__________________________
Abstrak
Trend perkembangan psikologi menunjukan
adanya kepedulian terhadap nilai-nilai religius yang di bahasakan dengan
kecerdasan spiritual ( SQ ), dimana sebelumnya lebih didominasi oleh pengakuan
terhadap kecerdasan otak ( IQ ) dan kecerdasan emosi ( EQ ) sebagai penentu
kesuksesan seseorang. Dalam pandangan para pendukung spiritual gnostik , IQ dan
EQ dianggap tidak mampu lagi menghantarkan manusia pada kebermaknaan hidup.
Termasuk penemuannya tentang god-spot adalah pendekatan yang lebih berorientasi
pada nasional natural dan sekuler. Padahal, baik IQ, EQ, dan SQ harus tunduk
pada aturan-aturan Allah. Islam memandang bahwa kecerdasan spiritual (SQ) yang
melekat pada god-spot harus diberi muatan nilai-nilai keimanan kepada ilahi
sehingga pada kesaksian dan pengakuan keilahian serta terjadinya pemberdayaan
suara hati� (inner power ) yang akan
menimbulkan perasaan hidup yang komplit (Wholeness
) kerena kedekatannya dengan sang pencipta. Kajian kecerdasan Ruhaniah dan Emitional Spiritual Quotient (ESQ )
model adalah jawaban atas harapan kita.���
Key words:
Kecerdasan spiritual, Emotional Spritual
Quotient
____________________________
A.
Pendahuluan
Akhir-akhir ini,
pentingnya nilai-nilai khususnya nilai-nilai religius telah menjadi isu yang
makin menonjol dalam bidang Psikologinya. Tren ini di tandai dengan
meningkatkan perhatian di kalangan profesional dan masyarakat umum tentang
niulai-nilai agama. Terlihat mulai adanya gerakan meninggalkan naturalisme,
agnostisisme, bahkan humanisme yang telah mendominasi bidang-bidang kehidupan
hampir sepanjang abad ini.
� Bergin (
1980) menunjukan sejumlah ilustrasi terjadinya pergeseran arah perkembangan
itu. Beberapa diantaranya, pertama, sains telah kehilangan otoritasnya sebagai
sumber kebenaran yang sarat dengan muatan nilai. Meskipun kepercayaan terhadap
metode ilmiah masih tetap bertahan, tetapi muncul kekecawaan yang meluas
berkenan dengan cara-cara pemanfaatan ilmu tersebut sehingga sains sebagai
problem solver bagi masalah-masalah manusia mulai diragukan dan dipertanyakan
bahkan kehilangan kepercayaan.�
����������� Kedua,
Psikologi yang secara khusus menempatkan diri pada status sebagai � salah satu
sumber otoritas
bagi aktivitas manusia, ternyata terbatas efektivitasnya dalam menyumbangkan
manfaat-manfaat praktis. Menurut Campbell ( dalam Bergin 1990 ) terdapat
inkorerensi dalam konsep-konsepnya dan tersaing dari arus utama kebudayaan,
serta cenderung mengabaikan regius. Psikologis yang didominasi
pemikiran-pemikiran mekanistis dan naturalisme etis akhirnya terbukti tidak
cukup danketrrtarikan orang terhadapnya menjadi merosot.
�Ketiga, era
modern telah menimbulkan kecemasan, keterasingan, kekerasan, egoisme dan
defresi, tetapi semangat hidup manusia tidak dapat ditekan. Masyarakat
menginginkan sesuatu �lebih� manusia memiliki hasrat untuk �menjadi
penting�merasa �dianggap� dan eksistensinya�
diakui.Ini tampaknya menimbulkan harapan baru pada fenomena
spiritualitas, yang kemudian diikuti dengan perkembangannya usaha-usaha yang
bijaksana dan tepat yaitu dengan menyuntikkan perspektif spiritual kerohanian
pada analisis kepribadian, Kondisi-kondisi manusia, bahkan terhadap sains itu sendiri
( Tart, 1977).
