LEGISLASI PERDA SYARIAH DI INDRAMAYU
�(Tinjauan Teori
Hukum dan Hukum Islam)
Ahmad Fadholi
(Dosen Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon)
_________________________
Abstrak
Lahirnya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi
menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
seakan-akan menjadi angin segar setelah sentralistik Orde Baru runtuh. Di
beberapa wilayah di Indonesia khususnya Jawa Barat beramai-ramai menerapkan
kebijakan berbasis keagamaan yang dikenal dengan Perda Syari�ah, salah satunya
adalah di wilayah Indramayu Jawa Barat. Meskipun kemunculannya masih debatable
dan kontraproduktif mengingat kompleksitas aspek keagamaan yang dimiliki suatu
daerah berbeda-beda. Namun hal ini dijadikan sebagai peluang dalam menciptakan
strategi baru dan mengubah cita-cita lama yang dinilai gagal terealisasikan,
yaitu dengan menggeser arah perjuangan dari tingkat pusat ketingkat lokal state
(daerah Kota Madya/Kabupaten). Sebagai upaya formalisasi syariat Islam, apakah
Perda Syari�ah di Indramayu yang telah dilegislasikan sejalan dengan makna
syari�ah itu sendiri? apakah substansi dari aturan-aturannya sesuai dengan
agenda cita-cita demokrasi ke depan atau justru memicu permasalahan lain?
selanjutnya bagaimana Perda Syariah� di
Indramayu ditinjau berdasarkan teori hukum?
Key words:
Perda Syari�ah, Formalisasi
Syari�at, Indramayu
_____________________________
A.
Pendahuluan
Kata �syari�ah�
sendiri secara bahasa adalah tempat mengalirnya air, artinya metode atau sebuah
jalan atas sesuatu. Inilah makna yang dikehendaki �al-Qur�an.
Secara umum, syari�ah berarti cara hidup Islam yang ditetapkan berdasarkan
wahyu Ilahi. Jadi, ia tidak hanya mencakup persoalan-persoalan legal dan
jurisprudensial, tapi juga praktik-praktik ibadah ritual, teologi, etik dan
juga kesehatan personal dan tatakrama yang baik (Abdullahi Ahmed An-Na�im, 1993:
112).
Di dalam Mausu�ah
al-Arabiyah al-Muyassarah, disebutkan bahwa syari�ah dahulu secara mutlak
diartikan ajaran-ajaran Islam yang terdiri dari akidah dan hukum-hukum amaliah
yang kini telah dibatasi dengan istilah, �seperangkat hukum-hukum syara� praktis yang
diperoleh secara istinbāth (penggalian hukum) dari al-Kitab,
Sunnah, ra�yu (rasio) dan ijmā�(konsensus) (Muh. Syafiq Gharbal, 1965: 1083). Demikian juga sebagaimana
dikatakan Yusuf Musa, bahwa telah
menjadi pengertian umum di segenap Fakultas Hukum dalam berbagai Universitas
di negara-negara Arab, mengartikan kalimat �Syari�ah Islam� dengan �Fiqh
Islam�, bahkan sinonim dengannya, padahal syari�ah lebih luas pengertiannya
dari pada fiqh dan telah populer dalam bahasa Arab jauh sebelum munculnya
kalimat fiqh (Yusuf Musa, 2009: 9).
Dalam kajian Hukum
Islam, pemaknaan syari�ah terdapat dua pemahaman yaitu syari�ah dalam arti luas
dan syari�ah dalam arti sempit. Untuk masa sekarang, ketika berbicara hukum
Islam, maka orientasinya kepada syari�at dalam arti sempit yaitu aturan-aturan amaliah
(praktis) menyangkut perilaku dan tingkah laku manusia baik hubunganya dengan
Tuhan maupun manusia.
Aturan-aturan praktis itu ada dua bagian, yaitu: (1)
aturan hukum yang diambil dari nash al-Qur�an atau sunnah secara langsung,
jelas, dan tegas (qath�i al-wurūd wa al-dilālah) seperti
wajibnya shalat lima waktu dan haramnya zina. Aturan hukum semacam ini bersifat
pasti, konstan dan tidak berubah. (2) aturan-aturan hukum yang diperoleh
melalui proses ijtihād (M. Khafifudin, 2011: 3).
Ada dua hal yang menyebabkan aturan hukum harus
melalui proses ijtihād, yaitu: pertama, nash yang menjadi acuannya
berkatagori zanni dari segi wurud dan dalalah-nya, seperti
wajibnya niat di dalam wudhu, tidak bolehnya menyalurkan zakat keluar daerah
dan wajibnya membaca surat Al-Fatihah di dalam shalat. Kedua, tidak
adanya nash khusus (juz�i tafsili) tentang aturan hukum itu.
Aturan-aturan hukum yang diperoleh melalui proses ijtihād itulah yang
kemudian disebut �fiqh� (Abdurrahman Zaidy, 2005: 34).
Dalam
perkembangannya, makna syari�ah menjadi �segala hukum agama, aturan ibadah,
legislasi hukum, dan mu�amalah; segala yang terdapat dalam hadīts
Nabi, segala pendapat para ahli fiqh, mufassir, pandangan para komentator, dan
ajaran-ajaran tokoh agama. Oleh karena itu, sumber-sumber hukum syari�at yang
dinyatakan melampaui kata syari�at menurut pandangan ulama Islam ada empat,
yaitu al-Qur�an, hadits, ijma� dan qiyās.
Hingga dewasa ini,
terdapat dua corak pemahaman terhadap syari�ah yang berkembang di kalangan
Muslim, yaitu konservatif dan moderat.
Pertama,
memahami syari�ah sebagai doktrin agama yang berlaku sepanjang masa, sehingga
tidak terdapat ruang untuk memodifikasi. Syari�ah adalah aturan hukum yang
tertuang dalam teks-teks al-Qur�an yang tidak lagi membutuhkan penafsiran ulang
berdasarkan tingkat peradaban ilmu pengetahuan manusia (Charles Kurzman, 2001:
15).
Bagi kalangan
konservatif ini, kemunduran dan persoalan manusia sekarang ini terjadi karena
mereka mengabaikan dan berpaling dari syari�ah. Oleh karena itu, untuk menciptakan
kehidupan yang bermakna, harus dilakukan penegakkan syari�ah Islam dalam setiap
aspek kehidupan secara formal.
Kedua, corak moderat,
menafsirkan syari�ah sebagai produk pemahaman manusia terhadap sumber-sumber
ajaran Islam dalam konteks sejarah yang terus berkembang. Dalam hal ini,
pemahaman syari�ah tidak bersifat final, dan karenanya tidak mengakui kebenaran
tunggal dalam Islam. Syari�ah senantiasa diformulasikan dan direformasi dengan
tujuan agar Islam sesuai dengan perkembangan waktu dan ruang (shālih li
kulli zaman wa al-makān).
B.
Pembahasan
a)
Hierarki
Peraturan Perundang-undangan Menurut UU No. 12 Tahun 2011
Pada 12 Agustus 2011,
Pemerintah telah mengundangkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menggantikan UU No. 10 Tahun 2004.
Dengan berlakunya UU yang baru
ini otomatis UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam
Undang-undang No. 10 Tahun 2004, yaitu antara lain: (1) meteri dari
Undang-undang No. 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multi
tafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum; (2) teknik penulisan
rumusan banyak yang tidak konsisten; (3) terdapat materi baru yang perlu diatur
sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam pembentukan Peraturan
Perundang-undangan; dan (4) penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam
tiap bab sesuai dengan sistematika.
TAP
MPR No.
XX/MPRS/1966 |
TAP
MPR No.
III/MPR/2000 |
UU
Nomor 10 Tahun
2004 |
1.