����������� Keempat, para psikolog dipengaruhi oleh kekuatan � semangat zaman� yang sedang populer menjadi bagiannya. Munculnya studi-studi tentang ksadaran dan kognisi (Cognitif Psychology,) yang menumbuhkan kekecewaan terhadap behaviorisme yang mekanistis� dan pertumbuhan psikolog humanistik telah meratakan jalan bagi kemungkinanan diterimanya studi terhadap �realitas yang tak terobservasi�, selanjutnya tersebut kekuatan spiritual yang bekerja mempengaruhi prilaku-prilaku manusia. Fenomena sekarang ini menunjukan bahwa gerakan perkembangan semakin meluas yang diidentifikasikan oleh ledakkan jumlah penelitian terhadap meditasi transendental, munculnya sejumlah jurnal baru yang berisi hal-hal spiritual seperti Journal of psychology and judaism, journal of theology and psychology, serta tampilnya sesialisasi perkumpulan profesional religius seperti Association of Mormon Counselor and Psychotherapist, Christian Association of Psychologycal Studies, dan masih banyak lagi. Bahkan buku-buku teks lambat laun mulai bermunculan guna memperkenalkan nilai-nilai religius yang tadinya dianggap terjadi sesuatu yang tabuh, dimana beberapah tahun sebelumnya buku-buku teks psikologi dasar jarang yang mengungkap fenomena religius. Hal ini ditandai dengan nihilnya literatur khusus psikologi agama atau sosiologi agama.
B.
Pembahasan
1.
Psikologi Modern ( Barat ) Versus Psikologi
Dalam perkembangan
beberapa tahun ini, teori psikologi telah memberi tempat pada apa yang sekarang
disebut sebagai � psikologi tradisional �, yang berawal dari kesadaran bahwa
spikologi modern� melihat batas-batas
dari pandangan tentang manusia yang dimungkinkan oleh psikologi modern
tersebut.
Aliran Behaviorisme,
misalnya memandang sebagai makhluk yang �terkondisi� oleh lingkungan. Kerena
itu proses belajar yang melibatkan stimulasi (S) dan respon (R) individu sangat
menentukan proses adaptasi dalam kehidupan. Dari Behaviorisme diperoleh tentang
classicial Condition ( pembahasan
klasik ) yang dikembangkan oleh I, Pavlov dan J. B Watson, tentang Law Of Effect ( hukum dari akibat ) oleh
B. F. Skinner, teori Modeling (
pentauladanan) dari A. Bandura yang menyadarkan kita bahwa selain adanya
stimulus dan respon tadi, subyek (organisme) juga mempengaruhi dalam
pembentukan tingkah laku.
Lain lagi dengan aliran
Psikoanalisa yang di kembangkan oleh Sigmund Freud yang melihat manusia sebagai
�makhluk yang di kuasai oleh insting tak sadar� (Unconscious) yuang sangat berpengaruh terhadap seluruh tingkah laku
manusia. Psikoanalisis dengan teori tentang
Id. Ego dan Super ego telah
membuka suatu kemungkinan tentang betapa yang � tak sadar � itu selama ini
telah diabaikan dalam penelitian psikologi sebelum Freud. Misalnya Behaviorisme
terlalu menekankan aspek objektif dari perilaku manusia, sedangkan
Psokoanalisis membuka kesadaran kita tentang kuatnya unsur subyekti menentukan
perilaku manusia sehingga terbukanlah kemungkinan metode interpretetif dalam
menafsirkan � apa yang sedang terjadi dalam jiwa manusia �.
Dalam perkembangan
Psikologi Humanistik yang diantaranya tokoh-tokohnya adalah Carl Regers,
Abraham Maslow, Viktor Frankl melihat bahwa penekanan yang terlalu kuat pada
Behaviorisme dan Psikoanalisis akan mereduksi manusia, apa yang sama sekali
terkondisi oleh lingkungnya ( pada Behaviorisme ) atau tau detentukan sama
sekali oleh ketaksadaranya yang di bentuk sebelum usia 5 tahun ( pada
Psikoanalisis )sehingga apa yang disebut �kapasitas dan potensialitas � menusia
yang terus berkembang menjadi terabaikan. Disinilah Psikologi Humanistik
sebagai kekuatan ketiga dalam psikologi mencari tahu kemungkinan-kemungkinan
dari kapasitas dan potensi manusia dengan menekankan bahwa manusia adalah
makhluk yang mempunyai kebebasan melebihi determinasi-determinasi yang ada
seperti ditunjukan oleh Behaviorisme maupun Psikoanalisis.
Tema-tema yang dikaji
dalam aliran Humanistik adalah tema yang khas menusia seperti kreativitas,
cinta, pertumbuhan, kesadaran diri, kebutuhan dasar manusia. Niali-nilai yang
lebih tinggi membimbing manusia dalam menjalani hidup, keberadaan dan kemungkinan
menjadi (being and becoming),
tanggung jawab, kemampuan memilih, hati nurani, makna hidup, pengalaman
transendental. Konsep-konsep tentang hubungan antara pribadi, dan juga
kesehatan mental yang kurang atau sedikit digarap oleh dua aliran terdahulu. Melalui
aliran Humanistik ditemukan pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang �
terus menjadi � dan mempunyai pengalaman-pengalaman trasendental yang
menjadikannya harus terus meyempurnakan diri sejalan dengan potensi-potensi
kesempurnaan yang dimilikinya. disini mulai tampak untuk mendapatkan pengertian
tentang �hakikat diri manusia �, Psikologi barat modern ternyata sangat sangat
miskin, dibandingkan dengan psikologi tradisional- Timur.