UUD RI 1945 2.
TAP MPR 3.
UU/Perpu 4.
Peraturan Pemerintah 5.
Keputusan Presiden 6.
Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti: -
Peraturan Menteri -
Instruksi Menteri -
dan lain-lainnya |
1.
UUD RI 1945 2.
TAP MPR 3.
UU 4.
Peraturan Pemerintah 5.
Keputusan Presiden 6.
Peraturan Daerah |
1.
UUD RI 1945 2.
UU/Perpu 3.
Peraturan Pemerintah 4.
Keputusan Presiden 5.
Peraturan Daerah a.
Perda Provinsi dibuat DPRD Provinsi dengan Gubernur b.
Perda Kab/kota dibuat oleh DPRD Kab/kota besama Bupati/Walikota c.
Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dibuat oleh BPD atau nama lainnya
bersama dengan Kepala Desa atau Nama lainnya. |
UU No. 12 Tahun 2011 mengatur
hierarki peraturan perundang-undangan di dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai
berikut:
1.
Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.
Ketetapan MPR
3.
Undang-undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang
4.
Peraturan
Pemerintah
5.
Peraturan Presiden
6.
Peraturan Daerah
Provinsi; dan
7.
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota (Ni�matul Huda, 2005: 64).
a.
Perda Syari�ah
di Indramayu
Di era reformasi tahun 1998, banyak terdengar
tuntutan-tuntutan dari wilayah-wilayah tertentu untuk menerapkan syari�at
Islam. Pada era ini juga telah lahir UU tentang otonomi daerah, di mana agama
termasuk salah satu bidang yang pengaturannya diserahkan kepada daerah.
Lahirnya UU otonomi daerah menjadi angin segar bagi kaum muslimin di Indonesia
untuk menuntut hak-haknya sehubungan dengan pelaksanaan syari�at di wilayahnya.
Namun demikian, persoalan hukum adalah bagian yang harus tunduk kepada sistem
hukum nasional yang merupakan warisan hukum belanda, maka akan sulit bagi
daerah untuk menerobosnya. Satu-satunya pintu yang mungkin bisa diterobos ialah
pemberlakuan status �daerah otonomi khusus� seperti Aceh.
Status otonomi khusus memungkinkan untuk diperoleh
jika merupakan tuntutan dari semua pihak di wilayah tertentu. Tentunya hal itu
harus disepakati oleh DPRD setempat dan pemerintah daerah (Pemda) kemudian
diajukan ke DPR Pusat untuk dikeluarkan UU yang menetapkan status otonomi
khusus tersebut. Namun, apabila status otonomi khusus itu tidak diperoleh,
bukanlah perjuangan memasukkan syari�at Islam itu sudah buntu. Pintu lainnya
ialah melalui peraturan Daerah.
Peraturan daerah biasanya merupakan produk kerja
sama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD setempat. Bisa saja Pemda mengajukan
sebuah Perda untuk dibahas oleh DPRD. Nah di sinilah pintu kerja sama dapat
dilakukan. Kedua belah pihak, Pemda dan DPRD bisa bekerja sama membuat
peraturan lokal yang bernafaskan syari�at Islam, seperti Perda mengenai
pengumpulan zakat, Perda Pelarangan Beredarnya minuman keras, judi dan
prostitusi, Perda Pembinaan Agama bagi Aparat Pemerintah, dan Perda-Perda
lainnya sebagai perangkat lunak bagi penegakkan syari�ah yang menyeluruh di
masa-masa mendatang (Daud Rasyid, 2001: 155).
Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang otonomi
daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, menjadi awal
pembuka daerah-daerah meregulasikan Perda-Perda Syari�ah. Di propinsi Jawa
barat tercatat ada sekitar 30 Kabupaten yang telah meregulasikan Perda-Perda
Syari�ah, di antaranya Kabupaten Indramayu, sebuah daerah yang menghubungkan
antara Ibu Kota Jakarta dengan daerah pantura pulau Jawa.
Mayoritas penduduk di Kabupaten Indramayu memeluk
agama Islam. Ketertarikan pada model pendidikan pesantren merupakan
karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Berdirinya beberapa
pesantren dan banyaknya penduduk yang berminat untuk mesantren, baik di dalam
wilayah Indramayu sendiri maupun di luar Indramayu, menjadi bukti bahwa
masyarakat Indramayu lebih memprioritaskan pendidikan ala pesantren dari pada
sekolah umum biasa.
Dalam upaya formalisasi syari�at Islam, Indramayu
berpartisipasi memanfaatkan peluang dalam meregulasikan Perda-perda Syari�ah
yang memuat kebijakan-kebijakan yang bersifat keagamaan, yaitu:
1.
Perda Nomor 7
Tahun 1999 tentang Prostitusi.
2.
Perda
Kabupaten Tingkat II Indramayu No. 4
Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II.
3.
Perda Nomor
30 Tahun 2001 tentang pelarangan peredaran dan penggunaan minuman keras, revisi
Perda Nomor 7 Tahun 2005.
4.
Perda Nomor 2
Tahun 2003 tentang wajib belajar Madrasah Diniyah Awaliyah.
5.
Surat Edaran
Bupati Indramayu (Tahun 2001) Tentang wajib busana Muslim dan pandai al-Quran
untuk siswa sekolah.
6.
Surat Edaran
No: 451.4/161/505/2001 membiasakan puasa senin-kamis.
Secara umum isi peraturan daerah tersebut tidak
mencantumkan secara resmi tentang syari�ah Islam. Namun substansi butir-butir
mekanisme tersebut lebih mengarah ke peraturan sosial keagamaan yang
berhubungan dengan penertiban kehidupan publik. Arskal Salim dalam artikelnya,
�Peraturan Daerah Berbasis Syariat�, terdapat fakta yang bergulir di lapangan
bahwa politisi lokal membenarkan adanya upaya Islamisasi yang tidak dilakukan
melalui masyarakat tertentu untuk menerapkan syari�at Islam, akan tetapi melalui
top down eksekutif. Hal ini bertujuan semata-mata demi kepentingan
pencitraan. Selain itu juga adanya keterbatasan legislator di daerah terhadap
pengetahuan keislaman yang dimiliki.
Di Kabupaten Indramayu pada kawasan atau kecamatan
yang berbeda, dengan latar belakang dan organisasi, Perda yang berkaitan dengan
keagamaan menurut tokoh-tokoh keagamaan Islam serentak menjawab menguntungkan
dan mereka relatif mendukung. Lain halnya menurut Masduqi, Sekretaris MWC NU
Kertasmaya berpendapat, justru Perda tersebut cenderung mendatangkan konflik
internal. Hal ini sering terjadi pada kebijakan sekolah Diniyah. Yang memicu
konflik adalah kompetisi memperbanyak murid dan perebutan pengaruh ketokohan
masyarakat.
Sedangkan menurut beberapa tokoh non-Muslim
berpendapat, Perda yang syarat dengan keagamaan dalam implementasinya memicu
sentimen keagamaan. Romo Abi menjelaskan, realitas Jemaatnya sering dipaksa
mencantumkan identitas Muslim dalam kolom agama saat membuat atau memperpanjang
KTP. Pendeta Kelana Noron mengatakan, bahwa anak-anaknya yang mengenyam
pendidikan di sekolah Negeri sering mendapat tekanan dan ledekan dari guru
karena keluar saat pelajaran Agama Islam.
Terkait dampak dari SKB 2 Menteri (Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri) tentang perijinan rumah ibadah di Indramayu khususnya
wilayah Jatibarang, menurut Pendeta Rahmadi (GKI) tidak bermasalah, karena
gereja-gereja di sekitarnya sudah berusia tua. Namun dampak itu bisa dirasakan
bagi gereja-gereja baru yang ada diluar Jatibarang, seperti ada satu gereja di
kecamatan Haurgeulis yang sampai saat ini masih bermasalah.