Implikasinya tampak
dalam 20 tahun belakangan ini, dimana arus mempelajari dan mencengkokkan
psikologi Timur pada body of knowledge psikologi
barat sanagt kuat, bahkan mereka menyebutnya sabagai the new Psychologies. Beberapa tokoh seperti Robert Ornstein (1977)
dengan bukunya the Psychology of conscioness, dan charles
Tart dengan bukunya States of Consciousness. Yang terakhir bahkan terkenal
dengan usaha membukukan kekuatan baru psikologi ini dengan menyunting buku yang
disebut transpersonal Psykology (
Tart, 1977 ).
Saat ini Psikologi
Transpersonal yang dianggap oleh Tart ( 1977) sebagai kekuatan keempat dalam
psikologi telah dimasukan dalam buku standar pelajaran dasar psikologi.
Psikologi Transpersonal didefinisikan sebagi di siplin psikologi yang manelaah
topik-topik terkait dengan pengalaman Transpersonal manusia (Walsh, 1993 ).
Pengalaman Transpersonal adalah suatu pengalaman merasakan eksistentinya
identitas diri yang memiliki keberadaan melampaui personalitas kesadaran yang
memiliki karakter berbeda dari kesadaran pribadi yang dialami manusia pada
umumnya. Kesadaran itu adalah corak kesadaran yanh sudah mencapai tingkat
transendensi� yang dapat timbul karena
meditasi, mimpi, maupun implikasi pengalaman mistik atau religius.
Stuart B Litvak ( dalam
Hanurawan, 1999 ) menjelaskan bahwa sekarang ini psikologi Timur (tradisional)
secara lebih baik telah diapresikan oleh banyak psikologi. Metode pengembangan
dimensi intuisme, psikis dan mistik secara stimultan dapat melalui jalan Yoga.
Budhisme, dan Sufisme. Ia juga menyebut bahwa ketiga jalan tersebut sudah
seharusnya lebih diperhatikan karena mempunyai banyak dimensi psikologi yang
penting untuk pengembangan kesadaran manusia, justru sekarang menjadi tema
besar paling penting dalam psikologi kontemporer.
Di indonesia, gejala
perilaku teranpersonal dapat di temui dalam perilaku spiritualisme islam
khususnya pada penganun sufisme islam yang secara intenes melakukan
amalan-amalan religius. Menurut Giffored-May dan Thom Pson (1994) pelaksanan
amalan-amalan religius dapat dilihat sebagai suatu proses meditasi menuju
pengalaman transpersonal. Wujudnya dapat berupa amalan religius personal
(seperti sholat, puasa, zikir), dan amalan religius sosial (seperti
melayani/mengurus rumah tangga, mengasuh anak, menyantuni anak yatim, membantu
fakir miskin, kerja sosial) yang akan menyebabkan rasa kedekatan yang lebih
terhadap Allah sehingga terbentuk pengalaman transenden. Simuh (1996) menyebut
pengalaman transenden sebagai pengalaman mistik (Emystical State) yang
perupakan puncak keyakinan sufiah, dimana dalam perjalanan rohani para sufi mengalami
perubahan perasaan dan pengalaman kejiwaan yang di alami secara tiba-tiba di
luar usaha manusia dan puncak penghayatan tersebut di pandang sebagai hibah
atau anugrah dari Tuhan.
Berawal dari
kajian-kajian mendalan psikologi transpersonal, maka dalam perkembangan
selanjutnya tercatat sejumlah ahli dan profesional yang mencoba memberikan
perhatian terhadap aspek- aspek spiritual manusia melalui riset yang sangat
komprehensif dengan mengacu pada sruktur dan jaringan saraf pada otak ( Zohar
dan Marshall, 2000 ) maupun dengan pendekatan nilai-nilai ruhiyah ( Tasmara,
2001 ), bahkan ada pula yang mengkompilasikan antara kecemasan emosional
seperti yang digagas oleh Daniel Goleman (1995) dengan kecerdasan spiritual (
Agustian, 2001 ).
2.
Kecerdasan Spiritual
Sebelum istilah
kecerdasan spiritual ini mencuat kepermukaaan, kita telah di buat
terpesona� selama bertahun-tahun lamanya
dengan penemuan barat dengan IQ ( Intelligence Quotient ). Awal tahun 1920
psikolog dapat membicarakan konsep IQ dengan asumsi bahwa meraka yang memilki
IQ tinggi akan memiliki kemampuan untuk memecahakan permasalahan kehidupan dan
di duga akan cepat menguasai pengetahuan kerena kecepatan yang dimilikinya.
Orang cerdas menurus persi ini adalah meraka yang memiliki nilai intelektual tinggi
yang dapat di ukur secara kuantitatif melalui berbagai batteri tes inteligensi.
Studi yang di pelopori oleh Sir Pancis Gantton yang kemudian disempurnakan oleh
Alferd Binet dan Simon pada umumnya mengukur kemampuan yang berkaitan dengan
pengetahuan praktis, daya ingat, daya nalar, perbendaharaan kata dan pemecahan
masalah. IQ telah menjadi mitos sebagai satu-satunya alat ukur atau perameter
kecerdasan manusia sedemikian rupa sehingga sistem penilaian peserta didik
utamanya pada lembaga pendidikan formal sangat di dominasi oleh ulkuran
pemahaman dan penguasaan peserta didik dan aspek kognitifnya saja. Dengan kata
lain pendidikan di Indonesia terlalu menekankan arti penting nilai akademik,
kecerdasan otak atau IQ.
Sebuah paradoks yang
membahayakan den telah membuka mata dunia dengan hasil survey di Amerika
serikat pada tahun 1918 tentang IQ yang memyebutkan bahwa sementara skor IQ
anak-anak semakin tinggi, kecerdasan emosi mereka kusrtu menurun survey
besar-besaran di lakukan terhadap guru dan oarang tua mereka. Hasilnya, bahwa
anak-anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi tetimbang
generasi terdahulunya. Umumnya anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan
depresi, lebih mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup, dan cenderung
cemas, bahkan cenderung impulsif dan agresif. Dari survey ini juga diketahui
bahwa selama hampi seperempat abad terakhir, telah memicu penelitian terhadap
ratusan ribu pekerja dari berbagai level dan jenis pekerjaan. Berdasarkan
pengkaian yang cermat ditemukan bahwa ini kemampuan pribadi dan sosial tersebut
mendorong Daniel Goleman memperkenalkan kecerdasan emosional (EQ). Menurutnya,
hanya 20 persen kesuksesan orang ditunjang oleh IQ,
tetapi 80 persen lainnya, justru bersumber dari EQ. Orang-menempati posisi kunci
di dunia eksekutip. Istilah IQ digunakan untuk menggambarkan kemampuan manusia
untk mengelola emosi dan hatinya dalam bergaul dengan orang lain. Apa
yangbtulis dengan Goleman tersebut sangat sesuai dengan ajaran agama. Dalam
ajaran islam setiap manusia di munta membangu silaturahmi karena jaringan
silaturahmi akan memberikan kebiakkan, dan dapat membuka peluang bisnis, bahkan
ide kreatif sering kali di jumpai melalui diskusi dengan orang lain.
Ditengah keasikan kita
mendalami temuan Goleman, tiba-tiba muncul lagi kecerdasan spiritual (SQ)
sabagai penemuan terkini secara ilmiah yang digagas pertama kali dan di
populerkan oleh Danah Zohar (Harvared University) dan Ian Marsehall (Oxforede
University) melalui risetnya yang sangat komprehensif (Zohar dan Marsehall,
2000 ), dua di antara pembuktian ilmiah kecerdasan spiritual yang mereka
paparkan adalah pertama, riset yang dilakukan oleh Michael Persinger (ahli
psikologi saraf ) pada awal tahun 1990-an, dan temuan lebih muttakhir lagi
tahun 1997 oleh ahli saraf lainya yaitu V. S. Ramachandran dan timnya ladi
California University yang menemukan eksistensi �God-Spot dalam otak manusia.
Menurutnya God-spot adalah banguna pailing dalam (Builet-in) sebagai pusat psiritual (Psiritual center) yang terletak diantara jaringan saraf dan otak.