����������� Secara hierarkis, pemberlakuan Perda
Syari�ah di Indramayu menyebabkan apa yang disebut sebagai �kesalehan
struktural�. Selain demi kepentingan pencitraan, pejabat-pejabat daerah
acapkali memakai Perda tersebut untuk mengukur simbol asas kepatutan dan
kedisiplinan di tingkat pemerintahan. Dalam terminologi orang pesisir di
Indramayu, �Asal Bapak Senang�, menjadi padanan kata yang tepat saat
mempresentasikan Pejabat Daerah dalam asas kepatuhan bawahan ke atasnya,
sehingga tanpa sadar, istilah, ketentuan, dan ukuran nilai-nilai syari�ah
sejatinya masih banyak kerancuan dan multi tafsir.
Kehadiran pemerintah daerah sebagai tangan panjang
Negara semestinya mengayomi masyarakat secara keseluruhan, tidak ada disposisi
di antara sesama pemeluk agama dan keyakinan tertentu. Karena dari situlah
Perda-perda Syari�ah membawa akses negatif pada relasi agama, masyarakat dan
Negara.
Dalam konteks Perda Syari�ah, kekerasan simbolik (symbolic
violence) terjadi manakala terdapat dominasi atas sebuah pemaknaan. Agama
sebagai ruang privat dan nilai etis moral ditarik pada wilayah publik. Hal itu
terbukti dalam pemberlakuan kewajiban mendapatkan ijazah Madrasah Diniyah
Awaliyah sebagai prasarat menuju menuju jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Akibatnya, hal ini menimbulkan kesulitan bagi orang-orang non-Muslim dalam hal
administrasi (Devida, dkk, 2014: 144).
b.
Perda Syari�ah
dalam Teori Hukum Umum
Pertama, Teori
Hukum Politik R. Wietholter. Dalam teori R. Wietholter, seorang guru besar dari
Frankfurt, Amerika Serikat, hukum�
merupakan produk dari proses politik. Tujuan teori hukum politik adalah
untuk membebaskan hukum dari keabstrakannya (umum) dan menonjolkan implikasi-implikasi
(pengaruh) politik dari hukum. Hukum dipandang sebagai kategori politik, yaitu
sarana untuk mewujudkan suatu pergaulan hidup yang baik dan adil (Salim, 2010:
73).
Berdasarkan teori ini, hukum yang berupa Perda
Syari�ah di Indramayu mengandung muatan politik, hal itu bisa dilihat dari substansi
butir-butir Perda Syari�ah yang dilegislasikan oleh Pemerintah Daerah lebih
mengarah kepada penertiban kehidupan publik. Hal ini menunjukkan bahwa� legislasi Perda Syari�ah mengandung motif
kepentingan pencitraan, bahkan Perda Syari�ah tersebut belum sampai kepada
tatanan aplikatif syari�ah itu sendiri.
Perda Syari�ah yang masih mengandung sejumlah
problematika dan bahkan masih kontroversial, belum bisa dipandang sebagai
kategori politik. Perda Syari�ah yang berlaku di Indramayu belum bisa mewujudkan
suatu pergaulan hidup yang baik dan adil, di mana keberadaan Perda Syari�ah
justru� memicu sentimen keagamaan. Maka
bisa dikatakan Perda Syari�ah di Indramayu merupakan produk hukum dari proses
politik, namun masih belum sesuai dengan sasaran hukum politik itu sendiri.
Kedua, Teori Hubungan
Masyarakat. Simon Fisher dalam teori hubungan masyarakat berpendapat bahwa
penyebab terjadinya konflik adalah oleh polarisasi (kelompok yang berlawanan)
yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di antara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat (Salim, 2010: 90).