Bukti kedua adalah riset yang dilakukan oleh Wolef Singger (ahli saraf Austria)
pada era tahun 1990-an, atas The Binding
problem,yang menunjukan adanya proses saraf dalam otak manusia yang
terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberikan makna dalam
pengalaman hidup manusia, yaitu suatu jaringan saraf yang secara � literal �
mengikat pengalaman kita secara bersaman untuk � hidup lebih bermakna �.�
Kajian kecerdasan
sepiritual yang dikenalkan oleh Zohar dan Marshall ini bukan merupakan sesuatu
yang baru. Maslow (dalam Frank, 1971) telah memperkanalkan istilah Peak Experience, yaitu perasaan yang
muncul pada seseorang karena adanya pendektan dengan Sang Pencipta. Viktor
Frankl pada awal tahun 60-an dalam buukunya Man
Search for Meaning mengemukakan bahwa kebutuhan mendasar dalam diri manusia
adalah kebutuhan untuk memberi arti atau memberi makna dalam prilakunya
(Riyono,1997) demikian pula Goleman (1996) atau Seagel (2000) dengan Emotional Quotiyentnya sudah ada
keinginan atau kesadaraan untuk menyentuh spiritual. Hanya saja paradigm
spiritual yang mereka gagas masih dalam kerangka bangunan materi , bukannya
berangkat dari nilai- nilai keagamaan .
Pendekatan mereka tetap
berorentasi pada pendekatan rasional natural dan sekuler. Bagi mereka
nilai-nilai mental sepiritual bukan kekuatan yang berasal dari kekuatan Tuhan ,
tetapi merupakan realitas atau aktifitas otak semata- mata karna itu tidak
mengherankan kalau pada pendukung kecerdasan sepiritual itu (genostik ) seperti
Howard Gerdner ) seorang professor Harvard University , tidak mencantumkan
kecerdasan sepiritual di dalam penemuan ilmiahnya kecuali hanya menyebutkan multi intelligence. Begitupun dengan
Viktor Frankl ,tidak menggap konotasi sebutan sepiritual dalam logo terapinya
dengan keagamaan , tetapi sepiritual lebih merupakan aspirasi manusia untuk
hidup secara bermakna, bahkan ia menyatakan bahwa ajaran logo terapi adalah
serkuler . Zohar dan Marshall sendiri membantah adanya anggpan umum bahwa SQ� selalu berhubungan dengan agama. Menurutnya
SQ berbeda dengan agama karena agama merupakan aturan- aturan yang datang dari
luar sedang SQ adalah kemampuan internal, yaitu sesuatu yang menyentuh dan
membimbing manusia dari dalam.
Agama dalam pandanga
Zohar dan marshall adalah salah satu yang dapat meningkatkan SQ dan bukan
penentu utama SQ tinggi . Dimensi sepiritual bukanlah dimensi agama , melainkan
dimensi abstrak dari pemateri yang invisible . Ia� tidak ada hubungannya dengan adanya tuhan
atau tidak, melainkan sebuah penggambaran sifat fisik yang invisible .
Pandangan mereka tanpa anti agama karena memang spiritual� yang mereka kaji tidak dikaitkan dengan
masalagh ketuhanan, tetapi lebuh banyak berkaitan dengan masalah makna hidup,
nilai-nilai dan keutuhan diri, yang menurutny makna hidup itu dapat saja
diperolehnya melalui berkerja, belajar, dan berkarya, bahkan ketika
menghadapi� problematika dan penderitaan
sekalipun tanpa perlu mengkaitkannya lagi dengan ketuhanan. Jadi, kedua ahli
ini agama di tempatkan hanya sebagai salah satu cara mendapatkan SQ tinggi. God Spot yang menjadi acuan penelaahanya
hanya di anggap sebagai sesuatu yang dapat � melihat � adanya rasa venomen yang
di katakan � Tuhan � , tetapi tidak dapat membawa tuhan pada kehidupan kita
karena itu,� SQ yang tinggi tidak
menjamin seseorang menjadi beriman kepada tuhan�
logika mereka dapat di pahami karena memang mereka bangkat dari
pemahaman sains murni, bukan dalam bimbingan agama.
Ada dual hal yang di
anggap penting oleh Zohar dan Marshall (2000) yaitu aspek nilai dan makna
sebagai unsur penting dari kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan makna dan nilai, kecerdasan menempatkan perilaku dan
hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa jalan hidup seseorang lebih bermakna di bandingkan dengan yang
lain, dan kecerdasan ini tidak hanya untuk mengetahuai nilai-nilai yang ada,
tetapi juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Labih lanjut, mereka
memberikan gambaran tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi, yaitu : (1)
kemampuan bersifat fleksibel ( adaptif spontan dan aktif ). (2) tingkat
kesadaran yang tinggi, (3) kemampuan menghadapi dan memenfaatkan penderitaan,
(4) kemampuan menghadapi dan melampaui rasa takut, (5) kealitas hidup yang
diilhami oleh nila-nilai dan visi, (6) keenggaanan untuk menyebabkan kerugian
yang tidak perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai
hal (berpandangan hilistik), (8) kecenderungan nyata untuk bertanya �mengapa?�,
atau �bagaimana jika?� Untuk mencari jawaban yang mendasar� dan (9) pemimpin yang penuh pengabdian dan
bertanggung jawab.
Ciri-ciri tersebut
memperlihatkan adanya keterbatasan pemahaman Zohar dan Marshall utamanya ketika
mereka harus menjelaskan dimensi spiritual jauh melebihi hal itu. Ada sejumlah ultimate problem yang belum tersentuh
atau yang belum dapat dijawab oleh pendangan SQ yang mereka ajukan, yang justru
sangat penting bagi kehidupan seseorang. Misalnya,: siapakah dari kita ini
sesungguhnya? Akan kemanakan kita akhirnya?, dari manakah asal kejadian kita ?,
mengapa kita ada?, dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa usaha Zohar dan
Marshall dalam mengembara kearah spiritual dengan penjelasan-penjelasanya
sesungguhnya akan terjebak padaa gagal (Purwanto. 2001). Mereka justru akaan
mengalami rasa dehaga dan kemiskinan spiritual (Tasmania, 2001).
Dengan demikian,
kecerdasan spiritual (SQ) yang datang dari barat ini lebih menekankan pada� makna spiritual sebagai potensi yang khas di
dalam jasad, tanpa meng kaitkannya secara jelas, dengan kekuatan dan kekuasaan
Tuhan pembahasannya baru sebatas tataran biologi atau psikologi semata, tidal
bersifat transendental sehingga terjadi kebuntuan. Mereka menbedah kecerdasan
spiritual dengan pusat utamanya pada kekuatan otak manusia (brainwera), dan kerenanya dengan tegas
mereka mengatakan bahwa spiritualitas bukanlah agama (spiritual is not a religion).
3.
Kecerdasan Spiritual versi Islam �
����������� Kritik
atas pemikiran Barat tentang kecerdasan spiritual yang bersifat rasional,
sekuler dan meterialistik, telah memicu dan memahami peminat dan penulis buku
cepat di Indonesia, antara Toto Tasmara (2001) dan Ary Ginanjar Agustian
(2001). Tanpa mengurangi ilmiah temuan rasionalisme barat, mereka ingi mengajak
dan menya pembacanya untuk menyelami dan menerima kebenaran illahinya yang di
arahkan dan di bimbing oleh kecerdasan ruhaniah (Tasmara, 2001), dan agar
manusia mau mempergunakan suara hatinya yeng tedalam sebagai sumber kebenaran
sejati yang di stimulasi oleh spiritual center dan merupakan karunia Tuhan
(Agustian, 2001). IQ, SQ, dan EQ harus tunduk pada kecerdasan Ruhaniah (Trancendental Intellegence). Dengan
demikian manusia tidak akan menjadi pengembara yang gagal, atau mengalami rasa
dahaga dan kemiskinan spiritual.
�Lebih lanjut, Tasmara (2001) mengemukakan
bahwa dalam wacana islam, manusia bebas tetapi terikat, bebas untuk mengembara,
bebas bertafakur, bebas menyelam sejauh mereka mampu untuk mereguk rasa ingin
taunya (Cuoriosity), tetapi mereka
harus tetap muncul kembali pada fitrahnya sebagai manusia yang mengilahi. Bila
secara ilmiah V. S Ramachandran menemukan eksistensinya God-Spot dalam otak manusia, maka kecerdaan ruhaniah merupakan
fitrah fisikal yang melekat pada manusia, maka kecerdasan ruhaniah merupakan
muatan yang ada dalamnya, yaitu kesaksian dan pengakuan keilahinya. Tanpa
muatan keilahian ini, seluruh kecerdasan dengan segala derivasinya ( nilai
kemanusiaan , cinta, dan kreativitas ) hanylh amalan-amalan yang mendebu dan
tidak mempunya makna secara sempurna. Kecerdasn spiritual masih berada pada
potensi imajinasi kreatif, sedangkn kecerdasan ruhaniah memberikan arah yang
jelas kemana dan bagaimana imajinasi kreatif tersebut harus diarahkan.
Seorang muslim yang
cerdas secara ruhaniah adalah mereka yang menampilkan sosok dirinya sebagai
profesional yang berakhlak, pembawa keselamatan, keteduhan, kedamaian dan
kelembutan, yang terus mengisi kehidupannya dengan cinta, menjadikan hidup
lebih arti, dan bersiap menghadapi kematian. Meraka marasakan bahwa seluruh
kehidupannya selalu dimonitor oleh kemera ilahinya. Simak Q. S. Qaat, ayat 16 (�Sesungguhnya Kami telah menciptakan dan
mengetahui apa yang di bisikan oleh hatinya, dan kami dekat kepadanya darimana
urat lehernya�)� . juga Q. S. Al
Baqarah, ayat 115 ( sesungguhnya kepunyaan Allah timur barat, dan kemampuan
kamu berpaling disanalah wajah Allah).