Berdasarkan teori ini, penyebab terjadinya konflik
terkait Perda Syari�ah di Indramayu adalah sentimen keagamaan yang terjadi
antara beberapa penganut agama yang berbeda, yang tampak dominan adalah Islam
dan Kristen.
Perda-Perda Syari�ah dalam implementasinya masih
terjadi ketimpangan-ketimpangan, seperti dalam pemberlakuan kewajiban
mendapatkan ijazah Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai prasarat menuju menuju
jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Akibatnya, hal ini menyulitkan
non-Muslim dalam hal administrasi bahkan dapat memicu sentimen keagamaan. Agama
yang selayaknya sebagai ruang privat dan nilai etis moral ditarik pada wilayah
publik.
Kabupaten Indramayu, meskipun didominasi oleh penganut
agama Islam, akan tetapi terdapat penganut agama-agama lain. Seharusnya
Pemerintah Daerah membuat aturan hukum dengan pertimbangan yang matang sehingga
tidak menimbulkan konflik yang memicu permusuhan antar penganut agama. Di
samping itu, seharusnya Pemerintah Daerah tidak hanya membuat aturan hukum
begitu saja, melainkan harus ada kontrol sehingga dapat diketahui perkembangan
dari implementasi aturan hukum tersebut. Karena aturan hukumpun bisa dilakukan
perubahan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat.
Ketiga,
Teori Identitas Simon Fisher. Dalam teori identitas Simon Fisher, terjadinya
konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan (Salim,
2010: 95).� Berdasarkan teori ini,
identitas atau jati diri sangatlah penting. Maka ketika identitas tersebut
terancam, sangat besar peluang terjadinya konflik.
Kasus ini terjadi di dalam pelaksanaan aturan hukum
di Indramayu, di mana orang non-Muslim sering dipaksa mencantumkan identitas
Muslim dalam kolom agama saat membuat atau memperpanjang KTP. Tentunya hal ini
menjadi problem, karena identitas agama adalah hak yang dilindungi
Undang-Undang, sementara mereka tidak bebas dalam menyuarakan hak mereka, hak
memilih agama dan mencantumkan identitas agama, bahkan mereka mendapat tekanan
dan ancaman identitas.
Seharusnya pemerintah harus lebih bijak dalam
memberikan aturan, sehingga hal yang menuai konflik dapat diantisipasi.
Demikian juga dalam membangun empati dan dan rekonsiliasi di antara mereka,
sehingga tercipta kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok
semua pihak.
Dari situ, menurut dua teori di atas dapar
dikatakan, bahwa Pemerintah Daerah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang
bersifat keagamaan (Perda Syari�ah) belum mencerminkan sikap yang adil. Hal ini
bisa diakibatkan karena kurangnya komunikasi, sosialisasi dan kontrol, demikian
juga dari kesadaran masyarakat itu sendiri.
c.
Perda Syari�ah
dalam Teori Hukum Islam
Pertama, Teori
Receptie in Complexu Gibb. Menurut teori Gibb, �bagi orang Islam berlaku penuh
hukum Islam sebab dia telah memeluk Islam walaupun dalam pelaksanaannya masih
terdapat penyimpangan-penyimpangan.� Teori Receptie in Complexu memiliki
unsur-unsur berikut: (1) Hukum Islam dapat berlaku di Indonesia bagi pemeluk
Islam; (2) Umat Islam Harus taat pada ajaran Islam; dan (3) Hukum Islam berlaku
Universal pada berbagai bidang ekonomi, hukum pidana, dan hukum Perdata
(Juhaya, 2011: 8).
Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah
agama Islam, sudah selayaknya hukum Islam berlaku bagi umat Islam dan mendapat
naungan penuh dari Pemerintah. Namun permasalahannya adalah hukum yang berlaku
di negara Indonesia bukan syari�at Islam, melainkan warisan hukum belanda, sehingga
penerapan syari�at Islam pun banyak mengalami hambatan.
����������� Munculnya Perda Syari�ah melalui UU
Otonomi Daerah merupakan upaya dari formalisasi syari�at Islam dalam bingkai
kecil di Indonesia. Namun setidaknya ini menjadi peluang bagi daerah-daerah untuk
meregulasikan Perda Syari�ah sebagai upaya penerapan syari�at Islam yang
sasarannya adalah umat Islam itu sendiri. Sebagaimana di Kabupaten Indramayu
yang memanfaatkan peluang tersebut untuk melegislasikan Perda Syari�ah.
����������� Jika ditinjau berdasar teori gibb,
maka Perda Syari�ah di Indramayu juga dapat berlaku bagi pemeluk Islam, dan
bagi pemeluk Islam harus ta�at pada Perda Syari�ah, karena muatannya adalah
ajaran Islam, meskipun dalam pelaksanaannya masih belum maksimal.
Namun demikian, Perda Syari�ah yang ada di Indramayu
masih belum berlaku secara universal, belum sampai kepada berbagai macam
bidang, melainkan masih sebatas penertiban publik. Itupun masih menemui
berbagai macam kendala, terbukti dengan munculnya beberapa konflik baik
dikalangan masyarakat Islam sendiri, terlebih non-Muslim. Hal ini menjadikan
Perda Syari�ah yang telah ditetapkan dan diberlakukan menuai kontroversial. Di
samping itu, dalam aturan Perda tidak ada kejelasan konskuensi hukum bagi yang
melanggar sehingga nampak masih bersifat anjuran demi penertiban publik.
Sementara hukum menuntut kepastian dan kejelasan.
Kedua,Teori Maqāsid.
Dalam teori maqāsid, Allah Swt. adalah pembuat hukum yang diketahui
melalui penalaran induksi atas sumber-sumber naqli, yaitu wahyu, baik
al-Qur�an maupun al-Sunnah. Tujuan hukum Islam disesuaikan dengan kepentingan
dan fungsi daya fitrah manusia yaitu al-tahshīl wa al-ibqī (mencapai
kebahagiaan hidup dan mempertahankannya) atau jalb al-mashālih wa daf�
al-mafāsid(mengambil maslahat serta sekaligus mencegah kerusakan).
Tujuan hukum Islam dilihat dari tingkat dan
peringkat kepentingan bagi manusia itu sendiri, yaitu:tujuan primer (adh-Dharūry),
tujuan sekunder (al-hajiy) dan tujuan tersier (at-tahsiniy). Ukuran
kemaslahatannya mengacu pada doktrin ushul fiqh yang dikenal dengan sebutan al-kulliyatul
khams (lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut dengan maqāsid
al-syarī�ah (tujuan-tujuan universal syari�ah), yaitu:hifdz
al-dīn(menjamin kebebasan beragama), hifdz al-nafs (memelihara
kelangsungan hidup), hifdz al-�aql (menjamin kreativitas berpikir), hifdz
al-nasl (menjamin keturunan dan kehormatan), dan hifdz al-māl(pemilikan
harta, properti, dan kekayaan). Jika perjuangan umat Islam mengabaikan hal-hal
ini, runtuhlah nilai-nilai Islam yang substansial (Juhaya, 2011: 76-79).
Berdasarkan teori maqāsid, maka hukum
Islam harus disesuaikan dengan kepentingan dan fungsi fitrah manusia. Jika kita
teliti butir-butir Perda Syari�ah di atas, seperti Perda Nomor 7 Tahun 1999
tentang Prostitusi, Perda ini sesuai dengan syari�at, karena prostitiusi
merupakan bentuk perzinaan yang mana pelarangannya telah ditegaskan dalam
al-Qur�an dan hadits. Demikian juga pada Perda Nomor 30 Tahun 2001 tentang
pelarangan peredaran dan penggunaan minuman keras, revisi Perda Nomor 7 Tahun
2005. Pelarangan minuman keras telah ditegaskan dalam al-Qur �an dan hadits.
Dalam tingkatannya, kedua macam pelarangan ini
menjadi tujuan primer, pelarangan prostitusi yaitu untuk menjaga keturunan dan
kehormatan (hifdz al-nasl), dan pelarangan meminum minuman keras
tujuannya adalah untuk menjaga akal (hifdz al-�aql), di mana jika kedua
aturan tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan ketidakajegan kemaslahatan
hidup manusia.