Kecerdasan spiritual
terasa semakin penting peranannya, terlebih ketika semakin menguatnya desanya
pemilikan sumberdaya manusia yang memiliki kopetensi untuk hidup bersama
pusaran global. Ancok (2001) menjelaskan bahwa memasuki ekonomi baru yang virtual �diperlukan empat modal, yaitu modal
intelektual, modal sosial menjadi semakin penting karena membagun manusia yang
cerdas dengan IQ tinggi dan manusia yang pandai mengelola emosinya dalam
berhubungan dengan orang lain tidaklah menghantarkan manusia pada kebermaknaan
hidup. Padahal kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang dapat
menodrong orang untuk melakukan sesuatu kegiatan yang berguna. Hidup yang
berguna adalah idup yang memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Modal
spiritual juga dapat memberikan perasaan hidup yang komplit ( wholesness ) kerena adanya kedekatan
dengan Sang Pencipta.
Kedekatan seorang hamba
dengan Sang Penciptanya akan mengantar kehidupan seorang hamba pada kebenaran
sejati, yaitu kebenaran hakiki yang tidak tampak di hadapan mata kecuali
hanyalah dengan mata hati, dan terletaknya pada sura hati yang bersumber dari Spiritual Intellegence. Agustian (2001)
menyimpulkan bahwa temuan God-Spot S.
V. Ramachandran barulah hardware nya saja, sebelum ada Sofware nya. Ia lalu
mengegas sebuah beungsi sebagai untuk senergi antara EQ dengan SQ yang dianggap
memiliki muatanya yang sama-sama penting kedalam ESQ Model (Emotional Spiritual Quotient ); yang dapat berfungsi sebagai
software (isi) dari god- spot atau spiritual center secara transendental, yang
selanjutnya digunakan sebagi metode dalam menentukan pengetahuan yang benar dan
hakiki derdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam.
Menurut Agustian
(2001), kecerdasan spiritual yang dimaksud di dalam ESQ Model adalah kemampuan
untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui
langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang
seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta perinsip � hanya kerena Allah �. Inti ESQ
adalah bagaimana mendengarkan suara hati yang�
yang terdalam sebagai sumber kebenaran yang merupakan karunia Tuhan,
dimana seseorang dapat merasakan adanya sesuatau yang indah atau yang mulia
didalam dirinya. Efektifitas suara hati akan mempengaruhi perilaku individu
sehingga akhirnya akan menghasilkan manusia unggul di sektor emosi dan
spiritual yang mampu mengeksplorasi dan menginternalisasi kekayaan riniyah dan
jasaniyah dalam hidupnya.
Pengambaran suara hati
untuk menelusiri keindahan relung-reling hati dalam membag un ESQ diperlukan
upaya antara lain : (1) melakukan penjernihan (Zero Mind Process) sebagia prasyarat lahirnya alam berpikir jernih
dan suci (God-Spot/fitrah), yaitu kembali pada hati dan pikiran yang bersifat
merdeka sarta bebas dari belenggu,(2) membangun mental (Mentel Building), berkaitan dengan kesadara diri yang dibagun
dari alam berpikir dan emosi cesara sistematis berdasarkan rukun iman (prinsi:
bintang, malaikat, kepemimpinan, pembelajaran, masa depan, keteraturan), dan
(3) membentuk ketaggguhan pribadi (Personal
Strength), suatu langka pengasahan hati yang telah terbentuk derdasarkan Rukun Islam, yang dimulai dari (a)
penetapan misi (mission stetement),
(b) pembentukan karakter secara kontinyu dan intensif (Character building), dan (c) pelatihan pengendalian diri ( self controlling ), dan (4) membentuk
ketangguhan sosial ( social strength
), yaitu melakukan aliensi atau sinergi dengan orang lain atau lingkungan
sosialnya sebagia suatu perwujudan tangung jawab sesial seseorang yang telah
memikili ketangguhan pribadi, dilikukan dengan dua langkah, yaitu: (d) sinergi
( strategic collaboration ), dan (e)
aplikasi total (total action). Untuk
diperlukan pemahaman tentang Asmaul Husna (nama-nama Allah). Dengan asmaul
husna yang merupakan kunci besar Rukun Iman dan Rukun Islam kita dapat
merasakan dan menditaksi satu persatu dorongan suara hati terdalam dengan
jelas, juga perasaan serta suara hati orang lain yang pada hekekatnya bersumber
dari suara hati Allah Yang Maha Mulia dan Maha Benar.