Berbeda halnya pada Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang
wajib belajar Madrasah Diniyah Awaliyah. Aturan ini tidak ada penjelasan dalam
al-Qur�an dan hadits. Dalam teori maqāsid mungkin masuk pada
tingkatan tujuan tersier (at-tahsiniy), karena lebih menekankan upaya
menyempurnakan kehidupan manusia dengan akhlak. Hal ini merupakan ruang privat
yang ditarik kepada wilayah publik, sehingga Perda Syari�ah macam ini
memunculkan konflik terutama dikalangan non-Muslim. Konflik ini memicu sentimen
kegamaan dan bahkan bisa menimbulkan permusuhan.
Pada Surat Edaran Bupati Indramayu (Tahun 2001)
Tentang wajib busana Muslim dan Pandai al-Quran untuk siswa sekolah. Hal inipun
masih sesuai dengan maqāsidsyari�ah, karena terdapat dalam
al-Qur�an maupun hadits yang menjelaskan tentang menutup aurat. Dalam
tingkatannya bisa masuk dalam tujuan sekunder (al-hajiy), karena jika
aturan ini tidak ada, akan menimbulkan masyaqqah yang berakibat pada
perzinaan, bisa juga masuk pada tingkatan tujuan tersier (at-tahsīniy),
karena untuk menyempurnakan kehidupan manusia dengan akhlak dan meluhurkan
nilai-nilai Islam.
Pada Surat Edaran No: 451.4/161/505/2001 tentang
membiasakan puasa senin-kamis. Hal ini memang masuk dalam syari�at Islam, namun
bukan hal pokok, melainkan bersifat anjuran. Jika ini ditetapkan dalam Perda,
maka yang menjadi pertanyaan adalah konskuensi apa yang akan diberikan jika
melanggar aturan tersebut. Dalam tingkatan maqāsid bisa dikatakan
masuk pada tujuan tersier (at-tahsīniy), karena dengan melaksanakan
puasa senin-kamis seseorang bisa menanamkan etika dan nilai-nilai luhur. Namun
dalam pandangan penulis hal ini belum layak untuk ditarik kepada wilayah
publik, karena hal ini masih bersifat privasi.
C.
Penutup
Berdasarkan data-data yang diperoleh dan analisis
melalui teori-teori yang digunakan, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
�Perda Syari�ah yang telah dilegislasikan di Kabupaten Indramayu sejatinya
belum sejalan dengan makna syari�ah itu sendiri dan belum sesuai dengan
cita-cita demkorasi yang diharapkan, bahkan masih memicu konflik di kalangan
masyarakat Indramayu sendiri.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor:(1)
sebagian Perda masih belum masuk pada tatanan syari�at Islam; (2) keberadaan
sebagian Perda syari�ah masih kontroversial dan multi tafsir; (3) keterbatasan
legislator terhadap pengetahuan keislaman yang dimiliki; (4) kurang kuatnya
pertimbangan dalam menetapkan suatu hukum;(5) kurangnya sosialisasi dan kontrol
terhadap pelaksanaan Perda Syari�ah; dan (6) kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap aturan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, Mohd. Azhar Abdul. 2007. Meningkatkan Daya Pikir. Kuala Lumpur:
PTS Professional.
Pasiak, Taufiq. 2006. Manajemen Kecerdasan. Bandung: Mizan.
Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem
Penjaminan Mutu Pendidikan.
Yusuf, Nanang Qosim. 2008. The Heart of Awareness. Jakarta: Noura Books Publishing.