C.
Penutup
Meningkatnya perhatian
tentang nilai-nilai religius saat ini menjadi salah satu trend dalam� perkembangan�
psikologi. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kajian Psikologi Transpersonal
( kekuatan keempat ) setelah aliran Behaviorisme, Psokoanalisis, dan
Humanistik. Psikologi Transpersonal mengajarkan praktek-praktek untuk
mengantarkan manusia pada kesadaran spiritual, di atas Id. Ego, dan Superego.
Beberapa dasawarsa yang
lalu (awal tahun1920) psokologi banyak membicarakan konsep IQ (kecerdasan Otak
) yang di anggap sebagai sesuatu yang sangat dominan dalam mempengaruhi
kesuksesan seseorang di masyarakat. Pada tahun 1990, Pater Salovey ( Haervard
University ) dan Jonh Mayer ( University of Hamshire ), memperkenalkan istilah Emotional Quotient ( kecerdasan
emosional ) untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi yng tampak penting bagi
kesuksesan seseorang ( Shapiro, 1997 ). Baru pada tahun 1995 istilah EQ di
populerkan oleh Daniel Goleman dengan sebuah Emotional Intelligence. Goleman (1996) dengan tegas mengatakan
bahwa IQ hanya menyubang 20 persen bagi keberhasialn seseorang, sedangkan 80
persen lainya bersumber dari Emotional
Intellegence.
Belum lagi penemuan
Goleman ini dikaji dengan mendalam, diawal abad 21 Danar Zohar (Harvard
University) dan Ian Marshall (Oxford
Unniversity) melalu riset yang sangat
komprehenif menghasilkan pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Salah satu kritik
terhadap Zohar dan Marshall adalah bahwa pendekatan yang digunakan berorientasi
rasional natural dan sekuler, tidak nerangkat dari niali-nilai keagaman.
Menurut mereka SQ berbeda dengan Agama. Dalam pandangan Tasmara (2001), baik
IQ, Eq maupun SQ harus dibimbing oleh Agama. Reaksi terhadap kritik tersebut
mendorong munculnya istilah Kecerdasan Ruhaniah (Trancendental Intellegence) yang tertulis oleh� Toto Tasmara (2001), dan ESQ (Emotional Spiritual Qoutient) oleh Ary
Ginanjar Agustian (2001).
DAFTAR
PUSTAKA
Agustian, A, G. 2001.� Emotianal
Spritual Quontient (ESQ). Jakarta: Penrbit Arga.
Ancok, D.�
2001.� Membangun Modal Manusia
melalui Pengembangan IQ, EQ, dan SQ.
Makalah (tidak terbitkan) . Surakarta: UMS.
Bergin A, L,. 1980.� Psychology and Religiuos
Values. Journal of Consilting and Chinical Psychology, 48, 1, 95-105.
Frank, G, G. (1971). The Psochology of Abraham Maslow (terjemahan). Yogyakarta:
Kanisius.
Gifford-May, D. &
Thomson, N, L. 1994. �Deep State� of Meditation: Phenomenological� Report of Experience. The Juornal of Transpersonal Psichology, 26, 2, 117-138.
Goleman, D. 1996. Emotional Intellegence. New York: Bantam Books.
Hanurawan, F. 1999. Kajian Psikologi Transpersonal
terhadap Tradisi Sufisme Islam Indonesia. Psokologika,
8, tahun IV 1999
Ornstein, R. 1997. The Psochology of�� Consciousness
(second edition). New York: Harcourt Brace Javanivich, Inc.
Purwanto, Y,. 2001. SQ dan Pendidikan Ruhaniyah. Makalah (tidak diterbitkan). Surakarta:
Fak.Psikologi UMS.
Riyono, B. 1997. Sitem Manajemen Yang Manusiawi. Buletin Psikologi UGM, tahun V, nomoer
1, 1-5.
Shapiro, L. E. (1997). How to Raise A Child With A High EQ. A Parents Guide to Emotional
Intellegence
Simuh.� 1996. Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tasmara, T. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intellegence). Jakarta: Gema
Insani
Tart, C. 1977. Transpersonal
Psychology. New York: Hepar & Row Publishers.
Tageson, C. W. 1982. Humanistic Psychology : A Synthesis. Homewood. Illnois: The Dorsey
Press.
Zohar, D. & Marshall,
I. 2000. SQ: memanfaatkan kecerdasan
Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk mamaknai kehidupan
(terjemahan). Bandung: Mizan.